TIMES JAKARTA, JAKARTA – Kita hidup di zaman di mana pertumbuhan ekonomi berlari lebih cepat daripada makna. Angka-angka membubung tinggi, laporan pembangunan gemilang, dan jargon syariah semakin akrab di telinga. Namun di balik laju pertumbuhan itu, ada ruang hening yang belum tersentuh: adakah keberkahan yang ikut tumbuh di antara angka-angka itu?
Indonesia kini menjadi salah satu kekuatan ekonomi Islam terbesar dunia. Data terbaru menunjukkan total aset keuangan syariah nasional per Juni 2025 mencapai Rp 2.972,94 triliun, terdiri dari pasar modal syariah Rp 1.828,25 triliun, perbankan syariah Rp 967,33 triliun, dan industri keuangan non-bank Rp 177,36 triliun. Secara keseluruhan, ekosistem keuangan syariah Indonesia telah menembus Rp 9.529 triliun, tumbuh 11,8 persen dari tahun sebelumnya (BI, OJK, 2025).
Sektor halal nasional pun meningkat 9,16 persen, dengan pasar makanan halal mencapai USD 282,9 miliar dan diproyeksikan tumbuh hingga USD 645 miliar pada 2031 (SGIE 2024/25). Namun pertumbuhan ekonomi tanpa keadilan hanyalah kemewahan tanpa jiwa.
Ekonomi yang sehat bukan sekadar tumbuh cepat, tetapi tumbuh bersama. Dan ekonomi syariah hadir untuk menyeimbangkan neraca itu antara pasar dan nurani, antara efisiensi dan empati, antara laba dan keberkahan.
Ekonomi Syariah sebagai Jalan Tengah
Ekonomi syariah sejatinya bukan anti-pasar, bukan pula sekadar sistem keuangan tanpa bunga. Ia adalah filosofi keseimbangan (mizan), yang menempatkan manusia di antara dua kutub ekstrem: kapitalisme yang rakus dan sosialisme yang beku.
Ekonomi syariah adalah jalan tengah yang mengajarkan bahwa pertumbuhan harus menumbuhkan, bukan menyingkirkan; bahwa keuntungan harus disertai tanggung jawab sosial; bahwa kesejahteraan sejati tidak bisa dibangun di atas ketimpangan.
Namun sayangnya, dalam praktik, ekonomi syariah kita masih sering berhenti di struktur, belum sepenuhnya hidup di budaya. Bank syariah membesar, tetapi akses pembiayaan untuk rakyat kecil masih terbatas.
Industri halal berkembang, tapi banyak pelaku UMKM belum mendapat ruang produksi dan sertifikasi yang layak. Kita membangun sistemnya, tapi belum menghidupkan rohnya.
Dalam denyut ekonomi syariah Indonesia, dua kekuatan sosial keagamaan terbesar Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) telah menjadi pondasi nyata bagi ekonomi umat. Keduanya bukan hanya gerakan dakwah, tetapi juga gerakan ekonomi yang berakar pada kemandirian dan keadilan sosial.
Muhammadiyah, dengan semangat tajdid (pembaruan), telah mengembangkan berbagai amal usaha ekonomi di bawah Badan Usaha Milik Muhammadiyah (BUMM). BUMM menjadi wadah kolaborasi antara amal usaha (sekolah, rumah sakit, dan universitas) dengan dunia bisnis modern.
Di berbagai daerah, BUMM membangun sektor riil dari industri pangan halal, pengolahan hasil pertanian, hingga energi terbarukan dengan prinsip efisiensi dan keadilan.
Selain itu, Baitut Tamwil Muhammadiyah (BTM) hadir sebagai lembaga keuangan mikro syariah, menyalurkan pembiayaan tanpa agunan kepada pelaku UMKM dan pedagang kecil ditambah BPRS Bank Syariah Muhammadiyah semakib berkembang.
Lazismu, lembaga amil zakat infak sodakoh Muhammadiyah, juga mengubah filantropi menjadi instrumen investasi sosial: mendanai usaha mikro, beasiswa wirausaha, dan pemberdayaan perempuan. Inilah wajah ekonomi berkemajuan ekonomi yang berpihak pada kerja keras, ilmu, dan nilai.
Sementara itu, Nahdlatul Ulama (NU) membangun kekuatan ekonomi dari basis komunitas dan pesantren. Melalui Badan Usaha Milik Nahdlatul Ulama (BUMNU) dan Lembaga Perekonomian NU (LPNU), NU menggerakkan koperasi, perdagangan halal, dan industri mikro berbasis pesantren.
Program One Pesantren One Product (OPOP) telah melahirkan ribuan produk unggulan lokal dari kopi, herbal, hingga fashion muslim. BUMNU kini menjadi wadah sinergi usaha santri dan alumni pesantren yang bergerak di sektor pertanian, peternakan, dan energi bersih. Sementara LazisNU dan NU Care terus memperluas zakat dan wakaf produktif, menjadikannya sumber modal sosial untuk usaha rakyat.
Muhammadiyah dan NU adalah dua sayap umat yang terbang ke arah yang sama satu mengakar pada rasionalitas dan modernitas, satu berakar pada tradisi dan solidaritas lokal. Dua jalan yang berbeda, tapi bermuara pada cita-cita yang sama: menegakkan keadilan sosial dan kemandirian ekonomi umat.
Ekonomi syariah di Indonesia tidak hanya tumbuh di bank dan pasar modal, tapi juga di tanah kehidupan rakyat. Green Sukuk Retail 2025 (SR020) mengajak puluhan ribu investor mendanai energi bersih.
Wakaf Produktif Sawit di Riau mengubah hasil kebun menjadi dana pendidikan dan kesehatan. Fintech syariah seperti ALAMI dan Ammana menyalurkan pembiayaan Rp 6 triliun bagi UMKM. Kawasan Industri Halal Modern Cikande menjadi pusat integrasi halal nasional.
Namun di antara semua itu, gerakan Muhammadiyah dan NU lewat BUMM, BUMNU, BTM, LPNU, dan ribuan pesantren ekonomi menunjukkan bahwa ekonomi Islam sejati bukan hanya regulasi, tapi relasi. Ia bukan hanya sistem, tapi solidaritas. Ia bukan hanya hitungan laba, tapi laku berbagi.
Keseimbangan Baru di Tengah Dunia yang Letih
Dunia kini sedang mencari keseimbangan baru. Kapitalisme kehilangan empati, sosialisme kehilangan arah, dan manusia kehilangan makna. Ekonomi syariah, lewat gerakan umat seperti Muhammadiyah dan NU, menawarkan keseimbangan itu kembali.
Ia mempertemukan pasar dan moral, kerja dan ibadah, ilmu dan keikhlasan. BUMM dan BUMNU membuktikan bahwa bisnis bisa berjalan tanpa meninggalkan nilai, bahwa efisiensi bisa berdampingan dengan etika, dan bahwa kemajuan bisa selaras dengan kemanusiaan.
Dengan fondasi sosial keagamaan ini, Indonesia tidak hanya bisa menjadi pusat ekonomi syariah dunia, tetapi juga laboratorium peradaban tempat di mana agama dan kemajuan saling menumbuhkan, bukan bertentangan.
Mungkin inilah saatnya bangsa ini menimbang ulang makna pertumbuhan di neraca sejarahnya. Pertumbuhan sejati tidak diukur dari angka, tapi dari keberkahan yang dirasakan rakyat.
Ekonomi yang benar bukan tentang siapa yang paling kaya, tapi siapa yang paling adil. Muhammadiyah dan NU telah menunjukkan bahwa kesejahteraan bisa lahir dari kerja keras dan kebersamaan, dari amal dan nilai, dari iman yang berbuah ekonomi.
Di masa depan, ketika neraca pembangunan bangsa ini dibuka kembali, semoga yang tertulis bukan hanya kolom pertumbuhan, tapi juga catatan keberkahan. Karena ekonomi sejati bukan tentang menimbun, tapi menumbuhkan. Dan keadilan bukan tentang membagi sama rata, tapi memastikan tak seorang pun tertinggal di belakang.
***
*) Oleh : Edi Setiawan, Dosen dan Peneliti FEB Univeritas Muhammadiyah Prof DR HAMKA.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman | 
| Editor | : Hainorrahman |