TIMES JAKARTA, JAKARTA – Tidak dapat di pungkiri negara kita adalah negara agraris, lebih dari 75 ribu daerah pedesaan membentuk negara ini dengan sebagian penduduknya mengandalkan penghasilan dari pertanian. Namun ironisnya, nasib petani sering kali tidak seindah yang dibayangkan.
Banyak petani masih hidup dalam keterbatasan dengan menghadapi harga panen yang tidak stabil, biaya produksi yang tinggi, hingga ancaman alih fungsi lahan pertanian. Padahal di tangan merekalah masa depan ketahanan pangan nasional ditentukan.
Menjadi petani bukan hanya sekadar profesi, petani adalah pahlawan penjaga ketahanan pangan. Mereka bekerja bukan untuk kemewahan, melainkan untuk memastikan setiap keluarga di Indonesia memiliki sajian di meja makan. Tanpa petani lahan mangkrak semakin banyak dan ketahanan pangan hanya tinggal slogan.
Menurut sosiolog Selo Sumarjan, masyarakat petani digolongkan pada masyarakat yang bersifat tradisionalistik dengan mengedepankan “sosio religius” dalam arti semua kehidupan dipasrahkan pada Sang Pencipta.
Selain itu pola pertanian yang bersifat tradisionalistik dapat ditandai dari beberapa hal yakni pertama adanya dominasi tenaga kerja manusia dalam kegiatannya. Kedua, masih bergantung pada kondisi alam dan cuaca. Ketiga, belum banyak mengenal pembagian dalam kerja. Keempat, masih adanya ikatan tradisi yang kuat serta hubungan sosial masyarakatnya bersifat kekerabatan.
Sektor pertanian dewasa ini menjadi primadona terlebih adanya program ketahanan pangan yang di jalankan pemerintah. Program ketahanan pangan merupakan ikhtiar pemerintah dan masyarakat untuk menjamin ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas pangan bagi seluruh penduduk.
Banyak strategi yang dijalankan didalamnya seperti revitalisasi pertanian dan perikanan, penguatan infrastruktur, pemberdayaan petani, pengembangan teknologi, serta stabilisasi pasokan dan harga pangan.
Dalam hal revitalisasi pertanian salah satu langkah yang dilakukan dengan memaksimalkan kelompok-kelompok atau serikat tani yang ada di daerah pedesaan. Keberadaan kelompok tani sangatlah penting terutama bagi petani lokal pedesaan. Bukan sekedar papan nama semata namun keberadaan kelompok tani harus mampu memberi arti bagi para petani.
Revitalisasi Kelompok Tani
Ketahanan pangan bukan sekadar ketersediaan bahan makanan, tetapi juga kemandirian dan keberlanjutan sistem pangan nasional. Negara yang kuat adalah negara yang mampu memberi makan rakyatnya dari hasil bumi sendiri.
Maka sudah seharusnya kesejahteraan petani menjadi prioritas dalam setiap kebijakan pembangunan. Subsidi pupuk, akses terhadap teknologi pertanian, pendampingan, hingga jaminan harga hasil panen yang layak merupakan bentuk dukungan nyata yang harus diperkuat.
Kelompok tani memiliki peran strategis dalam pembangunan sektor pertanian Indonesia. Mereka bukan sekadar wadah bagi para petani untuk berkumpul, tetapi juga menjadi motor penggerak transformasi pertanian menuju sistem yang lebih modern, efisien, dan berkelanjutan.
Namun kenyataan di lapangan tidak sedikit kelompok tani yang belum berfungsi optimal. Banyak di antaranya hanya aktif di atas kertas dan belum mampu menjadi penggerak produktivitas dan kesejahteraan anggota.
Oleh karenanya perlu sebuah strategi yang dijalankan pemerintah guna memaksimalkan kelompok tani di negeri ini. Beberapa hal diantaranya:
Pertama, dengan penguatan kapasitas kelompok tani. Banyak kelompok tani dibentuk hanya sebagai syarat administratif untuk mendapatkan bantuan pemerintah.
Padahal fungsi kelembagaan jauh lebih luas dapat sebagai sarana pendidikan, pengorganisasian produksi, hingga akses pasar. Pemerintah bersama penyuluh pertanian perlu memberikan pendampingan berkelanjutan.
Kedua, melalui digitalisasi akses informasi, dimana adanya digitalisasi pertanian para petani dapat mengakses banyak hal dari data cuaca, harga pasar, penanggulangan hama hingga teknologi budidaya terbaru dengan mudah.
Hal tersebut dapat dilakukan melalui adanya kolaborasi dan sinergi antara kelompok tani dengan perguruan tinggi maupun instansi yang relevan dengan bidang teknologi informasi.
Ketiga, melalui regenerasi petani yang dapat dijalankan dengan jalan kolaborasi antara petani tua dengan petani muda. Kelompok tani harus menjadi ruang kolaborasi antara petani senior dan yunior sebagai sarana berbagi pengalaman dan inovasi.
Pemerintah juga dapat mendorong program “petani milenial” melalui pelatihan, inkubasi bisnis pertanian, serta akses terhadap teknologi modern yang menarik minat anak-anak muda.
Dengan penguatan akses permodalan guna mendukung ketahanan pangan. Kelompok tani dapat menjadi jembatan bagi petani guna mendapatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR), asuransi pertanian, serta kemitraan dengan perusahaan atau koperasi.
Selain itu dalam mendukung ketahanan pangan, kelompok tani perlu dilibatkan dalam setiap tahap perencanaan dan implementasi program pemerintah seperti diversifikasi pangan, pertanian berkelanjutan, dan adaptasi perubahan iklim.
Dengan adanya kelompok tani kuat maka petani akan menjadi hebat dalam mendukung program ketahanan pangan yang digadang-gadang oleh pemerintah dalam swasembada pangan.
Sudah saatnya petani menjadi pahlawan bagi bangsa yang dimulai dari desa dengan menggarap sawah dan ladangnya. Mereka tidak perlu tanda jasa namun mereka mencoba memanfaatkan setiap jengkal tanah dari Sang Pencipta.
***
*) Oleh : Dr. Hadis Turmudi, M.H., Dosen pengajar di STMIK AMIKOM.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |