TIMES JAKARTA, JAKARTA – Kekayaan sumber daya tambang Indonesia adalah milik sah seluruh bangsa Indonesia. Keberadaan bahan tambang tersebut sejatinya harus bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat, terutama rakyat yang bermukim dan hidup secara koeksisten di wilayah bahan tambang tersebut berada.
Dalam dinamika pengelolaan dan pemanfaatannya, terjadi benturan yang keras antara rakyat dan negara. Hal ini tidak terlepas dari praktik pertambangan rakyat yang dilakukan secara ilegal dan menabrak peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pemerintah mengkategorikan praktik pertambangan rakyat yang tidak memenuhi perizinan sebagai praktik pertambangan ilegal atau pertambangan tanpa izin.
Dasar yang digunakan oleh pemerintah jelas, yakni ketentuan dalam UU Mineral dan Batubara (UU Minerba), UU Perkebunan, serta UU Penataan Ruang, serta regulasi terkait lainnya. Pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait bahkan melakukan pemetaan kasus untuk merespons praktik tambang ilegal yang berkembang.
Menurut data Bareskrim Polri, tercatat sedikitnya 1.517 pertambangan ilegal atau tanpa izin yang tersebar di seluruh Indonesia. Pertambangan ilegal tersebut tersebar di 35 provinsi dan didominasi oleh komoditas emas, pasir, galian tanah, batubara, andesit, serta timah.
Sedangkan menurut data KESDM, terdapat 2.741 lokasi pertambangan tanpa izin yang tersebar di seluruh Indonesia; 96 lokasi di antaranya merupakan tambang ilegal batubara yang tersebar di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Bengkulu, serta Sumatera Selatan; sisanya sebanyak 2.645 lokasi tambang ilegal mineral yag tersebar merata di hampir seluruh provinsi.
Praktik pertambangan ilegal, terlepas dilakukan rakyat atau tidak, memiliki risiko buruk secara sosial dan ekonomi. Pelaku tambang yang tidak profesional dan tidak berizin seringkali bekerja dalam ketakutan yang berujung pada kecelakaan kerja.
Pelaku tambang yang tidak berkualifikasi berpotensi merusak lingkungan karena hanya berorientasi pada eksploitasi, tapi mengabaikan aspek pemeliharaan dan berkelanjutan.
Yang lebih buruk, sumber daya tambang yang harusnya dapat masuk sebagai pendapatan daerah, justru lari ke pasar gelap karena rakyat digunakan sebagai kaki tangan oligarki-oligarki tambang dan asing yang berkepentingan.
Merespons persoalan yang ada, pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait harus bersikap secara cermat dan hati-hati, teurtama pertambangan ilegal yang dilakukan oleh rakyat.
Respons dan kebijakan yang diambil haruslah bersifat moderat dan menjadi win-win solution bagi semua pihak yang berkepentingan. Mimpi rakyat sebenarnya sederhana, yakni komoditas tambang yang bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka sehari-hari.
Mereka sebagian besar adalah individu-individu yang terjebak oleh skema pasar oligarki dan oknum-oknum di sektor pertambangan. Mereka bergerak tanpa keahlian secara profesional, tidak didukung oleh sistem perlindungan kerja, dan berada dalam bayang-bayang pelanggaran hukum.
Dalam menyikapi pertambangan rakyat secara ilegal, penegakan hukum mutlak harus dilakukan. Pemerintah perlu mengidentifikasi secara cermat mana pertambangan rakyat yang murni dilakukan oleh rakyat setempat dan mana pertambangan rakyat yang dibekingi oleh korporasi atau oknum-oknum di sektor pertambangan.
Pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait perlu menormalisasi pertambangan rakyat yang murni dilakukan oleh rakyat agar menempuh skema perizinan yang berlaku, yakni dengan mengurus dan mendapatkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam UU Minerba. Sedangkan pertambangan rakyat yang dibekingi oleh oknum, maka penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu.
Normalisasi pertambangan rakyat harus dilakukan secara hati-hati, terutama dari sisi administrasi dan perizinan dengan berpedoman pada regulasi atau ketentuan yang berlaku.
Selain proses perizinan, tata kelola dalam penyelenggaraan pertambangan rakyat harus diperbaiki agar lebih optimal dengan tidak melepaskan campur tangan negara dalam hal supervisi dan pengawasan agar pertambangan yang dilakukan tidak menimbulkan ekses negatif terhadap lingkungan.
Secara umum, pertambangan rakyat yang dilakukan secara legal harus mendapatkan dukungan dan pembinaan dari negara. Pertambangan rakyat yang dilakukan secara cermat dengan berpijak pada tata kelola tambang yang baik dan benar berpotensi mendukung terciptanya kesejahteraan masyarakat, memaksimalkan potensi pendapatan daerah, mewujudkan kemandirian masyarakat daerah, dan juga dilakukan dengan praktik kearifan lokal masyarakat setempat. (*)
***
*) Oleh : Boy Anugerah, S.I.P., M.Si., M.P.P., Tenaga Ahli di DPR RI, Alumnus Magister Kebijakan Publik SGPP Indonesia dan Direktur Eksekutif Baturaja Project.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman | 
| Editor | : Hainorrahman | 
 Opini
 Opini 
       
             
             
             
             
             
             
             
             
             
             
                 
                 
                 
                 
                 
             
             
             
             
             
             
             
             
             
               TIMES Jakarta
            TIMES Jakarta