https://jakarta.times.co.id/
Opini

Membangun Badan Pembinaan BUMD untuk Kemandirian Fiskal

Sabtu, 27 Desember 2025 - 16:32
Membangun Badan Pembinaan BUMD untuk Kemandirian Fiskal Andi Saputra, S.H., M.H., Direktur Eksekutif PAR Alternatif, Lembaga riset Hukum-Politik.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Ada satu kesalahpahaman yang kerap muncul dalam wacana desentralisasi fiskal. Seolah-olah otonomi cukup diwujudkan dengan memperbesar kewenangan. Padahal, kewenangan tanpa kapasitas hanyalah beban yang dipindahkan.

Pemerintah daerah hari ini justru berada pada tahap yang lebih genting. Bukan lagi soal diberi wewenang atau tidak, melainkan soal sanggup atau tidak mengelola dirinya sendiri.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah memberi sinyal yang cukup tegas. Negara masih mendukung daerah, tetapi tidak lagi memanjakannya. Ruang fiskal dibuka, namun sekaligus dipagari oleh tuntutan kinerja dan rasionalitas.

Daerah didorong untuk tidak terus-menerus bergantung pada transfer pusat, melainkan membangun sumber pendapatan yang lebih berkelanjutan. Pada titik inilah, pembicaraan tentang optimalisasi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) menemukan relevansinya.

Secara konseptual, BUMD adalah perpanjangan tangan ekonomi pemerintah daerah. Ia mengelola sektor-sektor yang dekat dengan hajat hidup orang banyak: air minum, energi, transportasi, pangan, perdagangan, hingga pariwisata. Di atas kertas, BUMD seharusnya menjadi simpul pertemuan antara pelayanan publik dan penciptaan nilai ekonomi.

Kenyataannya, kontribusi BUMD terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih jauh dari harapan. Banyak BUMD hidup segan mati tak mau. Bahkan tidak cukup sehat untuk memberi dividen, tetapi cukup besar untuk terus menyedot penyertaan modal.

Masalahnya bukan semata pada individu pengelola, melainkan pada struktur yang membentuk mereka. Tata kelola yang lemah, arah bisnis yang kabur, dan minimnya pembinaan yang serius membuat BUMD terjebak dalam rutinitas. Rencana bisnis sering kali hanya copy paste dari tahun sebelumnya. Inovasi berjalan lambat.

Di saat yang sama, pengangkatan direksi dan komisaris masih kerap dibaca sebagai bagian dari siklus politik jangka pendek. BUMD akhirnya kehilangan watak korporasinya, namun juga tidak sepenuhnya berfungsi sebagai instrumen pelayanan publik.

Di banyak negara, perusahaan milik negara atau daerah justru menjadi tulang punggung keuangan publik. Aset publik tidak diperlakukan sebagai barang mati, melainkan sebagai portofolio yang harus dikelola dengan kecermatan bisnis. Kita bisa menunjuk Temasek di Singapura atau Khazanah di Malaysia sebagai contoh ekstrem.

Praktik keduanya, perlu direplikasi di Indonesia. Di mana ada lembaga yang secara khusus memikirkan arah, risiko, dan masa depan investasi publik. Sementara, di kebanyakan daerah di Indonesia belum memiliki ekosistem kelembagaan seperti itu.

Karena itulah gagasan pembentukan Badan Pembinaan BUMD patut dibaca sebagai upaya memperbaiki pengelolaan BUMD. DKI Jakarta memberi contoh yang menarik. Dengan mengonsolidasikan pembinaan BUMD dalam satu badan, pemerintah daerah tidak lagi bekerja secara terfragmentasi.

Evaluasi kinerja dilakukan dengan indikator yang lebih terukur. Rencana bisnis disusun dengan horizon jangka panjang. Investasi lintas sektor dikoordinasikan, bukan dibiarkan berjalan sendiri sendiri.

Secara akademis dan catatan penulis, pembinaan BUMD yang tersebar di berbagai dinas memang problematik. Akhir oktober lalu Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian buka bukaan soal kondisi keuangan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dari total 1.091 BUMD di seluruh Indonesia, sekitar 300 di antaranya masih mencatat kerugian dengan total nilai mencapai Rp 5,5 triliun.

Fragmentasi kewenangan menciptakan kebijakan yang saling tidak terhubung. Setiap dinas sibuk dengan logikanya sendiri, sementara BUMD bergerak tanpa kompas strategis yang jelas.

Sebuah badan khusus memungkinkan standardisasi tata kelola, harmonisasi kebijakan, dan evaluasi yang lebih objektif. Ia dapat berfungsi sebagai pengelola portofolio aset daerah menghitung risiko, membaca peluang, dan memastikan setiap rupiah penyertaan modal memiliki alasan ekonomi yang masuk akal. 

Soal penyertaan modal daerah menjadi contoh paling gamblang. Terlalu sering modal disuntikkan tanpa kajian kelayakan yang memadai. Akibatnya mudah ditebak, modal habis, dividen tak pernah sesuai target perencanaan.

Dalam kerangka UU HKPD, pola semacam ini tidak lagi bisa dibenarkan. Badan pembina yang kuat dapat memaksa disiplin fiskal setiap penyertaan modal harus didahului studi kelayakan, analisis risiko, dan proyeksi bisnis yang realistis, lalu dievaluasi secara berkala.  

Di sisi lain, pembinaan juga menyangkut etika tata kelola. Seleksi direksi dan komisaris tidak cukup hanya memenuhi syarat administratif. Ia harus berbasis merit, kompetensi, dan rekam jejak profesional.

Kinerja tidak lagi dinilai semata dari laporan keuangan, tetapi dari kemampuan menciptakan nilai. Seperti efisiensi, inovasi, ekspansi pasar, dan kontribusi nyata terhadap PAD. Dengan cara itu, BUMD ditempatkan dalam satu ekosistem yang mendorong pertumbuhan, bukan sekadar bertahan hidup. 

Pembentukan Badan Pembinaan BUMD adalah soal pilihan arah. Apakah daerah ingin terus mengelola aset publik secara serampangan, atau mulai memperlakukannya sebagai instrumen strategis pembangunan.

Optimalisasi PAD bukan hanya perkara menutup defisit anggaran, melainkan bagian dari proyek besar kemandirian fiskal. Ia menuntut keberanian politik sekaligus kedewasaan teknokratis kepala daerah, khususnya. 

Jika daerah serius ingin melepaskan diri dari ketergantungan pada pusat, membangun ekonomi lokal yang tangguh, dan mewujudkan kemandian fiskal, maka pembinaan BUMD yang terstruktur bukan lagi pilihan tambahan. Ia adalah kebutuhan yang tak bisa terus ditunda. Hal ini adalah langkah untuk memastikan bahwa otonomi benar-benar bekerja, bukan sekadar tertulis dalam undang-undang.

***

*) Oleh : Andi Saputra, S.H., M.H., Direktur Eksekutif PAR Alternatif, Lembaga riset Hukum-Politik.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.