https://jakarta.times.co.id/
Opini

Kepemimpinan Militer dan Tantangan Moral di Usia ke-80 TNI

Minggu, 05 Oktober 2025 - 19:39
Kepemimpinan Militer dan Tantangan Moral di Usia ke-80 TNI Dr. Rudi Pradisetia Sudirdja, S.H., M.H., Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Adhyaksa.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – “Regard your soldiers as your children, and they will follow you into the deepest valleys. Look upon them as your own beloved sons, and they will stand by you even unto death,” Sun Tzu, The Art of War.

Lebih dari dua milenium yang lalu, Sun Tzu menulis kalimat yang hingga kini tetap abadi. Pemimpin sejati adalah ia yang memimpin dengan kasih. Di balik strategi dan disiplin militer, tersimpan ajaran kemanusiaan yang mendalam bahwa loyalitas pasukan lahir bukan karena ketakutan terhadap perintah, tetapi karena rasa hormat dan cinta kepada pemimpinnya. Nilai inilah yang menjadi fondasi kepemimpinan militer di berbagai bangsa, termasuk Indonesia.

Di usia ke-80, Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah melewati berbagai babak sejarah. Perang kemerdekaan, dinamika politik, hingga era modernisasi pertahanan. Namun di tengah perubahan zaman, esensi kepemimpinan militer tetap sama: keberanian, loyalitas, kecakapan, dan pengabdian tanpa pamrih. 

Prinsip ini kembali ditegaskan dalam buku Kepemimpinan Militer karya Presiden Republik Indonesia, Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto, yang menyoroti kepemimpinan bukan sebagai kekuasaan, melainkan sebagai seni menggerakkan manusia.

Menurut Prabowo, “Kepemimpinan militer adalah seni memberi arahan kepada orang-orang yang dipimpin sehingga timbul kemauan, kepercayaan, respek, dan kepatuhan dalam melaksanakan tugas secara efektif.” 

Ungkapan ini menegaskan bahwa kepemimpinan bukan sekadar urusan komando, melainkan kemampuan menyentuh hati dan menumbuhkan semangat. Seorang pemimpin yang hanya mengandalkan kekuasaan mungkin ditaati, tetapi yang mampu menyentuh hati akan diikuti dengan sepenuh jiwa.

Keberanian, kesetiaan, dan kecerdasan menjadi tiga poros utama yang menopang kepemimpinan militer sejati. Keberanian membuat seorang pemimpin teguh dalam risiko. 

Kesetiaan memastikan orientasinya tetap berpihak pada rakyat dan bangsa, bukan pada kepentingan pribadi atau golongan. Sementara kecerdasan membedakan antara pemimpin yang hanya memerintah dan pemimpin yang memberi teladan. 

Nilai-nilai ini tidak hanya relevan bagi dunia militer, tetapi juga menjadi kebutuhan mendesak dalam dunia sipil terutama di birokrasi, politik, pendidikan, dan penegakan hukum yang hari ini kerap kehilangan jiwa kepemimpinan moral.

Sejarah bangsa menunjukkan bagaimana kepemimpinan TNI lahir dari rahim penderitaan dan idealisme. Sosok Jenderal Besar Soedirman, misalnya, adalah simbol dari kepemimpinan yang berakar pada pengorbanan. 

Dalam kondisi sakit parah, ia memilih bergerilya di hutan demi menjaga moral pasukannya. Ia tahu, menyerah berarti mematikan semangat perlawanan bangsa. Dari Soedirman kita belajar bahwa pemimpin sejati tidak memimpin dari belakang meja, tetapi dari garis depan, bersama rakyat yang diperjuangkannya.

Kisah heroik I Gusti Ngurah Rai di Bali juga mengajarkan nilai serupa. Ketika dikepung Belanda, ia memekikkan kata “Puputan” perlawanan total tanpa menyerah. Ia tahu pasukannya akan gugur, namun lebih baik mati dengan kehormatan daripada hidup tanpa harga diri. Semangat ini membentuk karakter dasar kepemimpinan TNI: keberanian melawan ketidakadilan meski peluang kemenangan tipis.

Begitu pula dengan Robert Wolter Monginsidi, pemimpin LAPRIS di Sulawesi. Saat ditangkap Belanda, ia tidak mencari pembenaran diri. Sebaliknya, ia menanggung tanggung jawab penuh atas tindakan pasukannya. “Mereka hanya menjalankan perintah saya,” katanya. Di sinilah letak kemuliaan seorang pemimpin: berani memikul tanggung jawab, bukan melemparkannya kepada bawahan.

Dari keteladanan para pahlawan itu, kita belajar bahwa kepemimpinan sejati bukan soal pangkat, tetapi soal moralitas. Sebab tanpa moral, kekuasaan hanya akan melahirkan ketakutan, bukan kepercayaan.

Kepemimpinan militer juga mengajarkan arti optimisme. Seperti dikatakan Jenderal George S. Patton, “Perang dilakukan dengan senjata, tetapi dimenangkan oleh manusia.” Artinya, kemenangan sejati tidak terletak pada kekuatan fisik, tetapi pada semangat dan keyakinan. 

Prabowo mengutip prinsip cybernetics: “Bila engkau merasa bahwa mungkin engkau akan kalah, sesungguhnya engkau sudah kalah.” Optimisme dalam kepemimpinan bukanlah kesombongan, melainkan kekuatan spiritual yang menular energi positif yang membuat orang berani melangkah meski menghadapi ketidakpastian.

Namun, di tengah modernisasi dan teknologi pertahanan yang semakin canggih, tantangan kepemimpinan TNI kini lebih kompleks. Bukan lagi semata tentang perang fisik, tetapi juga perang moral dan informasi. 

Pemimpin militer masa kini harus mampu menjaga integritas institusi di tengah derasnya arus kepentingan politik, bisnis, dan opini publik. Disiplin dan keberanian saja tidak cukup; dibutuhkan kebijaksanaan dan kepekaan sosial agar TNI tetap menjadi penjaga rakyat, bukan alat kekuasaan.

Di atas semua itu, cinta tanah air tetap menjadi inti dari nilai-nilai TNI. Tetapi cinta ini tidak cukup diucapkan dalam sumpah atau parade. Ia harus diwujudkan dalam integritas. Dalam konteks kekinian, mencintai tanah air berarti menolak korupsi, menolak penyalahgunaan jabatan, dan menolak segala bentuk penindasan terhadap rakyat kecil. Cinta tanah air berarti bekerja sungguh-sungguh dan berani berkata benar meski tidak populer.

Di usia ke-80 ini, TNI dihadapkan pada tugas besar: menjaga kepercayaan publik di tengah krisis moral bangsa. Pemimpin militer harus terus menunjukkan bahwa kekuatan sejati bukan pada senjata, tetapi pada hati yang bersih dan komitmen yang teguh pada rakyat.

Kita belajar dari Jenderal Soedirman tentang pengorbanan, dari Ngurah Rai tentang kehormatan, dan dari Monginsidi tentang tanggung jawab. Semoga nilai-nilai itu tetap menjadi ruh dalam setiap prajurit dan pemimpin TNI hari ini.

Selamat Hari Ulang Tahun ke-80 Tentara Nasional Indonesia. Semoga TNI selalu menjadi benteng kedaulatan, pelindung rakyat, dan teladan moral bagi bangsa.

***

*) Oleh : Dr. Rudi Pradisetia Sudirdja, S.H., M.H., Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Adhyaksa.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.