TIMES JAKARTA, JAKARTA – Di balik meja kantor, setumpuk dokumen dan rapat yang tak jarang menguras energi, tersimpan sekelumit potensi yang jarang atau bahkan tidak tersentuh yaitu kemampuan menulis.
Pegawai negeri sipil atau yang kini lebih akrab disebut sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), selama ini dikenal lewat fungsi administratif, pelayanan publik dan implementasi kebijakan.
Namun, jarang yang menyadari bahwa di balik kesibukan birokrasi, terdapat narasi-narasi yang layak didengar. ASN menulis bukanlah wacana baru tetapi ia belum cukup menjadi gerakan kolektif.
Menulis bagi ASN bukan sekadar melahirkan laporan pertanggungjawaban atau surat resmi. Lebih dari itu, menulis merupakan upaya merawat nalar, merekam dinamika sosial dan berbagi perspektif dari balik sistem.
Di tengah arus informasi yang kadang tak menentu arahnya, tulisan ASN bisa menjadi jangkar menawarkan kejelasan, menjembatani pemahaman publik terhadap kebijakan dan menjadi refleksi dari denyut nadi pelayanan publik yang sesungguhnya.
Lalu, mengapa masih sedikit ASN yang menulis secara publik, dalam bentuk esai, opini, atau catatan reflektif? Salah satu alasannya adalah kekhawatiran dianggap tidak netral atau melampaui batas kewenangan.
Padahal, menulis dengan etika dan tetap berpedoman pada kode perilaku ASN bukanlah pelanggaran, itu justru bentuk keterlibatan aktif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Narasi ASN bukan untuk membela birokrasi melainkan untuk menunjukkan sisi manusiawi dari pelayanan.
ASN yang menulis berarti ASN yang berpikir, merenung dan bersuara. Tulisan mereka bukan hanya milik internal, tetapi milik masyarakat luas. Esai seorang guru tentang anak-anak di pelosok desa.
Catatan harian seorang tenaga kesehatan di puskesmas terpencil atau refleksi seorang analis kebijakan tentang problematikanya dalam merumuskan program, semua itu adalah potret kehidupan bangsa dari lensa yang jauh dari sorot citra kamera.
Menulis juga melatih kepekaan. Ketika ASN terbiasa menuangkan pengalaman dalam tulisan, ia tak hanya bekerja dengan prosedur tetapi juga dengan hati nurani.
Ia melihat warga bukan sebagai angka statistik tetapi sebagai manusia dengan harapan dan kebutuhan yang nyata. Dari sini, akan tumbuh empati dan empati akan melahirkan pelayanan yang lebih beradab.
Di sisi lain, budaya menulis di kalangan ASN juga merupakan bentuk literasi kelembagaan. Negara yang kuat bukan hanya dilandasi regulasi melainkan juga narasi.
Tulisan-tulisan ASN bisa menjadi jejak sejarah, dokumentasi sosial dan bahan evaluasi kebijakan di masa depan. Dengan menulis, ASN turut membangun peradaban birokrasi yang terbuka dan reflektif.
Tentu, tak semua tulisan harus idealis atau ilmiah. Menulis bisa dimulai dari hal sederhana misalnya pengalaman mengajar, pengalaman perjalanan dinas ke desa terpencil, kisah sukses UMKM binaan atau bahkan perenungan pribadi tentang arti melayani sebagai seorang pengabdi. Yang terpenting adalah keberanian untuk memulai dan ketekunan untuk terus mencoba.
Gerakan ASN Menulis seharusnya tidak berhenti sebagai slogan. Ia perlu dibarengi dengan dukungan konkret pelatihan menulis, ruang publikasi resmi bagi ASN hingga insentif bagi karya tulis yang berdampak.
Lebih dari itu, instansi harus mendorong budaya dialog dan keterbukaan, di mana menulis dianggap sebagai kontribusi bukan dimaknai lain.
Pada akhirnya, ketika ASN menulis ia sedang membangun jembatan antara negara dan rakyatnya. Ia tidak hanya menjalankan tugas tetapi juga meninggalkan jejak. Jejak yang tidak hanya tercetak di kertas kerja tetapi juga di hati mereka yang membaca dan merasa didengar.
Menjadi ASN bukan berarti membungkam pena. Justru dari pena itu bisa menjadi alat untuk menjelaskan, menyembuhkan dan menghidupkan semangat pelayanan. Karena di balik seragam yang dikenakan, ASN juga manusia dan manusia selalu punya cerita untuk diceritakan. (*)
***
*) Oleh : Andi Adriansah, S.H., Pegawai Negeri Sipil.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |