https://jakarta.times.co.id/
Opini

Gimmick Reshuffle Kabinet

Minggu, 14 September 2025 - 21:00
Gimmick Reshuffle Kabinet Rifqi Fadhillah, Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Pada 8 September 2025 kemarin, Presiden Prabowo Subianto seperti pendahulunya, baik SBY maupun Jokowi melakukan reshuffle terhadap Kabinet Merah Putih pasca gelombang demonstrasi besar-besaran yang mengguncang publik pada Agustus lalu. 

Beberapa menteri diganti, termasuk posisi strategis seperti Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Menteri Keuangan, Menteri Perlindungan Pekerja Migran, Menteri Koperasi, hingga Menteri Pemuda dan Olahraga. 

Pertanyaan yang muncul, apakah pergantian ini menyentuh persoalan mendasar yang menjadi keluhan publik? Dari penilaian awal, tampaknya tidak. Reshuffle ini lebih mirip ganti pemain, bukan ganti strategi. 

Perubahan orang saja sementara kerangka kebijakan yang dianggap membuat publik resah, ekonomi yang melemah, disparitas sosial, harga barang pokok, kesenjangan akses belum terlihat indikasi perubahan paradigma yang kuat.

Politisasi Jabatan 

Sejarah reformasi telah berkali-kali menampilkan kabinet yang dibentuk berdasarkan kompromi politik, kepentingan partai atau kekuasaan koalisi, alih-alih berdasarkan keahlian teknis dan prestasi. 

SBY melakukan reshuffle yang sering mencerminkan porsi partai koalisi yang harus diberi imbas, bukan karena dari awal fokus pada efektivitas pelayanan publik. 

Jokowi pun tidak luput dari kritik serupa berapa kali menteri berganti bukan karena kegagalan kerjanya yang nyata, melainkan karena perimbangan politik, tuntutan partai, dan “kursi kekuasaan”. Reshuffle sekarang, dalam periode Prabowo, tampaknya melanjutkan tradisi lama tersebut.

Penggantian Sri Mulyani, figur yang diakui secara internasional atas keahliannya dalam mengelola fiskal. Bagus bahwa ada figur baru, tapi publik akan menilai apakah Purbaya Yudhi Sadewa yang masuk mampu mempertahankan stabilitas tanpa hanya mengikuti pola lama atau menyesuaikan diri pada tuntutan politik dan ekonomi yang mendesak. Jika transisi ini hanya kosmetik mengganti nama tapi bukan pendekatan publik akan kecewa.

Reshuffle Setelah Demonstrasi

Waktu reshuffle ini dilakukan tidak bisa dilepaskan dari tekanan publik. Demonstrasi besar pada Agustus lalu membenturkan kenyataan bahwa masyarakat lelah dengan kebijakan yang tak dirasakan manfaatnya, biaya hidup yang tinggi, dan persepsi bahwa elit politik jauh dari suara rakyat.

Tetapi yang perlu diingat adalah ketika kekuasaan merespon demonstrasi dengan mengganti menteri, belum tentu masalah yang dipicu demonstrasi sistem ekonomi, distribusi kekuasaan, struktur regulasi, atau korporasi ikut teroptimasi. 

Seandainya reshuffle tidak dibarengi audit kebijakan, evaluasi program secara terbuka, dan perubahan struktural, maka pergantian menteri bisa seperti mengganti seragam tanpa mengganti isi. 

Sebagai contoh, komentar publik setelah pengangkatan menteri keuangan baru sempat mencatat bahwa pernyataannya kurang peka terhadap tuntutan masyarakat.

Reshuffle, Kepercayaan, dan Harapan Publik

Kalau publik melihat reshuffle selalu sebagai “bagi-bagi kue kekuasaan”, kepercayaan terhadap pemerintah bisa terkikis. Pemerintah seharusnya menggunakan momen-momen seperti ini untuk memperkuat meritokrasi memilih orang berdasarkan kapasitas, integritas, rekam jejak dan teknokrasi membiarkan keputusan dibuat berdasarkan data, keahlian, dan urgensi masalah, bukan sentimen politik semata.

Jika Prabowo dan kabinetnya bisa membuktikan bahwa penggantian ini bukan hanya soal politik, tetapi bahwa menteri-menteri baru membawa visi nyata untuk memperbaiki kehidupan rakyat soal inflasi, kesejahteraan, keadilan, lingkungan hidup maka reshuffle ini akan dikenang sebagai langkah progresif. 

Tapi jika yang terjadi adalah kursi berpindah, partai dihargai, atau citra dibersihkan, sementara rakyat masih rasa “sama saja”, maka publik punya alasan kuat mengatakan: ini hanya gimmick politik.

Ganti Orang Jangan Lupa Ganti Sistem

Reshuffle adalah instrumen yang sah dalam demokrasi; presiden punya hak prerogatif untuk menata kabinetnya. Namun, hak prerogatif itu harus dibarengi tanggung jawab: tanggung jawab kepada rakyat untuk memastikan perubahan terasa, bukan sekadar terlihat. 

Tanpa sentuhan kebijakan yang mendasar yang menyelesaikan masalah di akar, bukan di permukaan, maka reshuffle hanya menjadi salah satu variasi teater kekuasaan.

Kita, sebagai warga dan pengamat, harus menuntut lebih dari pergantian nama. Kita harus menuntut pergantian gagasan, langkah konkret, serta komitmen transparan pada meritokrasi dan teknokrasi. 

Jika tidak, kita akan terus menyaksikan reshuffle-reshuffle berikutnya yang banyak digembar-gemborkan, sedikit menyentuh, dan akhirnya, hanya menjadi alat retorika politik.

Saya kira inilah yang perlu menjadi refleksi mendalam, bukan berapa banyak menteri yang diganti, melainkan seberapa jauh pergantian itu bisa membalik keadaan nyata di lapangan kesejahteraan rakyat, kepercayaan publik, dan kualitas pemerintahan. Jika itu tercapai, reshuffle menjadi alat, bukan pertunjukan.

***

*) Oleh : Rifqi Fadhillah, Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.