TIMES JAKARTA, JAKARTA – Beberapa hari terakhir, muncul kembali klaim dari sejumlah kader HMI bahwa PMII didirikan oleh HMI, bahkan ada narasi bahwa lah HMI lah yang berhak menuntut balas budi dari PMII.
Pernyataan tersebut memancing reaksi, terutama setelah Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dalam pernyataannya: “Yang tumbuh dari bawah itu PMII, bukan HMI.” Namun, pandangan ini perlu diluruskan karena bertentangan dengan fakta sejarah.
Sejarah penciptaan PMII bermula dari Kongres Besar IPNU yang berlangsung pada 14–17 Maret 1960 di Kaliurang, Yogyakarta. Kongres tersebut memutuskan perlunya badan otonom mahasiswa NU sebagai jalur khusus bagi mahasiswa, terlepas dari struktur IPNU- mewadahi aspirasi dan dinamika yang tidak bisa diakomodasi oleh lembaga pelajar.
Proses selanjutnya, musyawarah mahasiswa NU pada 14–16 April 1960 di Surabaya menghasilkan keputusan pemberian nama “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)” organisasi yang secara resmi lahir pada 17 April 1960.
Terdapat 13 pendiri PMII, yang sebagian besar adalah mahasiswa NU dari berbagai wilayah: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Surabaya, Malang, dan Makassar.
Mereka antara lain A. Cholid Mawardi, M. Said Budairy, M. Sobich Ubaid, Makmun Syukri, Hilman Badruddinsyah, dan lain-lain (NU Online). Tidak ada satupun dari mereka yang tercatat sebagai kader HMI, melainkan berasal dari jaringan IPNU dan perguruan tinggi NU.
Mahbub Djunaidi, yang kadang disebut sebagai “pendiri” oleh pihak tertentu, sejatinya bukan bagian dari 13 pendiri tersebut. Ia merupakan tokoh NU yang ditunjuk sebagai Ketua Umum PB PMII periode pertama (1960–1967), karena dianggap memiliki reputasi dan pengalaman organisasi yang matang.
Meskipun di masa lalu aktif di HMI dan pernah menempati posisi strategis di sana, Mahbub tidak mendirikan PMII bersama tiga belas tokoh lainnya.
Dengan demikian, klaim bahwa PMII adalah produk kader HMI merupakan distorsi narasi sejarah. PMII lahir sebagai aspirasi baru dari kalangan mahasiswa NU, bukan karena inisiatif kelembagaan HMI.
Bahkan, HMI lebih dekat dengan tradisi politik modernis dan Masyumi, sementara PMII muncul sebagai respons terhadap kekosongan representasi mahasiswa NU di level nasional.
Dalam konteks hubungan kedua organisasi, PMII bukanlah lawan melainkan kawan seperjuangan HMI, sama-sama berakar pada Islam dan idealisme kebangsaan. Klaim sejarah yang salah justru berpotensi merusak ukhuwah antar kader dan menyuburkan konflik internal yang tidak perlu.
Perlulah rekonsiliasi narasi berdasar fakta, sebagai wujud saling menghormati dan menjaga marwah masing-masing tanpa mengklaim keistimewaan lebih tinggi.
PMII secara ideologis tetap berlandaskan Ahlussunnah wal Jamaah, namun secara struktural telah menyatakan independensi dari NU sejak Deklarasi Murnajati tahun 1972.
Meski demikian, hubungan historis dan moral dengan NU tetap erat seperti ditetapkan dalam kebijakan interdependensi PMII‑NU pada Kongres X tahun 1991.
Nilai-nilai yang diusung PMII sejak awal yaitu membentuk pribadi Muslim Indonesia yang bertakwa, berilmu, berbudi luhur, dan berilmu untuk memajukan bangsa tetap relevan hingga kini.
Melalui Tri Khidmah dan Tri Komitmen, PMII terus menorehkan kontribusi kadernya dalam pembangunan masyarakat dan negara.
Meluruskan fakta bukan soal siapa yang lebih besar, tapi menghargai sejarah dengan objektivitas. PMII bukan produk HMI, tapi gerakan mahasiswa NU yang lahir secara mandiri.
Kiranya klarifikasi ini memperkuat semangat persaudaraan dan kerja sama antara HMI dan PMII, tanpa dibayang-bayangi narasi keliru.
***
*) Oleh : Muhammad Rifki Syaiful Rasyid, Tim Kaderisasi Nasional PB PMII 2024-2027.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |