TIMES JAKARTA, JAKARTA – Kazan: Sejarah dan Identitas Tatarstan
Berbicara tentang Kazan, tentu tidak dapat dipisahkan dari Republik Tatarstan dan Gabdulla Tukay. Kazan seolah membawa kita ke lorong waktu yang panjang, menyusuri sejarah dan budaya yang kaya sejak lebih dari seribu tahun silam.
Kazan adalah ibu kota Republik Tatarstan. Nama "Tatarstan" sendiri berakar dari bahasa Persia, di mana "stan" berarti wilayah atau negeri, seperti Uzbekistan, Tajikistan, Kazakhstan, dan Kirgistan yang berada di Asia Tengah. Dengan demikian, Tatarstan berarti "negeri Tatar".
Secara historis, Kazan adalah ibu kota Kekhanan Kazan, yang menjadi sintesis dua budaya besar, yakni Timur dan Barat, serta perpaduan Islam dan Kristen Ortodoks.
Asal-Usul Suku Tatar
Dari mana asal suku Tatar? Nama "Tatar" pertama kali muncul di antara suku-suku nomaden yang tinggal di timur laut Mongolia dan sekitar Danau Baikal sejak abad ke-5 Masehi.
Meskipun tinggal di wilayah Mongolia, suku ini berbicara dalam bahasa Turki. Hal ini mungkin karena mereka memiliki keterkaitan dengan suku Çuman atau Kipchak—kelompok etnis yang tersebar di Azerbaijan, Dagestan, Kazakhstan, Rusia, Ukraina, Uzbekistan, bahkan Polandia.
Kazan: Kota Multikultural di Persimpangan Volga
Kazan adalah kota terbesar dan ibu kota Republik Tatarstan yang terletak di pertemuan Sungai Volga dan Sungai Kazanka, dengan luas 423,3 kilometer persegi. Dengan populasi sekitar 1,3 juta jiwa, Kazan menjadi kota kelima terbesar di Rusia dan yang terpadat di kawasan Volga.
Kazan adalah oase seni dan budaya, tempat pertemuan berbagai peradaban yang pernah singgah di sana, terutama pengaruh dari Mongolia, Turki, dan Rusia. Namun, Kazan tetap mempertahankan identitas uniknya sebagai pusat kebudayaan suku Tatar Kazan.
Asal-Usul Nama "Kazan"
Secara etimologi, "Kazan" berarti ketel uap atau kuali. Legenda menyebutkan bahwa seorang dukun memberi saran kepada masyarakat Bulgaria untuk membangun kota tanpa api. Sebagai gantinya, mereka mengubur sebuah ketel uap ke dalam tanah untuk merebus air.
Nama "Kazan" konon berasal dari kisah seorang pelayan bernama Khan Altyn Bek, yang tanpa sengaja kehilangan sebuah kuali, sehingga kota ini diberi nama sesuai peristiwa tersebut.
Perdana Menteri India, Modi, menikmati jamuan kuliner tradisional Kazan.
Sejarah Panjang Suku Tatar
Sejarah mencatat bahwa konfederasi suku Tatar sudah ada di Gurun Gobi, timur laut Asia, pada abad ke-5. Setelah ditaklukkan oleh suku Khitan pada abad ke-9, mereka bermigrasi ke selatan.
Pada abad ke-13, suku Tatar ditaklukkan oleh Jenghis Khan dari Mongolia. Di bawah kepemimpinan cucunya, Batu Khan, mereka bergerak ke barat dan membentuk Gerombolan Emas (Golden Horde) yang mendominasi padang stepa Eurasia dari abad ke-14 hingga ke-15.
Di Eropa, suku Tatar berasimilasi dengan penduduk setempat serta kelompok etnis lain yang mereka taklukkan, seperti suku Kipchak, Klimaks, dan sisa-sisa koloni Yunani di Krimea serta Kaukasus. Sementara itu, Tatar Siberia merupakan keturunan bangsa Turki yang melarikan diri ke wilayah Pegunungan Ural.
Kazan: Simbol Perpaduan Timur dan Barat
Secara historis, Kazan adalah ibu kota Kekhanan Kazan, yang menjadi sintesis dua budaya besar, yakni Timur dan Barat, serta perpaduan Islam dan Kristen Ortodoks. Keanekaragaman etnis dan budaya di kota ini juga menciptakan kuliner khas yang unik.
Gastronomi Suku Tatar Kazan
Gaya hidup nomaden dan iklim yang tidak menentu menjadikan perempuan Tatar Kazan sangat piawai dalam menciptakan hidangan lezat, seperti:
Shahke – sate daging domba yang mirip dengan Shahsilk Uzbek atau Kebab Iran, di mana daging dilumuri rempah-rempah, ditusuk dengan tusukan aluminium, lalu dipanggang.
Katlama – sejenis roti pipih ala Xian, yang dipanggang lalu diisi dengan daging atau sayuran.
Chakchak dan Bekkes – kudapan manis dari adonan tepung yang digoreng, kemudian disajikan dengan siraman madu atau gula.
Tak lengkap tanpa minuman khas Tatar:
Çai – teh hitam tradisional
Qahwa – kopi khas Tatar yang dibuat dari biji kopi yang digiling halus
Kuliner suku Tatar Kazan tidak hanya menggugah selera, tetapi juga memiliki makna spiritual dan budaya yang erat kaitannya dengan peradaban Jalur Sutra. Sebagai salah satu kota penting di Jalur Sutra, Kazan memainkan peran strategis dalam perdagangan antara Turki, Iran, India, Tiongkok, Asia Tengah, dan Eropa.
Gabdulla Tukay, tokoh sastra Republik Tatarstan yang lahir pada 26 April 1886.
Perjumpaan di Qol Sharif
Saat senja menjelang, sayup-sayup terdengar azan Magrib dari Qol Sharif, masjid indah yang dibangun pada abad ke-21. Aku bergegas mengambil wudu, dan saat akan memasuki pintu saf perempuan, mataku tiba-tiba bertemu dengan sepasang mata tajam seorang penyair besar Kazan.
Masha Allah! Rasanya mustahil. Aku datang dari belasan ribu kilometer jauhnya, dan kini berhadapan dengan Gabdulla Tukay, penyair yang hidup di akhir abad ke-19 dan hanya bertahan selama 27 tahun karena digerogoti tuberkulosis.
Aku teringat salah satu karya besarnya, "The Village of My Childhood", yang begitu indah dan penuh nostalgia. Puisi ini menggambarkan kampung halamannya dengan cinta dan kerinduan yang mendalam.
Aku memanggil namanya.
"Assalamualaikum, Tuan Gabdulla Tukay. Perkenalkan, saya Nia Amira Osman, penyair dan jurnalis dari Indonesia. Saya ingin..."
Namun, sebelum sempat berkata lebih jauh, alarm pukul 4 pagi di ponselku berbunyi nyaring, membangunkanku dari tidur lelap.
Oh, ternyata aku baru saja bermimpi!
Aku ingin mengulang mimpi itu, bertemu penyair kebanggaan Kazan. Dan nanti, aku akan memintanya menemaniku menikmati sore di Kremlin Kazan, benteng bersejarah yang menjadi simbol kesinambungan sejarah dan keberagaman budaya Tatarstan. Aku juga ingin mengunjunginya di Katedral abad ke-16, Menara Miring Soyembika, dan tentu saja Qol Sharif yang menawan.
Kazan: Kota Berteknologi dan Sastra Digital
Kazan terus berbenah, memulihkan situs-situs budaya dan sejarahnya. Pembangunan infrastruktur dan konsep pengembangan ruang publik menjadikan Kazan semakin menarik bagi warga dan wisatawan.
Dengan julukan kota berteknologi "Innopolis", tidak mustahil Kazan akan menjadi pelopor Sastra Digital spektakuler dengan teknologi hologram, di mana Gabdulla Tukay membacakan puisi legendarisnya, "The Village of My Childhood", di hadapan para penonton.
Dan aku, tentu saja, akan duduk di bangku terdepan. (*)
* Nia S. Amira
Jurnalis Times Indonesia
Peneliti Jalur Sutra
Penyair Internasional
*) Dari berbagai sumber
Pewarta | : Nia S. Amira |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |