TIMES JAKARTA, JAKARTA – Kisruh antara Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dengan perusahaan asal Amerika Serikat Cloudflare menarik untuk dicermati. Geram karena himbauannya sejak 2024 tidak ditindaklanjuti secara memadai, Komdigi mengancam akan menjatuhkan sanksi hingga penutupan operasi.
Komdigi menilai bahwa Cloudflare menyalahi aturan karena tidak mendaftarkan layanannya dalam sistem Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat.
Komdigi juga berpandangan bahwa Cloudflare telah menjadi perantara (middleman) sekaligus pelindung bagi sejumlah situs ilegal yang beroperasi di Indonesia, termasuk judi online yang menjadi atensi serius bagi pemerintah.
Konflik Cloudflare dan Komdigi ini sejatinya membuka kotak hitam persoalan keamanan dan kedaulatan digital di negeri. Indonesia dengan segala atribut nasional yang dimiliki dan visi misi besar yang hendak dicapai, ternyata masih sangat rentan di ranah digital. Sikap keras Komdigi menimbulkan perdebatan dan dilema di publik.
Alasannya sederhana, pemblokiran Cloudflare berpotensi merugikan kepentingan nasional Indonesia karena banyak layanan yang bergantung pada perusahaan ini seperti institusi pendidikan, perbankan, media massa, e-commerce, hingga perusahaan-perusahaan rintisan.
Di sisi lain, publik juga mengamini langkah Komdigi karena aktivitas ilegal yang seharusnya diblokir seperti judi online dan kejahatan siber lainnya jadi sulit diatasi karena sistem reverse proksi dari Cloudflare mampu melindungi IP Server asli.
Apa yang dialami oleh Indonesia saat ini, yakni dilema penggunaan teknologi asing, juga dialami oleh negara-negara lain seperti Vietnam, Thailand, dan India. Di satu sisi, ada komitmen yang kuat untuk membangun dan menegakkan kedaulatan digital secara nasional.
Di sisi lain, kapasitas domestik belum memadai untuk membangun infrastruktur digital secara mandiri, sehingga konsekuensinya adalah menerima dominasi teknologi asing dengan segala konsekuensinya.
Sikap Komdigi yang hendak menutup layanan Cloudflare misalnya, justru memantik resistensi dari kalangan domestik sendiri. Publik dan pengguna internet justru khawatir situs-situs yang menggunakan layanan akan menjadi lambat, tidak mudah diakses, serta risiko keamanan digital yang justru semakin meningkat.
Pemerintah, khususnya Komdigi selaku pemangku kepentingan, seyogianya bersikap cermat dan saksama dalam merespons persoalan ini. Sikap cermat dengan senantiasa dilandasi kewaspadaan nasional yang tinggi sangat dibutuhkan agar kebijakan pemerintah tidak menjadi sasaran tembak oleh masyarakat Indonesia sendiri dan menjadi citra negatif di mata komunitas internasional.
Yang perlu digarisbawahi dan diyakini oleh pemerintah adalah kemandirian dan kedaulatan digital sudah menjadi keharusan yang wajib segera dipenuhi, bukan sekadar kebutuhan.
Kemandirian digital hanya dapat tercapai ketika pemerintah mampu memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana digital publik dengan menggunakan potensi sumber daya nasional sendiri.
Sedangkan dalam konteks kedaulatan digital, adalah kewajiban pemerintah untuk memastikan kepatuhan pihak manapun terhadap regulasi dan ketentuan hukum nasional yang mengatur persoalan digital di dalam negeri.
Dalam konteks membangun kemandirian nasional di ranah digital, pemerintah perlu menyusun cetak biru yang jelas seperti infrastruktur apa yang hendak dibangun secara jangka pendek, menengah, dan panjang, berapa anggaran yang dibutuhkan, kerja sama bilateral dan multilateral apa yang perlu dikembangkan, serta target-target yang hendak dicapai.
Visi misi pemerintah untuk memajukan sektor pendidikan, UMKM, koperasi, dan lain-lain, sulit mengalami akselerasi apabila tidak ditunjang infrastruktur digital yang memadai. Kemandirian digital secara nasional akan menjadi jembatan emas yang mengkatalisasi kapasitas berbagai sektor tersebut guna mendukung target pertumbuhan ekonomi 8 persen pemerintah yang optimis.
Pemerintah tidak bisa serta-merta melakukan pemblokiran terhadap layanan Cloudflare karena berpotensi menimbulkan citra buruk bagi pemerintah yang dapat berdampak destruktif terhadak iklim dan ekosistem investasi nasional. Mekanisme dialog dan negosiasi mutlak dilakukan.
Pemerintah dapat menggunakan pendekatan kompromi seperti mengajukan penawaran pendaftaran secara terbatas atau kerja sama teknis yang sifatnya terbuka. Pemerintah dapat menyerap terlebih dahulu aspirasi dari komunitas digital nasional seperti para pakar, praktisi, akademisi, hingga para pengguna layanan, serta meminta masukan mekanisme seperti apa yang kompatibel bagi kepentingan nasional Indonesia ke depan. (*)
***
*) Oleh : Boy Anugerah, S.I.P., M.Si., M.P.P., Tenaga Ahli di DPR RI, Alumnus Magister Kebijakan Publik SGPP Indonesia dan Direktur Eksekutif Baturaja Project.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |