TIMES JAKARTA, JAKARTA – Setelah purna tugas dari Presiden, Jokowi tetap berpolitik. Efek cawe-cawenya dalam pilpres 2019 terhadap kemenangan Prabowo-Gibran akan dicoba ulang untuk pasangan bacagub-cawagub untuk daerah tertentu terutama DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara.
Bedanya, dalam pilpres ia masih menjabat sebagai presiden. Sedangkan dalam pilkada sudah tidak lagi menjabat. Logika umum mengatakan bahwa keterpengaruhannya sebagai presiden jauh lebih besar dan efektif dibanding dalam posisinya sebagai warga biasa. Benarkah demikian?
Barangkali, konteks endorsment Jokowi terhadap paslon cagub-cawagub di tiga daerah utama dapat dijelaskan sebagai berikut, pertama, sebagai lanjutan perlawanannya dengan PDIP Cq Megawati Soekarno Putri. Peperangan ini, bagi Jokowi, dapat diduga sebagai pertunjukan “marwah” dirinya yang sudah terlanjur berseteru sejak ia hengkang dari PDIP.
Atribusi sebagai “anak durhaka”, tidak tau diuntung, tidak pandai berterima kasih dan seluruh labelisasi terhadap dirinya masih kuat melekat. Sejauh ini, respons yang ditunjukkannya adalah diam. Tetapi, secara diam-diam pula ia melakukan tindakan politik, baik ketika masih menjabat maupun sudah tidak menjabat, yang melebihi dari sikap diamnya secara verbal.
Mungkin inilah gaya “wong Solo” yang berkelahi dalam “diam”. Wajahnya tetap cool dan senyum, tetapi lambat laun, diam dan senyumnya tersirat makna kemarahan dan “kegarangan”. Bagi siapa saja yang terbiasa dengan budaya “terus terang” dan apa adanya, “perlawanan dalam diam” itu jauh lebih membahayakan untuk tidak mengatakan melawan “pembunuh berdarah dingin”.
Kedua, sebagai tanggung jawab atas “politik dinasti” dan “politik kerabat”. Di pilkada Sumatera Utara, suka atau tidak suka, Jokowi akan all-out untuk memenangkan menantunya, Boby Nasution. Nalar publik akan dengan mudah menyimpulkan, “tidak ada seorang ayah (mertua) yang tega membiarkan anaknya berperang sendirian”. Darah itu lebih kental dari ideologi.
Di Jawa Tengah dan DKI, sosok Ahmad Luthfi dan Ridwan Kamil, pendekatan kekerabatan Jokowi lebih tampak dibandingkan dengan Andika Perkasa dan Pramono Anung. Bisa jadi, sembilan tahun kebersamaannya dengan Pramono Anung sebagai sekretaris Kabinet dibatasi kedekatannya oleh faktor PDIP dan Megawati terutama dalam lima tahun terakhir.
Ketiga, menjaga relasi Jokowi-Prabowo. Sejarah belum terlalu jauh melintas. Dirangkulnya Parbowo dalam kabinet Jokowi pada 2019 lalu dan endorsmentnya terhadap kemenangan Prabowo sebagai presiden menjadi alat ukur untuk gagasan keberlanjutan program Jokowi ke Prabowo.
Dalam banyak narasi, rekonsiliasi ini akan tetap dijaga dalam lima tahun ke depan. Itu sebabnya, visual Prabowo dalam mendukung pasangan Ahmad Luhfi-Taj Yasin dapat dijelaskan. Prabowo dengan sadar mengambil resiko dipersoalkan oleh publik sebagai tindakan tidak etis dalam posisinya sebagai presiden meskipun dibenarkan dalam posisinya sebagai ketua umum partai.
Saya menduga, Prabowo masih belum melunasi “jasa Jokowi” yang menjadikannya sebagai presiden. Lagi-lagi, dalam soal ini, jurus-jurus Jokowi masih efektif untuk membunuh lawan-lawannya.
Keempat, relasi pilkada dan tarikan pilpres 2029. Memang, pilpres 2029 masih lama dan jauh. Tetapi investasi politik tidak mengenal istilah lama dan jauh.
Kantong-kantong suara seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan DKI sebagai barometer kepemimpinan nasional pastilah memiliki daya tarik politik elektoral yang layak dikontestasikan sejak dini. Dalam hal ini, pilkada 2024 merupakan starting point untuk pilpres 2029.
Kehadiran Andika Perkasa yang mantan panglima dan dicalonkan oleh PDIP akan menjadi perhatian sebagai “ancaman” bagi partai-partai lawannya. Dan bisa jadi, orang seperti Jokowi akan kembali menunjukkan kemahirannya dalam menggembosi suara PDIP di kandang Banteng.
Endorsment yang nyata dari mantan presiden dan presiden eksisting terhadap pasangan Ahmad Luthfi-Taj Yasin, selain berkepentingan dalam pilpres 2029 dapat pula dipahami sebagai “kepanikan politik” karena sebab persaingan elektoral yang cukup ketat.
Masalahnya, apakah gaya Jokowi dengan seluruh “cara berkelahi” dan strateginya akan berhasil sebagaimana pada ajang pilpres 2029?. Telah dimaklumi umum bahwa banyak variabel yang berubah dan dinamis antara pilkda dan pilpres.
Sosok-sosok yang bertarung seperti biasa akan mempengaruhi tingkat kemenangan paslon tertentu. Di Jakarta, paslon Pramono-Rano Karno relatif lebih “kawin” dengan warga Jakarta terutama Betawi dengan paslon Ridwan Kamil-Suswono.
Hal itu terbukti dalam rekaman banyak lembaga survei. Profil Andika-Hendi relatif kompetitif. Apalagi mereka bertarung di kandang Banteng. Begitu juga di Sumatera Utara, incumbent Edy Rahmayadi-Hasan Basri Sagala tidak mudah ditaklukan Boby Nasution. Lagi-lagi, cerminannya tergambar dalam aneka survei.
Last but not least, pesona Jokowi akan segera tergambar dalam hasil Pilkada terutama di tiga wilayah. Jika pertarungan politik di tiga wilayah itu berpihak pada kehendak Jokowi (dan belum tentu Prabowo). Maka ia akan memiliki peluang untuk mendorong putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka sebagai capres 2029.
Dan itu berarti akan menjadi catatan bagi Prabowo sebagai presiden eksisting. Tetapi, jika keinginannya kandas diseruduk kepala banteng, maka ia harus bersiap menghadapi ombak dan gelombang politik yang berpotensi menengglemakannya.
***
*) Oleh : Abdul Mukti Ro’uf, Kolomnis, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Alumni Jurusan Aqidah-Filsafat IAIN Susqa Pekanbaru Riau.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |