https://jakarta.times.co.id/
Kopi TIMES

Demokrasi Tak Bertuan

Minggu, 29 September 2024 - 16:31
Demokrasi Tak Bertuan Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan

TIMES JAKARTA, JAKART – Di era modern ini, demokrasi seringkali dianggap sebagai pilar utama dalam pembangunan masyarakat yang adil dan beradab. Namun, realitas menunjukkan bahwa banyak sistem demokrasi yang tidak lagi berfungsi sesuai dengan esensinya. 

Proses pemilu, yang seharusnya menjadi manifestasi dari kehendak rakyat, telah bertransformasi menjadi alat yang dimanfaatkan oleh segelintir individu dan kelompok untuk mengamankan kepentingan pribadi. Dalam konteks ini, kita dapat mempertanyakan keberadaan demokrasi itu sendiri, yang seharusnya menjadi milik rakyat, tetapi kini tampak teralienasi dan dipertaruhkan oleh elit politik.

Munculnya berbagai praktik politik yang tidak sehat, seperti politik uang, manipulasi suara, dan propaganda yang masif, menunjukkan bahwa demokrasi kita sedang mengalami krisis identitas. Pemilih seringkali dihadapkan pada pilihan yang tidak memuaskan, antara kandidat yang tidak memenuhi harapan mereka dan yang jelas-jelas mewakili kepentingan kelompok tertentu. 

Hal ini menimbulkan apatisme di kalangan masyarakat, di mana banyak orang merasa suara mereka tidak berarti dalam menghadapi kekuatan politik yang tidak transparan dan penuh intrik. Dalam situasi ini, aspirasi untuk menciptakan pemerintahan yang responsif dan akuntabel menjadi semakin sulit untuk diwujudkan.

Keberadaan institusi yang seharusnya mengawasi proses demokrasi pun seringkali lemah dan terpengaruh oleh kepentingan politik. Misalnya, lembaga pemilihan umum yang dibentuk untuk menjaga integritas pemilu sering kali dikritik karena ketidaknetralannya. 

Keterlibatan aktor-aktor politik dalam menentukan arah kebijakan lembaga tersebut menciptakan kondisi di mana keputusan yang diambil lebih berpihak pada kepentingan segelintir orang daripada kepentingan masyarakat luas. Dalam konteks ini, demokrasi tampak kehilangan kompas dan arah, menjadikannya tak bertuan.

Fenomena ini diperburuk dengan munculnya media sosial sebagai arena baru bagi politik. Meskipun media sosial memiliki potensi untuk meningkatkan partisipasi politik, kenyataannya sering kali menjadi ajang disinformasi dan polarisasi. Berita palsu dan narasi yang tidak akurat dapat dengan mudah menyebar, mempengaruhi opini publik dengan cara yang tidak etis. 

Akibatnya, banyak pemilih yang tidak memiliki informasi yang cukup untuk membuat keputusan yang tepat, sehingga suara mereka menjadi terdistorsi oleh kepentingan pihak-pihak tertentu yang ingin memanipulasi narasi demi keuntungan politik mereka. Dalam jangka panjang, ini mengancam keberlangsungan demokrasi itu sendiri.

Lebih jauh, penting untuk memahami bahwa demokrasi yang sehat tidak hanya bergantung pada proses pemilu yang bersih, tetapi juga pada adanya budaya politik yang matang. Sayangnya, banyak masyarakat yang masih terjebak dalam pola pikir feodal yang memandang pemimpin sebagai sosok yang harus diikuti tanpa kritik. 

Hal ini menciptakan jarak antara pemimpin dan rakyat, di mana pemimpin merasa berhak untuk bertindak atas nama rakyat tanpa melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Ketidaklibatan ini memperparah kondisi demokrasi yang sudah rapuh, menjadikannya semakin tak bertuan dan jauh dari aspirasi kolektif.

Sebagai solusi, perlu ada kesadaran kolektif untuk mengembalikan demokrasi kepada rakyat. Reformasi sistem politik harus dilakukan dengan serius, mulai dari memperkuat lembaga-lembaga yang bertugas mengawasi pemilu hingga mendorong pendidikan politik yang menyeluruh bagi masyarakat. Pendidikan ini penting untuk membekali warga dengan pengetahuan yang memadai tentang hak dan kewajiban mereka sebagai pemilih. 

Selain itu, partisipasi aktif dalam proses politik, baik melalui pemilu maupun kegiatan lainnya, harus didorong agar masyarakat merasa memiliki kendali atas nasibnya sendiri. Hanya dengan cara ini kita dapat mendorong demokrasi untuk berfungsi sebagai alat yang melayani kepentingan rakyat, bukan sebaliknya.

Akhirnya, kita perlu merefleksikan makna sejati dari demokrasi dan menyadari bahwa perjuangan untuk mengembalikannya ke jalur yang benar adalah tanggung jawab bersama. Tanpa adanya upaya kolektif dari setiap individu dalam masyarakat, demokrasi akan tetap terjebak dalam ketidakpastian dan menjadi tak bertuan. 

Melalui kesadaran akan pentingnya peran aktif dalam sistem demokrasi, kita dapat berharap untuk menciptakan masa depan di mana suara rakyat didengar dan dihargai, serta di mana demokrasi berfungsi sebagai instrumen yang membebaskan, bukan yang mengekang. Dengan demikian, harapan untuk menghidupkan kembali makna demokrasi yang sesungguhnya bukanlah hal yang mustahil, asalkan ada komitmen dan usaha yang nyata dari seluruh elemen masyarakat.

***

*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.