TIMES JAKARTA, JAKARTA – Zulhijjah, bulan spesial bagi umat beragama, terkhusus umat Islam. Bulan kedua belas, penanggalan Hijriyah ini, memuat berbagai momen istimewa: Ibadah Haji bagi yang mampu, Puasa Arafah, Salat Idul Adha, dan Ibadah Kurban. Jika membahas rangkaian ibadah tersebut, tentu tak luput dari kisah teladan Abul Anbiya, nabi Ibrahim Alahissalam.
Beberapa karakter nabi Ibrahim yang dikisahkan dalam Al-Quran, di antaranya: Ia adalah orang yang sangat patuh, pemberani, peduli, sabar, pembelajar, teliti, jujur, pendoa, ikhlas, penutur yang baik, dan tawakal (Zaimudin, 2018).
Menurut saya, di antara banyak kisah nabi Ibrahim, pikiran dan sikap kritisnya mengenai ketuhanan menjadi value yang paling mengesankan sepanjang sejarah umat beragama. Bermula dari keberaniannya mendebat Azar, ayahnya sendiri mengenai konsep ketuhanan. Ia berargumen dengan tegas, bahwa bapak dan pengikutnya termasuk orang-orang yang sesat pikir (QS, 6: 74).
Berpikir kritis merupakan kebutuhan primer dalam beragama, karena termasuk bagian dari upaya menjaga akal (hifdzul aql), Ad-dharuriyat al-Khamsah dalam konsep Maqasyid al-Syariah, seperti pendapat Imam al-Haramain al-Juwaini, Imam al-Ghazali, al-Syatibi, dan lain-lain (Paryadi, 2021: 207-209).
Berpikir kritis merupakan perenungan mendalam dengan menggabungkan kekuatan pikir (rasional) dan zikir (suprarasional). Inilah yang disebut manusia Ulul Albab (QS. 3: 190-191). Jadi, berpikir kritis adalah pintu menuju kematangan seseorang dalam beragama.
Ibnu Katsir berpendapat, Ulul Albab adalah orang-orang yang memiliki akal dan kecerdasan paripurna, mereka mampu mengetahui hakikat sesuatu dengan gamplang. Lisan, dan hati mereka selalu berzikir, mengingat Allah dalam setiap keadaan.
Sebagai Ulul Albab, pikiran kritis nabi Ibrahim terus berlanjut, ketika ia merenung di kegelapan malam, sembari memandang gemerlap bintang, ia mengira bintang adalah tuhan. Setelah bintang hilang, ia berkata: “Aku tak suka sesuatu yang terbenam”.
Kemudian, ia melihat bulan, pun mengira itu adalah tuhan, tetapi bulan pun terbenam, maka ia berpikir tidak mungkin tuhan lenyap. Begitu pun, saat ia terkagum-kagum melihat matahari terbit di pagi hari dengan sinarnya nan besar dan anggun, ia pun mengira matahari adalah tuhan, tetapi matahari juga terbenam di sore hari. Maka, pastilah matahari bukanlah tuhan yang ia cari-cari.
Akhirnya, ia menemukan kebenaran hakiki mengenai agama yang lurus dan penuh kepasrahan (hanifan musliman) kepada Allah (QS, 6: 75-79).
Nabi Ibrahim memiliki curiosity yang tinggi untuk memantapkan keimanan. Sebab, agama bukan sebatas dogma yang ditelan mentah-mentah, apalagi tradisi yang banyak menyimpang dari akal sehat manusia. Ia terus mencari-cari kebenaran hakiki perihal keyakinannya.
Suatu ketika, nabi Ibrahim berdialog serta memohon kepada Allah Ta’ala, untuk menyaksikan langsung proses penghidupan kembali makhluk yang sudah mati. Maka, Allah mengabulkan dan memerintahkan nabi Ibrahim untuk menyembelih empat (4) burung, memisah-misahkan bagian tubuhnya, dan meletakkan di bukit yang berbeda.
Lalu, nabi Ibrahim memanggil keempat burung yang sudah dicincangnya tersebut, dengan izin Allah yang Maha Menghidupkan (al-Muhyi) dan Mematikan (al-Mumit), burung-burung yang sudah mati, kembali terbang menghampiri nabi Ibrahim. Semakin mantaplah keyakinan nabi Ibrahim kepada Allah dan hari Kebangkitan (QS, 2: 60).
Ibnu Abbas ra menjelaskan, empat burung yang disembelih oleh nabi Ibrahim, di antaranya burung thawuus (merak), nasr (elang), ghuraab (gagak), dan diik (ayam jago) (Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir/Jilid 2: 42).
Pada masa nabi Ibrahim, juga hidup seorang raja Babilonia, bernama Namrudz, selain sebagai raja bengis, ia juga mengaku-ngaku sebagai tuhan; memaksa rakyat untuk menyembahnya. Nabi Ibrahim mendebat Namrudz tentang Allah yang Maha Menghidupkan dan Mematikan, serta mampu menerbitkan matahari dari timur, maka apakah Namrudz mampu menerbitkan matahari dari barat? Seketika raja sombong itu terdiam (QS, 2: 258).
Nabi Ibrahim mengajak rakyat Babilonia untuk berpikir kritis, menggunakan akal sehat dalam beragama, bagaimana mungkin manusia sempurna menyembah berhala yang tak dapat memberikan manfaat dan mendatangkan mudarat? Bahkan, berhala-berhala itu adalah hasil pahatan atau karya mereka sendiri.
Ketika Namrudz dan rakyatnya pergi berhari raya, nabi Ibrahim mencuri kesempatan, menghancurkan semua berhala, kecuali satu berhala yang paling besar, ia mengalungkan kapak di leher berhala tersebut, agar raja dan rakyat Babilonia yang sesat itu mau berpikir, bahwa berhala tidak akan pernah mampu melakukan sesuatu apa pun, bahkan untuk dirinya sendiri (QS. 21: 51-58).
Penguasa zalim, seperti Namrudz yang sewenang-wenang, menjadi target dakwah para nabi, rasul, dan pewarisnya. Nabi Ibrahim meneladankan dakwah dengan metode dialog, dan kritik yang argumentatif. Meskipun, ia harus menerima hukuman sadis, yaitu dibakar hidup-hidup. Namun, Allah menyelamatkan nabi Ibrahim dari kezaliman Namrudz (QS. 21: 68-69).
Nabi Ibrahim mengajarkan manusia, dengan berpikir kritis dalam beragama akan menaikkan level keyakinan hamba kepada Tuhannya. Pertama, Ilmul Yaqin, keyakinan yang diperoleh melalui pengetahuan secara teoritis. Kedua, Ainul Yaqin adalah keyakinan yang didapat melalui pengamatan secara kasat mata. Ketiga, Haqqul Yaqin adalah keyakinan yang sempurna melalui pengamatan sekaligus pengalaman sendiri.
Ilmu Yakin merupakan keyakinan yang sesuai dengan kenyataan secara kasat mata, atau adanya dalil qath’i yang ditunjukkan oleh akal sehat atau periwayatan dari Nabi Saw (Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir/Jilid 15: 779).
Cara nabi Ibrahim beragama dengan pikiran kritis, mendidik manusia, bahwa untuk mengenal Allah lebih dekat, tidak mesti melihat wujud-Nya secara langsung, karena itu tidak mungkin dilakukan. Sebagai manusia biasa, cukup melakukan perenungan mendalam, pengamatan, bahkan eksperimen terhadap ciptaan-Nya. Inilah yang disebut Ayatul Kauniyah, menikmati bukti-bukti kekuasaan Allah melalui fenomena alam, sehingga dapat meningkatkan keimanan kepada Allah Ta’ala.
Banyak ayat Al-Quran mengungkap fenomena-fenomena alam, dan isyarat sains, sebagai motivasi untuk berpikir kritis. Bagaimana Allah menciptakan unta, meninggikan langit, menegakkan gunung, dan menghamparkan bumi? (QS. 88: 17-20), dan semua apa yang ada di bumi menjadi tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang yakin. Termasuk, proses penciptaan manusia mestinya menjadi kajian kritis untuk menambah keimanan (QS, 51 : 20-21).
Akhirnya, nabi Ibrahim dengan pikiran kritisnya berhasil menghias keimanan kepada Allah, menjadi teladan, dan pemimpin bagi seluruh manusia/linnasi imaman (QS. 2: 124), bahkan keturunannya pun banyak menjadi nabi dan rasul, baik melalui nasab nabi Ishaq (anak Sarah) atau pun nabi Ismail (anak Hajar) Alaihimussalam.
***
*) Oleh : Dr. Edi Sugianto, M.Pd., Dosen Institut Agama Islam Al-Ghuraba dan UMJ Jakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |