TIMES JAKARTA, SURABAYA – Gedung sekolah zaman kolonial di Jalan A Yani Kota Mojokerto masih kokoh berdiri. Dulu bernama Europesche Lagere School (ELS). ESL adalah tempat Bung Karno (Soekarno) menimba ilmu pada tahun 1912-1917. Sekolah tersebut saat ini dikenal sebagai SMPN 2 Kota Mojokerto.
Tiap jendela menjulang. Menandakan arsitektur bangunan model Eropa yang kental. Kesan adem selalu terasa karena langit-langit tinggi cukup memiliki jarak dengan lantai.
Letak SMPN 2 Mojokerto cukup strategis berada di jantung kota. Tak jarang beberapa kunjungan dari pihak luar menikmati pesona bangunan cagar budaya ini untuk sekedar berfoto atau napak tilas.
Kepala SMPN 2 Mojokerto, Mulib menunjukkan buku karya Cindy Adams berjudul Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat, Jumat (27/8/2021).(Foto : Lely Yuana/TIMES Indonesia)
"Banyak masyarakat sekitar yang kemudian memanfaatkan ini untuk foto pre wedding atau referensi anak-anak mahasiswa menulis," terang Kepala Sekolah SMPN 2 Mojokerto, Mulib, Jumat (27/8/2021).
Mulib kemudian mengajak masuk ke dalam sebuah ruang kelas. Interiornya istimewa. Seolah membawa kenangan belajar tempo dulu. Bangku-bangku kayu tebal, lampu gantung dengan pencahayaan teduh dan sederet benda-benda bersejarah.
Kelas itu nampak kosong namun terawat. Siapapun yang masuk akan betah berlama-lama duduk atau mengabadikan foto.
Mulib mengatakan itu adalah ruangan khusus. Sebuah auditorium. Ada lukisan Presiden Soekarno, buku-buku baru maupun usang, dan nuansa tempo dulu. Bahkan pihak sekolah memberi nama khusus untuk sepanjang selasar ruang : Gedung Ir Soekarno.
"Lima tahun Pak Karno belajar di sini, katanya begitu," terang Mulib kepada TIMES Indonesia.
Ada dokumen sejarah. Namun pihak sekolah tidak memilikinya.
"Dokumen di bidang kebudayaan tampaknya ada," tambah Mulib.
Akan tetapi berdasarkan catatan Cindy Adams dalam sebuah buku berjudul Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia, jejak proklamator ini memang membekas di 'Majapahit'.
Mulib memboyong buku milik bapaknya itu sebagai referensi pustaka. Berderet di antara buku-buku tentang Bung Karno lainnya. Buku tua, kertas tua dan tulisan ejaan lama.
Tapak Tilas Sang Putra Fajar
Sementara itu, memang ada cerita menarik tentang Kusno, nama kecil Soekarno, saat bersekolah di ELS. Satu-satunya sekolah dasar untuk bangsawan Belanda di Mojokerto.
Endang Pujiastutik, penulis buku "Tapak Tilas Sang Putra Fajar di Mojokerto dan Menguak Perjalanan Hidup" menceritakan jika di sekolah itu dulu ternyata Kusno kecil pernah tidak naik kelas tepatnya tahun 1911.
"Di sana ada 7 kelas, ketika Soekarno pindah ke ELS itu Soekarno mau naik kelas 5," kata Endang kepada wartawan TIMES Indonesia pada Mei 2021 lalu.
Selasar gedung SMPN 2 Mojokerto nampak kokoh kental arsitektur Eropa, Jumat (27/8/2021).(Foto : Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Tinggal kelas ini bukan tanpa alasan. Soekarno memang sosok yang cerdas, pintar. Namun standar masuk ELS saat itu cakap berbahasa Belanda, Soekarno tidak bisa memenuhi itu.
"Tetapi pada saat Soekarno dimasukkan dan di tes, sebenarnya Soekarno anaknya cerdas. Pinter ya, namun bahasa Belanda-nya kurang sehingga Soekarno harus tinggal kelas (kelas 4)," terangnya.
Endang menjelaskan, Soekarno masuk kelas ongko loro (kelas dua) di Inlandsche School (Purwotengah) di tahun 1909. Di tahun 1911, masuk ELS kelas 4.
"Jadi pendidikan Soekarno 1909-1911 di Inlandsche School di tahun 1911-1915 itu di ELS (SMPN 2 Kota Mojokerto). Pada tahun 1916 itu sudah di HBS Surabaya," terang Endang.
Dalam literatur lain, Soekarno sempat protes ke ayahnya.
"Terlalu tua untuk kelas lima. Tentu orang mengira saya tinggal kelas karena bodoh. Saya tentu diberi malu,” protes Sukarno kepada ayahnya.
Akhirnya agar tidak dianggap tinggal kelas, usia Soekarno dikurangi 1 tahun. 06 Juni 1901 bukan 06 Juni 1902. Ayahnya kemudian menyewa guru Bahasa Belanda untuk Soekarno agar cepat belajar.
Sisi Kelam Kehidupan
Sementara itu, Cindy Adams dalam bukunya mengungkapkan bahwa Mojokerto tidak dapat dipisahkan dalam sejarah seorang Soekarno.
Bapak revolusioner, bapak proklamator, seorang presiden pertama Republik Indonesia. Mojokerto sendiri menyimpan sisi kelam kehidupan Soekarno.
Dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Karya Cindy Adams Soekarno kecil tumbuh hidup satu keluarga berjumlah 4 orang.
"Dengan kakaku perempuan Sukarmini, yang umurnya dua tahu lebih tua dariku, kami merupakan satu keluarga yang terdiri empat orang. Gaji bapak 25 rupiah sebulan. Dikurangi sewa rumah kami di Jalan Pahlawan 88, neraca menjadi 15 rupiah dan dengan kurs satu dollar waktu itu sekitar 45 rupiah," terang Soekarno kepada Cindy Adams.
Jalan Pahlawan nomor 88 itu dulunya bernama Jalan Oostenweg atau Jalan Timur nomor 88. Nama jalan itu kemudian diubah menjadi Jalan Pahlawan. Selanjutnya namanya kembali berganti menjadi Jalan Gajahmada sampai hari ini.
Rumah sewaan keluarga Soekarno itu kini digunakan untuk dealer Gemini di Jalan Gajahmada nomor 82.
Pada saat Kusno berumur 11 tahun, sempat menderita sakit tipes. Digambarkan oleh Soekarno penyakitnya membuatnya mendekati kematian.
"Saat aku berumur 11 tahun aku terkena penyakit tifus. Selama dua bulan aku terbaring tidak berdaya di ambang pintu kematian. Aku hanya tergantung pada keyakinan suci bapak untuk mempertahankan hidupku. Selama dua setengah bulan penuh bapak tidur di kamarku untuk menjagaku. Dia berbaring di atas lantai semen yang lembab, beralaskan tikar tipis dan usang, tepat di bawah tempat tidurku yang terbuat dari bambu," terang Soekarno kepada Cindy Adams.
Setelah sembuh dari penyakitnya, keluarga Soekarno pindah ke Jalan Raden Pamuji.
"Setelah aku sembuh, kami pindah ke Jalan Residen Pamuji. Rumah ini tidak lebih baik keadaannya, tetapi setidak-tidaknya lingkungannya kering. Kamar-kamarnya terletak di ujung gang yang panjang dan gelap. Yang paling kecil kamarku, dengan jendela loteng sebagai ganti lubang udara," terang Soekarno dalam karya Cindy Adams.
Untuk menambah pundi-pundi keuangan, keluarga soekarno menerima indekos.
"Tiga orang guru bantu dari sekolah bapak dan dua orang kemenakan seumurku," jelas Soekarno.
Ketika usia Bung Karno 11 tahun, bapaknya menjadi mantri guru di Inlandsche School yang saat ini disahkan menjadi cagar budaya Kota Mojokerto yaitu SDN Purwotengah.
Kepala Sekolah SDN Purwotengah, Endang Pujiastutik menceritakan bahwasanya jalan Residen Pamuji tepat berada di belakang SDN Purwotengah.
"Kamar Bung Karno di belakang sini, ya daerah belakang sekolah ini. Ini ada petanya yang saya dapat dari Kushartono," terang Endang kepada TIMES Indonesia.
Sama halnya jejak pendidikan Bung Karno yang masih nampak terawat di SMPN 2 Kota Mojokerto.(*)
Pewarta | : Lely Yuana |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |