TIMES JAKARTA, JAKARTA – Setiap kali saya melihat jalan baru dibangun di daerah, saya bertanya dalam hati: siapa yang benar-benar akan melintasinya dengan aman?
Infrastruktur bukan sekadar urusan fisik. Ia mencerminkan siapa yang diperhitungkan dan siapa yang dilupakan dalam pembangunan. Jika kita ingin kemajuan yang adil, pembangunan tidak bisa bersikap netral terhadap ketimpangan.
Ia harus berpihak, terutama kepada kelompok yang paling sering dipinggirkan: perempuan, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas.
Pada 19 Februari 2025, BPSDM Kementerian PUPR mengadakan sosialisasi pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan infrastruktur. Langkah ini menandai satu hal penting: infrastruktur tidak bebas nilai.
Jalan yang tidak ramah bagi ibu dengan stroller, trotoar yang terlalu tinggi, hingga toilet umum yang mengabaikan kebutuhan lansia, semuanya adalah bentuk ketidaksetaraan yang dilembagakan.
Sayangnya, banyak kebijakan pembangunan masih bertumpu pada logika efisiensi ekonomi semata. Padahal, kebutuhan warga tidak seragam. Inilah pentingnya perspektif gender hadir sejak awal dalam perencanaan teknokratik yang selama ini dianggap steril dari politik identitas.
PUG bukan sekadar memasukkan perempuan ke dalam daftar penerima manfaat. Ia menuntut perubahan cara pandang: dari melihat perempuan sebagai kelompok rentan menjadi aktor strategis pembangunan.
Desain ruang memengaruhi pengalaman hidup-apakah seseorang merasa aman menunggu bus malam hari, atau mampu mengakses layanan publik tanpa bergantung pada orang lain.
Ambil contoh seorang ibu di Kabupaten Alor, NTT, yang harus menggendong anak sakit melintasi bukit karena belum ada akses jalan ke puskesmas. Atau seorang penyandang disabilitas di Pulau Seram, Maluku, yang hanya bisa masuk balai desa jika dibantu karena bangunan tidak memiliki jalur landai. Ini bukan kasus langka. Ini kenyataan.
Sebagai Sekretaris Bidang Infrastruktur, Pembangunan, dan Pedesaan KOPRI PB PMII, saya melihat langsung bagaimana pembangunan di akar rumput kerap abai terhadap keberagaman kebutuhan.
Banyak perempuan muda di desa masih harus berjalan jauh demi air bersih atau layanan kesehatan, karena infrastruktur belum menyentuh realitas hidup mereka.
Di banyak forum, perspektif gender masih dianggap pelengkap, bukan prinsip utama. Integrasi PUG membutuhkan lebih dari sekadar pelatihan formalitas. Ia butuh reformasi tata kelola, partisipasi bermakna dari komunitas, dan keberanian politik untuk melibatkan kelompok terdampak langsung.
Pemda, kementerian teknis, dan konsultan proyek harus duduk bersama organisasi masyarakat sipil, termasuk perempuan, penyandang disabilitas, dan lansia dalam proses perencanaan.
Di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar), tantangan infrastruktur sangat nyata. Keterbatasan akses transportasi, listrik, dan teknologi menjadi hambatan utama.
Pemerintah memang meluncurkan program SATRIA untuk memperluas akses internet bagi 45 juta warga. Tapi koneksi digital tak cukup bila perempuan masih harus mendaki bukit demi ke posyandu.
Kita membutuhkan konektivitas yang menyentuh kebutuhan manusia, bukan sekadar kecepatan sinyal.
PUG dalam pembangunan harus menjadi wacana publik, bukan hanya diskusi teknis. Karena ini menyangkut siapa yang memiliki ruang untuk hidup secara bermartabat.
Pembangunan tak boleh hanya mengesankan secara angka, tapi juga harus membebaskan secara nyata. Jika jalan dibangun tapi tak bisa dilintasi semua orang, maka kita sedang membangun dinding, bukan jembatan. (*)
***
*) Oleh : Raden Siska Marini, Sekretaris Bidang Infrastruktur, Pembangunan, dan Pedesaan Kopri PB PMII.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |