TIMES JAKARTA, BANTEN – Ada hal yang jarang terjadi di forum sekelas Indonesia Lawyers Club (ILC), seorang nelayan dari Serang Utara, Kholid namanya, tampil di panggung itu dengan penuh keberanian.
Bukan hanya membawa suara hati, tetapi juga segudang data. Ia bukan pengamat, bukan akademisi, dan tentu bukan pejabat, melainkan seorang pencari ikan yang hidup dari laut.
Namun malam itu, Kholid menjadi penggugat. Lawannya? Tembok baja oligarki sepanjang 30 kilometer yang disebut pagar laut di perairan Tangerang.
Kholid mengawali penampilannya dengan sederhana. Namun, seperti ombak kecil yang bisa berubah jadi gelombang besar, suaranya perlahan mengguncang studio. Dalam forum yang dipandu Karni Ilyas itu, Kholid bukan hanya bicara, ia menuding.
"Kalau masyarakat kecil salah, bahkan mencuri kayu untuk bikin rumah saja, langsung dihukum. Tapi ini, pagar sepanjang 30 kilometer, kok dibiarkan? Negara diam. Nunggu apa? Kalau negara takut, saya tidak. Saya lawan!" suara Kholid bergetar, menahan marah sekaligus berusaha tegas.
Publik terpana. Biasanya, suara-suara seperti ini tenggelam di tengah arus diskusi yang penuh basa-basi. Tapi Kholid, dengan data di tangannya, berhasil membalikkan panggung.
Ia berbicara tentang dampak pagar laut itu pada mata pencaharian para nelayan. Ruang gerak mereka terbatas. Laut yang selama ini jadi dapur mereka, kini seperti kandang yang dikunci dari luar.
Yang membuat forum semakin panas adalah ketika Kholid dengan berani menyebut nama-nama besar yang ia duga terlibat dalam kasus itu. Ia menyebut nama seorang pengusaha ternama, Aguan, bersama dua bawahannya, Ali Hanafiah dan Engcun.
Sejenak, forum hening. Tiga nama itu seperti pisau tajam yang dilempar ke tengah ruang. Publikasi langsung gaduh, tetapi moderator segera mengalihkan diskusi ke pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kendati demikian, publik tahu, kata-kata Kholid sudah menancap di kepala siapa saja yang menyaksikan malam itu.
Ketidakadilan yang Terasa Nyata
Kholid tidak berhenti di situ. Ia bicara lebih dalam soal hukum yang seringkali berat sebelah. Untuk masyarakat kecil, aturan seperti tombak; salah sedikit, langsung kena. Namun bagi pemilik kekuasaan, hukum justru sering jadi perisai.
"Pemanfaatan ruang laut itu ada aturannya. Tanpa izin, jelas melanggar hukum. Tapi, kenapa hukum seperti lupa arah kompas kalau berhadapan dengan orang besar?" tegasnya.
Kholid tidak hanya bicara soal hukum. Ia bicara tentang hidup. Tentang perut nelayan yang kosong karena akses ke laut dihalangi. Ia bicara soal keadilan yang, entah kenapa, selalu berjalan lebih lambat saat berhadapan dengan mereka yang punya uang.
Publik Berdiri di Samping Kholid
Keberanian Kholid menuai simpati. Media sosial ramai dengan dukungan. Kholid disebut-sebut sebagai suara yang selama ini hilang dari layar televisi: suara rakyat kecil. Namun, dukungan itu juga datang dengan catatan. Beberapa pihak mengingatkan, penyebutan nama tanpa bukti kuat bisa jadi bumerang bagi Kholid.
Tapi bagi Kholid, risiko itu tidak menggentarkan. Baginya, perjuangan ini bukan untuk dirinya sendiri. "Laut ini bukan milik mereka yang punya tembok tinggi. Laut ini milik kita semua, milik anak-anak kami," katanya.
Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?
Kasus pagar laut ini telah menjadi perhatian nasional. Berbagai pihak, dari LSM hingga masyarakat umum, mendesak pemerintah untuk menyelidiki dugaan pelanggaran ini. Namun, di sisi lain, belum ada tindakan nyata yang dilakukan. Pemerintah, seperti kata Kholid, seolah nunggu apa.
Kholid sendiri tetap melaut, seperti biasa. Namun kini, ia bukan sekadar nelayan. Ia adalah simbol perlawanan. Seorang pria sederhana yang, dengan kail kecilnya, mencoba menangkap ikan besar dalam kolam kekuasaan.
Catatan ini bukan hanya soal laut yang terpasung, tetapi juga tentang keberanian seorang nelayan melawan arus. Kholid telah membuktikan, suara kecil pun bisa membelah keheningan tembok besar. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Mengenal Sosok Kholid, Nelayan Pemberani yang Bongkar Dugaan Pelanggaran Hukum Pagar Laut
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Yatimul Ainun |