TIMES JAKARTA, JAKARTA – Pemerintah menghadapi tantangan berat dalam menjaga kesinambungan fiskal tahun 2025. Proyeksi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai Rp662,0 triliun atau 2,78 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Anggota Komisi XII DPR RI, Cornelis, mengingatkan agar tekanan ini tidak berujung pada dikorbankannya program-program yang menyentuh langsung kebutuhan rakyat kecil.
Dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) Kesimpulan Pembahasan Realisasi Semester I dan Prognosis Semester II APBN 2025 di Gedung DPR RI, Kamis (3/7/2025), Cornelis menegaskan pentingnya keberpihakan anggaran terhadap masyarakat di daerah tertinggal.
Ia menyoroti bahwa proyeksi defisit yang melebar ini terutama disebabkan oleh tidak tercapainya target penerimaan negara, baik dari pajak maupun dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
“Kalau pendapatan negara tidak tercapai, jangan justru rakyat di pelosok yang jadi korban. Jangan hanya karena anggaran seret, program-program prioritas untuk masyarakat dikurangi, sementara janji-janji besar tetap didengungkan,” ujar Cornelis, yang juga mantan Gubernur Kalimantan Barat dua periode.
Tekanan terhadap APBN ini datang pada saat pemerintahan Presiden terpilih, Prabowo Subianto, berkomitmen menjalankan delapan program prioritas rakyat. Program-program tersebut antara lain:
1. Pemberian makan siang dan susu gratis di sekolah dan pesantren.
2. Pemeriksaan kesehatan gratis dan pembangunan rumah sakit lengkap di setiap kabupaten.
3. Peningkatan produktivitas pertanian lewat lumbung pangan.
4. Pembangunan sekolah unggul terintegrasi.
5. Perluasan bantuan sosial dan kartu usaha.
6. Peningkatan gaji ASN, TNI, Polri, serta tenaga kesehatan dan pendidik.
7. Pembangunan infrastruktur desa, BLT, dan rumah murah.
8. Dan pembentukan Badan Penerimaan Negara dan peningkatan rasio penerimaan negara terhadap PDB hingga 23 persen.
Cornelis menilai bahwa kesuksesan program-program tersebut sangat bergantung pada ketepatan dan keberanian kebijakan fiskal pemerintah.
“Kita bicara lumbung pangan dan makan siang gratis, tapi kalau pendanaan tidak jelas dan belanja dialihkan ke pos yang tidak produktif, ini akan jadi program gagal sejak awal,” katanya.
Dalam laporan Panja yang dipublikasikan di laman resmi DPR, tercatat bahwa prognosis pembiayaan anggaran pada semester II tahun 2025 diperkirakan mencapai Rp378,4 triliun atau 61,4 persen dari total target pembiayaan.
Pemerintah berencana menggunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp85,6 triliun untuk mengurangi tekanan terhadap penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan menjaga stabilitas fiskal.
Namun, Cornelis menyebut kebijakan ini bersifat jangka pendek dan belum menyentuh akar persoalan. “SAL itu hanya menyelamatkan sesaat. Kita perlu reformasi struktural penerimaan negara. Kalau tidak, kita hanya menunda ketimpangan yang lebih besar,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa ketidaksesuaian antara realisasi dan perencanaan fiskal bisa membuat delapan program prioritas tersebut berjalan pincang.
Menurutnya, setiap rupiah yang tidak terkumpul secara optimal adalah kehilangan peluang untuk mengatasi kemiskinan, memperbaiki sekolah, dan menyediakan layanan dasar seperti listrik dan air bersih.
“Program kartu usaha dan bantuan sosial tidak akan efektif jika tidak ada komitmen menyeluruh terhadap reformasi fiskal. Apalagi di Kalbar, masih banyak desa yang belum teraliri listrik dan anak-anak belum punya akses pendidikan layak,” tambahnya.
Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam laporannya menyampaikan bahwa pemerintah akan melakukan penyesuaian belanja dengan memprioritaskan program yang memiliki dampak jangka panjang, termasuk dana abadi pendidikan dan ketahanan energi.
Sementara itu, Cornelis meminta pemerintah bersikap terbuka dan tidak menyembunyikan relokasi anggaran dari publik.
“Rakyat punya hak tahu. Jangan sampai kita di DPR hanya dapat laporan angka, sementara kenyataan di lapangan jauh dari yang dilaporkan,” ujarnya.
Cornelis juga mendorong agar Komisi VII DPR meningkatkan pengawasan atas pelaksanaan program di kementerian mitra kerja, khususnya energi, industri, dan riset.
Menurutnya, pendekatan pembangunan yang berorientasi pada daerah pinggiran harus tetap menjadi prioritas di tengah tekanan anggaran.
“Kalau pemerintah pusat tidak serius, siapa lagi yang akan perjuangkan daerah-daerah yang tertinggal? Jangan sampai karena APBN tertekan, yang dikorbankan justru mereka yang selama ini sudah terpinggirkan,” tegas Cornelis.
Di tengah ketidakpastian fiskal, masyarakat di daerah masih menggantungkan harapan pada janji-janji pembangunan yang pernah disampaikan, agar tidak sekadar menjadi retorika politik menjelang pemilu.
Hingga berita ini diturunkan, Kementerian Keuangan belum memberikan pernyataan resmi terkait strategi teknis yang akan diambil untuk memastikan agar pelebaran defisit tidak menghambat pelaksanaan program-program prioritas pemerintahan baru.
"Situasi fiskal yang belum stabil antara pemasukan dan belanja, Bank Indonesia memegang peran penting untuk menjaga kestabilan inflasi. Koordinasi yang erat diperlukan agar harga-harga kebutuhan pokok tidak melonjak dan membebani masyarakat kecil di tengah tekanan anggaran yang semakin ketat," pungkasnya. (*)
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |