TIMES JAKARTA, JAKARTA – Jurnalis Desk Timur Tengah, Mustafa Abdul Rahman menjelaskan serangan balik rudal balistik hipersonik milik Iran setelah digempur armada pesawat Israel pada 13 Juni 2025 lalu, telah meruntuhkan dua teori pertahanan udara di akademi militer mana pun.
Mustafa menerangkan, umumnya jika militer di sebuah negara ingin memenangkan perang, maka perlu menguasai pertahanan udara atau langit musuh dengan pesawat tempur tercanggih. Usai Israel menyerang, lanjutnya, ternyata Iran bisa membalikkan keadaan dengan rudalnya.
"Ternyata Iran berhasil menguasai langit Israel sekarang bukan dengan armada pesawat canggih tapi dengan rudal balistik hipersonik. Ini teori baru yang mungkin belum ada di akademi-akademi militer," katanya.
"Sehingga perang yang sudah berlangsung seminggu ini susah (diprediksi) siapa yang menang siapa yang kalah tapi kalau saya menyebutnya draw, ibarat permainan sepak bola ini 0-0, 1-1, atau 2-2, sampai saat ini. Karena kedua negara sampai saat ini masih menguasai langit, Iran menguasai langit Israel, Israel menguasai langit Iran," tambahnya.
Mustafa menambahkan, Iran adalah negara pertama yang menggunakan rudal balistik tersebut sejak perang dunia kedua, walaupun negara seperti China, Korea Utara, dan Rusia sudah memilikinya.
"Dan tidak pernah terjadi dalam sejarah berdirinya negara Israel, langit Israel belum pernah dikuasai musuh, belum pernah, baru sekarang," katanya.
Teori kedua, kata Mustafa, yaitu runtuhnya sistem pertahanan rudal Israel yang dikenal sangat canggih dengan pertahanan yang berlapis-lapis. Pada bagian pertama, Israel dijaga oleh pertahanan rudal Arrow 3 yang terletak di luar atmosfer. Bagian kedua dilindungi Arrow 2 tepat di bawah atmosfer. Ketiga, pertahanan rudal David Sling.
"Di bawahnya lagi ada yang namanya Iron Dom, ini jangkauannya jangka pendek. Ini sebetulnya untuk menghadapi rudal-rudalnya Hamas dan Hizbullah. Jadi ada empat sistem pertahanan anti-rudal Israel yang dipersiapkan untuk menangkis rudal-rudalnya Iran," jelasnya.
Tak hanya itu, kata Mustafa, ternyata Amerika juga menempatkan pertahanan anti-rudal THAAD (Terminal High Altitude Area Defense), yang ditempatkan di Israel tapi dioperasikan oleh Amerika. Ia mengatakan bahwa Israel mengklaim hanya 20 persen rudal Iran yang lolos dari penjagaan berlapis.
"Tapi hanya 20 (persen) yang lolos, tapi lihat dampaknya ke kota Tel Aviv sama Haiva. Kalau kita sudah sering lihat stasiun televisi media-media Arab (seperti) Al-Jazeera dan lain, betapa kehancuran di Kota Tel Aviv dan Haiva sekarang, dan Israel mengakui kehancuran Kota Tel Aviv sekarang ini terbesar sejak berdirinya negara Israel sejak 1948," jelasnya.
Sementara itu, Pengamat Timur Tengah Dina Sulaeman melihat indikasi kuat bahwa serangan ke Iran berkaitan dengan kepentingan politik dalam negeri, yaitu saat parlemen Israel ingin menggulingkan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu akibat kasus korupsi.
"Netanyahu sedang terjepit secara politik. Penolakan terhadap dirinya masif, termasuk lewat demonstrasi besar-besaran. Jika terguling, ia berisiko masuk penjara karena kasus korupsi," katanya.
Menurut Dina, perang dilancarkan untuk menyatukan opini publik Israel yang terpecah, dengan menciptakan musuh bersama di luar negeri.
"Itulah sebabnya narasi kita harus bersatu melawan Iran terus digaungkan," terangnya.(*)
Pewarta | : Ahmad Nuril Fahmi |
Editor | : Imadudin Muhammad |