TIMES JAKARTA, JAKARTA – Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip menilai kebijakan redenominasi rupiah yang tengah disiapkan sudah seharusnya segera dijalankan, mengingat kondisi ekonomi dan sistem keuangan saat ini dinilai lebih siap dibandingkan satu dekade lalu.
Meski demikian, menurut dia, kebijakan itu perlu disertai dengan persiapan yang matang dari sisi Pemerintah maupun Bank Indonesia (BI).
"Redenominasi itu perlu dilakukan tetapi harus konsisten. Kalau hari ini sudah mengeluarkan ide redenominasi, ya sudah kita tetapkan, kita rencanakan mulai melakukan persiapan-persiapan redenominasi. Komunikasi dengan parlemen nanti terkait dengan undang-undangnya. Persiapkan juga administrasinya nanti dengan otoritas moneter dan otoritas sektor keuangan seperti OJK," kata Sunarsip dalam diskusi di Jakarta, Kamis (13/11/2025).
Kesiapan infrastruktur, regulasi, dan masa transisi perlu dirancang secara bersama agar tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat.
Menurut Sunarsip, hambatan teknis dalam pelaksanaan redenominasi kini jauh berkurang berkat maraknya transaksi digital di masyarakat. Dengan semakin luasnya penggunaan uang elektronik, biaya pencetakan uang baru juga akan lebih efisien.
"Jadi kekhawatiran-kekhawatiran itu sebenarnya udah jauh berkurang dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu. Karena kan 10 tahun yang lalu nilai uang kan udah makin turun kan. Akhirnya ya harga barang pun sekarang nggak ada lagi yang bener-bener real angkanya," katanya, menerangkan.
Meski demikian, Sunarsip menekankan pentingnya literasi publik untuk mencegah kesalahpahaman masyarakat. Sebab, sebagian masyarakat masih kerap menyamakan redenominasi dengan sanering, padahal keduanya berbeda.
Dalam sanering, ujar dia, nilai uang benar-benar berkurang. Uang Rp1.000 menjadi Rp1 dan daya belinya pun hilang.
Sedangkan dalam redenominasi, menurut dia, hanya terjadi penyederhanaan angka tanpa mengubah nilai riil. Uang Rp1.000.000, misalnya, akan menjadi Rp1.000, tetapi tetap dapat membeli barang dengan nilai yang sama seperti sebelumnya.
Lebih lanjut, Sunarsip menambahkan, kekhawatiran bahwa redenominasi akan memicu lonjakan harga emas atau inflasi berlebihan juga tidak beralasan.
"Enggak perlu sampai seperti itu. Karena tetap saja investasi emas, value-nya akan disesuaikan juga," kata Sunarsip.
Sementara, terkait potensi dampak inflasi, ia mengakui pada tahap awal transisi mungkin akan muncul tekanan sementara akibat faktor psikologis masyarakat. Namun lambat laun akan kembali normal.
Menurut dia, tekanan psikologis biasanya muncul karena sebagian masyarakat memilih berbelanja lebih cepat sebelum kebijakan berlaku.
"Psikologis orang gini, orang akhirnya belanja barang sekarang daripada nanti uang saya nggak laku. Nah itu yang kemudian akan mendorong inflasi," katanya.
Bank Indonesia maupun sistem perbankan nasional sebenarnya sudah memiliki kapasitas teknologi yang cukup untuk menyesuaikan sistem keuangan terhadap redenominasi.
Maka dari itu, Sunarsip menyarankan agar pemerintah dan otoritas moneter menyiapkan regulasi dan payung hukum secara paralel sambil membangun kesiapan teknologi di sektor perbankan.
Adapun melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025, Pemerintah tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah atau redenominasi dengan target penyelesaian pada 2027.
RUU tersebut menjadi salah satu dari empat prioritas Kementerian Keuangan dalam Rencana Strategis 2025-2029.(*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Ekonom Ingatkan Redenominasi Rupiah Harus Disiapkan Secara Matang
| Pewarta | : Antara |
| Editor | : Hendarmono Al Sidarto |