TIMES JAKARTA, JAKARTA – Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, menegaskan bahwa tidak ada kerugian negara dalam kasus dugaan perintangan penyidikan kasus korupsi tersangka Harun Masiku dan pemberian suap yang menyeret dirinya sebagai terdakwa. Hal itu disampaikannya dalam nota keberatan atau eksepsi yang dibacakan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (21/3/2025).
"Ditinjau dari asas kepentingan umum dan proporsionalitas, kasus ini tidak ada kerugian negara," ujar Hasto dalam persidangan.
Menurut Hasto, Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatur bahwa tindak pidana korupsi yang ditangani KPK harus melibatkan kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar.
Oleh karena itu, Hasto menilai terdapat proses daur ulang terhadap persoalan yang sudah disidangkan dan memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah dalam kasus yang menimpa dirinya.
Persoalan dimaksud, yakni kasus suap penyelenggara negara, Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan, yang dilakukan bersama-sama dengan mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri dan mantan narapidana kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) Harun Masiku, Agustiani Tio Fridelina, yang telah inkracht atau berkekuatan hukum tetap.
Menurut dia, kasus tersebut didaur ulang tanpa adanya peristiwa hukum lain, seperti tertangkapnya Harun Masiku, yang sampai saat ini masih berstatus DPO (daftar pencarian orang).
Berdasarkan UU KPK Nomor 19 Tahun 2019, dalam menjalankan tugasnya, kata Hasto, KPK berasas pada kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap HAM.
Untuk itu, kata dia, asas kepastian hukum telah dilanggar melalui proses daur ulang yang tidak hanya merugikan terdakwa, namun juga para saksi. Pasalnya, hampir seluruh saksi yang telah diperiksa dan dihadirkan dalam persidangan sebelumnya diperiksa kembali.
Hasto menuturkan sebagian besar di antaranya ditunjukkan cetakan atau print out pemeriksaan tahun 2020, lalu diminta menandatangani kembali dengan tanggal pemeriksaan tahun ini.
"Proses daur ulang ini mengandung kerawanan dan cenderung mengabaikan fakta-fakta hukum di persidangan sebelumnya," ucap dia.
Dalam dakwaan, Hasto diduga menghalangi penyidikan kasus suap yang melibatkan Harun Masiku pada rentang waktu 2019-2024.
Ia disebut memerintahkan agar telepon genggam Harun Masiku direndam dalam air setelah operasi tangkap tangan terhadap Wahyu Setiawan. Selain itu, ia diduga turut memberikan suap sebesar 57.350 dolar Singapura atau sekitar Rp600 juta kepada Wahyu untuk memuluskan pergantian antarwaktu (PAW) Calon Legislatif Terpilih Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) atas nama Riezky Aprilia ke Harun Masiku.
Atas perbuatannya, Hasto terancam pidana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 Ayat (1) dan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.(*)
Pewarta | : Antara |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |