TIMES JAKARTA, MALANG – Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali dihadapkan pada situasi di mana kita harus menyatakan ketidaksetujuan atau bahkan rasa benci terhadap suatu ide, tindakan, atau perilaku seseorang. Terkadang kita yang sedang melakukan kesalahan, baik disengaja atau tidak, ada perasaan tinggi hati yang membuat kita tidak mengakui bahwa telah melakukan kesalahan. Dalam perspektif Islam, yang mana ini termasuk dalam kategori sombong, sebagaimana sabda nabi dalam hadits yang di riwayatkan Imam Muslim yang artinya "Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia".
Terkadang, kita sering dihadapkan pada situasi di mana kita merasa kecewa atau marah terhadap perilaku seseorang. Lantas, apakah boleh kita membencinya? Lalu, bagaimana kita dapat mengekspresikan perasaan ini tanpa melukai orang lain? Islam mengajarkan kita untuk memisahkan antara perasaan negatif terhadap perbuatan dengan perasaan terhadap orangnya. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa setiap manusia memiliki potensi untuk berubah dan memperbaiki diri.
Penting untuk memahami bahwa yang kita benci bukanlah keburukan itu sendiri, melainkan tindakan atau perilaku yang merugikan atau tidak adil. Imam Ghazali, seorang ulama besar menekankan pentingnya membedakan antara membenci perbuatan dengan membenci orangnya. Beliau menjelaskan bahwa membenci karena Allah berarti membenci perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran-Nya, bukan membenci orang yang melakukan perbuatan tersebut.
Sejatinya baik buruknya seseorang bisa saja keliru dimata manusia dan hanyalah Allah SWT yang mengetahui segalanya. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 216: "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui."
Ketika kita membenci suatu tindakan, setidaknya kita harus tetap menghormati hak asasi manusia dari orang yang melakukan tindakan tersebut. Hal ini berarti kita tidak menyerang pribadi, tidak menyebarkan kebenciannya dan juga tidak melakukan diskriminasi.
Sebagai makhluk sosial, kita diajak untuk selalu introspeksi dan memeriksa niat di balik setiap perasaan benci. Apakah benci tersebut muncul karena dorongan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, atau hanya karena keinginan pribadi yang muncul dari hawa nafsu.
Di era digital ini, kita harus ekstra hati-hati dalam menyampaikan rasa benci kepada orang lain. Media sosial, misalnya, seringkali menjadi wadah yang mudah untuk menyebarkan kebencian karena anonimitas dan jarak yang diciptakan oleh layar. Namun, kita harus ingat bahwa kata-kata kita memiliki kekuatan dan apa yang kita tulis dapat memiliki dampak yang besar terhadap orang lain.
Membenci tanpa melukai bukanlah tugas yang mudah, setidaknya kita harus berusaha untuk selalu berkomunikasi dengan cara yang menghargai martabat setiap individu. Dengan menggunakan bahasa yang sopan dan tidak provokatif, serta menghindari generalisasi yang dapat menimbulkan prasangka. Juga, kita harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam echo chamber di mana kita hanya mendengar pendapat yang sejalan dengan pandangan kita sendiri.
Selanjutnya, untuk menavigasi ruang publik. Kita harus berusaha untuk menjadi pendengar yang baik, bukan berarti hanya mendengarkan untuk membalas, tetapi mendengarkan untuk memahami. Kita harus selalu ingat bahwa kita semua adalah manusia yang memiliki kekurangan dan kelebihan, semua sedang belajar dan berusaha untuk menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri.
Oleh karena itu, mari kita navigasi ruang publik dengan hati-hati, dengan menghargai perbedaan dan berusaha untuk memahami satu sama lain. Dengan demikian, kita dapat membenci tanpa melukai, dan bersama-sama membangun masyarakat yang lebih adil dan damai. (*)
***
*) Oleh : Muhammad Dzunnurain, Mahasiswa Universitas Islam Malang
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Navigasi Ruang Publik
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |