TIMES JAKARTA, MALANG – Perempuan di beberapa daerah di Indonesia masih harus menghadapi berbagai rangkaian diskriminasi, stereotip dan stigma yang berbau kekangan. Setiap kali berbicara tentang perempuan seringkali dikaitkan dengan pandangan bahwa perempuan ujung-ujungnya tempatnya di dapur.
Adanya stigma semacam itu kemudian memunculkan ideologi dalam masyarakat bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi karena nantinya akan hanya mengurus rumah tangga dan mengasuh anak, sehingga banyak orang tua yang akhirnya menikahkan anak perempuannya di bawah umur, dalam artian tidak melanjutkan pendidikannya.
Mungkin, hal ini sudah jarang terjadi di kota-kota besar namun, pada kenyataannya masih sering terjadi di desa-desa. Padahal, jika dilihat dari posisi pendidikan sebagai kebutuhan primer bagi setiap orang, merupakan hak bagi seluruh manusia baik laki-laki ataupun perempuan tanpa terkecuali.
Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2023 tercatat sebesar 4.30% perempuan penyandang buta aksara di Indonesia, berbanding jauh dengan penyandang buta aksara laki-laki yang berada pada angka 2,05%. Artinya masih banyak masyarakat Indonesia yang memandang bahwa pendidikan itu tidak penting bagi perempuan.
Jika perempuan akhirnya mau tidak mau harus terjun ke dapur, tentu bukan bentuk kesia-siaan dari pendidikan, karena tak dapat dipungkiri bahwa dapur adalah ruang yang sangat identik dengan perempuan. Pernah mendengar istilah yang muncul di sebagian masyarakat, “Dapurnya perempuan berpendidikan berbeda dengan dapur perempuan yang tidak berpendidikan.”
Artinya, perempuan yang berpendidikan akan memanfaatkan cara-cara yang lebih efektif, inovatif dan berkualitas dalam mengelola dapur termasuk mempertimbangkan nutrisi dalam penyajian makanan. Terlebih lagi dalam mengelola urusan rumah tangga lainnya termasuk mengasuh anak.
Anak termasuk investasi negara untuk melanjutkan kehidupan bangsa. Sering kali sosok yang dianggap paling dekat dengan anak adalah ibu. Terlebih jika seorang Ibu yang memilih fokus menjadi Ibu rumah tangga, seratus persen anak akan berada dalam pengawasannya.
Seorang anak tidak pernah memilih untuk dilahirkan dari orang tua yang seperti apa, maka seorang Ibu yang punya keputusan dan kesadaran penuh untuk melahirkan berhak menjadi Ibu yang cerdas sehingga dapat memberikan pendidikan terbaik dan menanamkan akhlak mulia terhadap anaknya.
Melihat perkembangan zaman yang sangat pesat digandeng dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, dibutuhkan juga Ibu yang paham teknologi, minimal dapat mengontrol sang anak dari pergaulan dunia media sosial yang begitu bebas dan menarik perhatian.
Profesi perempuan sebagai ibu rumah tangga bukanlah profesi yang patut disepelekan, tanggungjawabnya begitu besar. Dimana ia harus bisa mengelola keperluan rumah tangga, menciptakan suasana yang hangat serta menjadi sekolah pertama bagi anaknya. Maka dari itu, masih sia-siakah perempuan mengejar pendidikan setinggi-tingginya walau pada akhirnya memilih di rumah saja?.
***
*) Oleh : Safira Ramadani Mahfud, Mahasiswa Universitas Islam Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Memahami Peran Perempuan
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |