TIMES JAKARTA, JAKARTA – Mungkin kita pernah melihat remaja yang tiba-tiba marah karena hal sepele, atau mendadak murung tanpa alasan jelas. Ternyata, di balik reaksi yang tampak berlebihan itu, ada penjelasan ilmiah yang menarik.
Survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey 2022 mengungkap realitas mencengangkan: sepertiga (33%) remaja kita mengalami masalah mental, dengan depresi dan kecemasan menduduki peringkat tertinggi.
Hal yang mengkhawatirkan, di balik angka statistik itu tersembunyi akar masalah yang jarang dibicarakan. Ketidakmampuan mengelola emosi atau yang dikenal sebagai Disregulasi emosi.
Bayangkan otak remaja seperti sistem alarm mobil yang error, terus berbunyi keras meski tidak ada pencuri. Itulah gambaran Disregulasi emosi. Psikolog Marsha Linehan, pengembang terapi Dialectical Behavior Therapy (DBT), menjelaskan kondisi ini sebagai ketidakmampuan mengelola emosi akibat kombinasi kerentanan biologis dan lingkungan yang tidak mendukung.
Kerentanan biologis merujuk pada struktur otak remaja yang masih berkembang, khususnya area prefrontal cortex yang berperan dalam kontrol diri. Sementara lingkungan yang tidak mendukung bisa berupa trauma, konflik keluarga, atau tekanan sosial yang berlebihan.
Tekanan hidup remaja hari ini memang berbeda dari generasi sebelumnya. Data 2021 menunjukkan 75% siswa merasa tertekan oleh tuntutan akademik yang tinggi. Perundungan siber meningkat 30% dalam tiga tahun terakhir, sementara BPS mencatat 516.344 kasus perceraian pada 2022.
Angka perceraian yang terus meningkat ini menunjukkan semakin banyak remaja menghadapi ketidakstabilan keluarga, kondisi yang secara signifikan mempengaruhi rasa aman dan kemampuan mereka mengatur emosi.
Perceraian orangtua seringkali membuat remaja mengalami perasaan ditinggalkan, bingung akan loyalitas, dan kehilangan figur panutan yang stabil. Hasilnya? Emosi yang datang seperti badai tanpa peringatan.
Ketika emosi tak terkendali, remaja mencari jalan keluar dengan cara yang justru merugikan diri sendiri. Journal of Clinical Psychology mengidentifikasi pola yang mengkhawatirkan: mereka yang tidak mampu mengelola emosi cenderung melakukan self-harm, menyalahgunakan zat terlarang, atau terlibat dalam perilaku agresif.
Kondisi ini bisa berkembang menjadi gangguan jiwa serius seperti depresi berat atau gangguan kepribadian ambang (borderline personality disorder) jika tidak segera ditangani. Gangguan kepribadian ambang adalah kondisi mental yang ditandai dengan ketidakstabilan emosi ekstrem, hubungan interpersonal yang kacau, dan perilaku impulsif yang merusak diri sendiri.
Untungnya, regulasi emosi bisa dilatih. Berdasarkan terapi Dialectical Behavior Therapy, ada beberapa langkah praktis:
Mulai dengan validasi. Saat remaja meledak emosinya, jangan langsung menyalahkan. Coba katakan, "Wajar kalau kamu marah karena situasi ini." Pengakuan sederhana ini membantu mereka merasa dimengerti.
Latih mindfulness sederhana. Ajari teknik bernapas dalam atau mengamati lingkungan sekitar saat emosi memuncak. Ini memberikan jeda sebelum bereaksi impulsif.
Cari strategi menenangkan yang sehat. Setiap remaja unik, ada yang tenang dengan musik, menulis, atau berolahraga. Bantu mereka menemukan cara yang cocok.
Namun, jika kondisi sudah sangat mengganggu kehidupan sehari-hari, jangan ragu mencari bantuan psikolog profesional.
Melatih regulasi emosi bukan sekadar tren parenting masa kini. Ini investasi jangka panjang untuk menciptakan generasi yang tangguh menghadapi tekanan hidup tanpa harus melarikan diri ke hal-hal destruktif.
Remaja yang bisa mengelola emosinya akan tumbuh menjadi dewasa yang mampu membuat keputusan bijak, membangun hubungan yang sehat, dan berkontribusi positif bagi masyarakat. Bukankah itu yang kita harapkan dari generasi penerus bangsa?
***
*) Oleh : Fx. Wahyu Widiantoro, Staf Pengajar Psikologi UP45.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |