https://jakarta.times.co.id/
Opini

Mempertanyakan Investasi Masa Depan Generasi Terdidik

Selasa, 05 Agustus 2025 - 15:21
Mempertanyakan Investasi Masa Depan Generasi Terdidik Mahmudi, S.Ag., Instruktur HMI dan Pegiat Demokrasi dan Sosial Humanistik.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Di tengah melonjaknya angka pengangguran terdidik, mahasiswa tak lagi cukup hanya menjadi lulusan. Mereka dituntut menjadi pencipta lapangan kerja. Namun, sistem negara masih memperlakukan mereka sebagai objek bantuan, bukan mitra pembangunan. 

Hal ini memperlihatkan kebijakan negara yang gagal dalam memfasilitasi potensi mahasiswa sebagai kekuatan ekonomi, model investasi sosial berbasis pendekatan Income Share Agreement (ISA) dan Venture Capital.

Pada 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan universitas mencapai 6,18%, lebih tinggi dari lulusan SMA (5,78%) dan SMK (5,34%). Artinya, pendidikan tinggi belum menjamin pekerjaan. 

Sebagian besar lulusan baru justru menganggur, menunggu peluang kerja yang makin sempit. Ironi ini menegaskan bahwa pendidikan tinggi belum terhubung secara organik dengan kebutuhan dunia kerja atau dinamika ekonomi saat ini.

Namun, masalahnya bukan hanya pada ketidaksiapan lulusan. Sistem pendidikan kita dibangun dengan logika kuno: mendidik agar bisa bekerja  jadi pegawai, ASN, atau staf korporat. Padahal dunia berubah. Industri berubah. Tapi logika pendidikan kita tertinggal. Negara juga lambat merespons. Mahasiswa tetap dianggap beban yang butuh di subsidi, bukan mitra ekonomi strategis.

Banyak mahasiswa punya ide usaha, bahkan proyek sosial yang berpotensi besar. Tapi akses ke pendanaan hampir mustahil. Yang tersedia hanya dua: pinjam uang (KUR, pinjol legal, atau ilegal) atau ikut lomba dana hibah yang seringkali rumit dan birokratis. 

Sementara itu, perusahaan malah lebih memilih lulusan SMA/SMK dengan pengalaman kerja dibanding S1 yang dianggap "terlalu banyak teori". Lulusan perguruan tinggi malah jadi yang paling rentan jadi pengangguran. 

Negara tidak hanya gagal menjamin kerja, tapi juga gagal memberi kepercayaan. Pendidikan tinggi pun akhirnya berubah menjadi pabrik gelar. Tidak menghasilkan pemikir, inovator, atau pencipta kerja hanya pencari kerja yang frustrasi.

Skema Income Share Agreement (ISA) bisa menjadi solusi. Mahasiswa tidak membayar modal di muka, tapi memberi sebagian dari pendapatan masa depan, jika berhasil. Jika gagal, tidak ada kewajiban membayar. Ini adil, berbasis risiko bersama. 

Model seperti ini sudah diterapkan di Jerman (CHANCEN eG), AS (Bloom Institute), dan Australia. Tapi lebih jauh, ISA bisa diperluas untuk membiayai usaha mahasiswa bukan hanya kuliah. Negara bisa bertindak sebagai investor sosial, bukan hanya penyedia beasiswa.

Kampus-kampus seperti MIT dan Stanford tidak hanya mengajar. Mereka juga berinvestasi. Mahasiswa yang punya ide usaha bisa mendapatkan modal dari unit usaha kampus. Jika sukses, kampus ikut untung. Jika gagal, dianggap proses belajar. Mengapa Indonesia tidak mencoba ini? 

Bentuk saja Dana Inovasi Mahasiswa Nasional. Libatkan kampus, BUMN, dan lembaga dana sosial. Siapkan seleksi terbuka, mentor, dan pendampingan. Jadikan mahasiswa sebagai aset produktif, bukan objek kasihan.

Karena sistem tak berpihak, mahasiswa akhirnya terjebak dua ekstrem: mental miskin (kerja apa saja asal hidup), atau jadi kapitalis predator (jika berhasil, mengulang ketimpangan dan eksploitasi). 

Menurut Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2024, skor Indonesia hanya 34/100. Dana pendidikan, inovasi, dan pelatihan banyak bocor. Yang tersisa bagi mahasiswa hanyalah ketidakpastian dan frustrasi.

Pendidikan tinggi kita masih melatih mahasiswa untuk menjadi alat birokrasi patuh, tidak banyak bertanya, dan mengejar gelar. Mereka tidak dibekali dengan keberanian mengambil risiko. Bahkan, jika ingin merintis usaha, sering dicap menyimpang atau “kurang akademis”. Ini warisan kolonialisme birokratik yang belum kita tinggalkan sepenuhnya.

Mahasiswa Indonesia tidak kekurangan ide, tapi kekurangan sistem yang percaya dan memfasilitasi. Sudah saatnya negara berhenti memperlakukan mereka sebagai angka statistik beasiswa, dan mulai melihat mereka sebagai mitra pembangunan. 

Bukan dengan bantuan yang habis dibelanjakan, bukan dengan utang yang mencekik tapi dengan investasi sosial yang adil: risiko ditanggung bersama, hasil dinikmati bersama. Jika negara tak berani bertaruh pada anak mudanya, lalu siapa lagi?

Semua ini kembali pada satu hal: keberanian politik. Investasi kepada mahasiswa artinya menyiapkan generasi yang berpikir kritis, berani berbeda, dan punya daya tawar terhadap negara. Dan ini bisa jadi mengancam bagi mereka yang ingin generasi muda hanya jadi pengikut, bukan pengubah. 

Maka, jangan heran jika sistem dibiarkan stagnan, birokrasi dibuat rumit, dan suara mahasiswa terus ditekan agar tidak terlalu banyak bertanya. Sementara itu, media dan influencer lebih sibuk menjual gaya hidup sukses instan daripada mendukung narasi keberdayaan struktural.

Kita bisa mulai dari hal sederhana: menyusun ulang kebijakan kampus agar tidak menghukum mahasiswa yang sibuk membangun usaha. Memberi insentif kepada program studi yang mendorong inovasi nyata.

Bukan hanya karya ilmiah yang tersimpan di rak perpustakaan. Dan yang lebih penting, memaksa negara untuk berhenti memonopoli masa depan mahasiswa lewat sistem pinjaman dan beasiswa sepihak.

Jika negara ingin keluar dari krisis pengangguran terdidik, maka investasilah pada mereka yang sedang duduk di bangku kuliah hari ini. Karena dari mereka lah akan lahir masa depan yang berani. Masa depan yang tahu bahwa tidak cukup hanya sekadar bekerja tapi harus bisa menciptakan pekerjaan.

***

*) Oleh : Mahmudi, S.Ag., Instruktur HMI dan Pegiat Demokrasi dan Sosial Humanistik. 

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.