https://jakarta.times.co.id/
Opini

Modernitas Partai Politik

Selasa, 16 Desember 2025 - 11:49
Modernitas Partai Politik M. Dwi Sugiarto, Waketum Pemuda ICMI Jawa Tengah, KAHMI Boyolali, Pemerhati Isu Sosial Politik.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Partai politik dibentuk sebagai kanal perjuangan politik di alam demokrasi yang bebas dan terbuka. Pengelompokan berbasis platform ide perjuangan dengan kepentingan yang ada menjadi dasar dibentuknya kelompok politik. 

Dari kelompok yang menyadari pentingnya politik itulah lahir gerakan dengan membentuk partai-parti politik baru. Ada ide yang tidak ditemukan di partai politik lain sehingga muncul partai politik baru, begitu seterusnya.

Iklim politik Indonesia pasca reformasi memberi ruang terbuka munculnya partai politik baru dengan beragam pendekatan termasuk pendekatan dominan figur. Hampir semua partai politik memiliki tokoh sentral yang memegang kendali partai dengan juga mengejar kekuasaan pemerintahan. 

Partai politik yang lolos ke Senayan hasil Pemilu 2024 menunjukkan ada 8 dengan 6 partai dipimpin ketua umum yang memiliki jabatan di pemerintahan maupun di legislatif, sedangkan dua partai lainnya yaitu PDI Perjuangan dan Partai Nasdem tidak dipimpin oleh pejabat pemerintahan.

Partai Gerindra dipimpin Prabowo Subianto yang kini menadi Presiden Republik Indonedia, Golkar dipimpin Bahlil Lahadalia (Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral), PKB dipimpin Muhaimin Iskandar (Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat), PKS dipimpin Almuzammil Yusuf (anggota DPR RI), PAN dipimpin Zulkifli Hasan (Menteri Koordinator Bidang Pangan), Partai Demokrat dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono (Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah).

Tantangan hari ini melihat peran strategis partai politik dengan pendidikan politik publik yang perlu ditingkatkan. Diibaratkan partai politik adalah pedagang yang menjajakan barang dagangannya yaitu kandidat kontestasi politik, maka rakyatlah yang menentukan barang mana yang akan dibeli atau dipilihnya. 

Sorotan terhadap kepentingan elit dan penguatan partai politik adalah dua hal yang dianggap negatif oleh publik, padahal publik juga perlu melakukan pembenahan dalam proses filterisasi kandidat yang akan terpilih.

Persoalan pada partai politik yang ditafsirkan secara negatif, sedangkan tidak mungkin partai politik berdiri dan memiliki wakil di parlemen bila tidak dipilih oleh rakyat. Narasi yang lain misalnya adanya usulan peserta pemilu bukan hanya partai politik justru akan membuat keruwetan baru dalam demokrasi kita.

Partai politik sebagai jalur kontestasi tunggal dalam percaturan politik dianggap buruk karena mengkooptasi sebagai pemain tunggal. Partai politik dilihat sebagai sebuah kelompok yang rakus akan kekuasaan. Padahal kanalisasi aktivitas memang diperlukan agar tidak tumpang tindih, sama halnya apabila klub sepak bola dengan jutaan fans seperti Bobotoh Persib Bandung ataupun The Jack Persija Jakarta ikut pemilu akan menjadi lucu. 

Maka partai politik dibentuk memang untuk berurusan dengan politik, bukan yang lain. Bahkan kalau tidak dikanalisasi akan terjadi serampangan liar dalam tata kelola lembaga di semua sektor.

Organisasi massa dengan jutaan anggota tidak lantas dapat mewakili aktivitas politik selain sebagai kelompok penekan. Kelompok ormas bergerak dalam aktivitas sosial masyarakat yang ranahnya memang terbatas. Jika ormas dengan anggota jutaan ingin ada dalam pusaran politik maka cukup membuat partai politik atau bertransformasi menjadi partai politik. 

Peran partai politik di desain dengan fungsi yang jelas yaitu melakukan pendidikan politik, rekrutmen kepemimpinan, penyalur aspirasi rakyat, pengatur konflik, dan partisipasi politik. Dengan fungsi tersebut maka jalan kepemimpinan memang dibentuk melalui lembaga bernama partai politik.

Dengan kanalisasi terbatas dilakukan agar tidak terjadi lompat pagar, bayangkan bila dilakukan secara bebas dapatkah suatu kelompok massa tiba-tiba ingin menjadi peserta pemilu, bagaimana proses verifikasinya, bagaimana tata kelolanya yang secara posisi ada di dua tempat sekaligus. 

Misalnya organisasi alumni kampus yang beranggotakan jutaan orang kemudian karena memiliki anggota yang banyak meminta untuk menjadi peserta pemilu atau memiliki wakil di parlemen, padahal relasi alumni kampus dengan kampus cukup memiliki keterikatan, sehingga nanti kampus menjadi kendaraan politik.

Modernitas partai politik perlu dilakukan dalam rangka memastikan akses atau keterlibatan publik terhadap jaringan politik dapat dilakukan. Publik kerap menganggap partai politik semata-mata milik elite, padahal partai politik berpondasi rakyat yang bergabung dan menyuarakan kepentingannya. 

Kepentingan yang ada tentunya kepentingan rakyat. Perlu dilihat partai politik dengan berbagai platform baik agama maupun nasionalis memiliki segmentasi tersendiri. Segmentasi dengan perwakilan kelompok cenderung menjadi bias karena tidak lagi melihat figur perwakilannya.

Konteks legislatif sebagai lembaga perwakilan menekankan adanya hubungan antara pemilih dengan figur yang dipilih. Menjadi rancu ketika publik merasa tidak memiliki perwakilannya, padahal seharusnya semua rakyat yang ikut memilih legislatif pastilah ada perwakilannya, ada figur yang dipilih atau ada partai yang didukung. 

Kontak pemilih dengan wakilnya menjadi sangat penting, maka evaluasi sistem pemilu terjadi ketika 1999 pemilu dengan proporsional tertutup berubah menjadi proporsional terbuka. Yang pada intinya rakyat tahu siapa wakilnya di legislatif.

Penguatan Figur Partai 

Penguatan partai politik dilakukan agar kendali publik terhadap partai dapat dilakukan dengan kontrak keterikatan yang menempatkan rakyat lebih dominan. Partai politik dirancang selalu membutuhkan dan mementingkan kepentingan rakyat, ketika partai tidak sejalan dengan kepentingan rakyat maka di pemilu selanjutnya tidak perlu dipilih. Anggota partai adalah figur yang menjadi penyambung relasi partai dengan rakyat.

Pendekatan politik dengan penguatan figur menjadi contoh positif pada peran serta rakyat dalam penentuan keterwakilan. Secara sadar elite partai sangat membutuhkan dukungan rakyat terlepas pada kepentingan politik golongan tertentu. 

Tidak adanya ideologisasi yang kuat di tubuh partai politik di satu sisi justru menjadi hal positif bagi rakyat dalam menentukan sikap politiknya, sehingga ideologi atau platform perjuangannya cukuplah dengan Pancasila.

Partai harus terbuka dan berada di tengah dari platform politik Indonesia atau yang cenderung nasionalis. Kekuatan politik seharusnya dapat dilihat pada figur yang diusung yang memiliki basis dukungan di masing-masing daerah pemilihan. 

Nilai-nilai kepartaian modern pada akhirnya memberi ruang terbuka kepada figur-figur yang memerlukan dukungan. Penekanannya tidak melulu kader di satu sisi menunjukkan bahwa partai politik adalah ruang terbuka bagi putra putri terbaik yang membutuhkan kendaraan dalam perjuangan politik. 

Kesadaran dalam pembentukan partai politik dengan mengendalikan figur utama tidak menjabat di pemerintahan menjadi contoh yang baik sebenarnya. Fungsi kontrol politik pemerintah yang bukan ketua partai tidak secara langsung dapat ditekan oleh penguasa. 

 

***

*) Oleh : M. Dwi Sugiarto, Waketum Pemuda ICMI Jawa Tengah, KAHMI Boyolali, Pemerhati Isu Sosial Politik.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.