https://jakarta.times.co.id/
Opini

Niat Baik MBG yang Terjanggal Pengawasan

Senin, 29 September 2025 - 11:42
Niat Baik MBG yang Terjanggal Pengawasan Bellinda W. Dewanty, Asisten Muda Ombudsman Republik Indonesia.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Lumbung padi melimpah, laut penuh ikan, hutan hijau terbentang, Indonesia tak pernah kekurangan sumber daya alam. Tapi realitasnya pahit, anak-anak masih jadi korban keracunan makanan dari program bergizi gratis. 

Apakah negeri yang kaya raya ini benar-benar miskin empati, atau sekadar abai terhadap kewajiban hukum untuk menjamin pangan aman dan bergizi bagi warganya?

Program makanan bergizi gratis digadang-gadang sebagai warisan prestisius Presiden. Namun, di balik niat mulia itu, publik berhak bertanya, apakah Badan Gizi Nasional benar-benar hadir menjalankan fungsi pengawasannya, atau sekadar menjadi pelengkap administrasi di tengah rentannya kualitas makanan yang diberikan kepada anak-anak bangsa.

Badan Gizi Nasional, yang semestinya menjadi benteng pengawasan mutu dan distribusi, kini ditantang untuk membuktikan perannya agar rakyat tidak sekadar menerima janji kosong. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menegaskan kewajiban negara untuk menjamin keamanan, mutu, dan gizi pangan. 

Dalam kerangka itu, Badan Gizi Nasional memiliki kewenangan strategis untuk menetapkan standar, melakukan pengawasan, hingga memastikan distribusi pangan berjalan sesuai amanat undang-undang. Tetapi di lapangan, fungsi itu hingga saat ini masih berjalan ditempat.

Di lapangan, Badan Gizi Nasional lebih sering tampil sebagai lembaga simbolik ketimbang pengawas yang digdaya. Makanan asal-asalan: nasi basi, lauk seadanya, bahkan kasus keracunan massal. Fakta ini memperlihatkan bahwa mandat hukum yang kokoh bisa berubah menjadi retorika kosong ketika pengawasan dibiarkan ompong.

Jika Badan Gizi Nasional benar-benar menjalankan kewenangannya, pasti tidak ada satu butir nasi basi yang lolos sampai ke piring anak sekolah. Jika Badan Gizi Nasional sungguh menunaikan tanggung jawabnya, tidak ada satu pun kasus keracunan yang mencoreng program negara. 

Setiap kali makanan tidak layak ditemukan di balik program bergizi gratis, itu adalah bukti telanjang bahwa Badan Gizi Nasional gagal menjalankan kewenangan konstitusionalnya. Kegagalan ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan pengkhianatan terhadap amanat undang-undang sekaligus pengabaian hak dasar rakyat atas pangan sehat.

Tanggung Jawab Multi Pihak dalam Implementasi Program

Implementasi program makanan bergizi gratis bukan sekadar soal distribusi piring saji. Tetapi soal tanggung jawab kolektif negara dalam menjamin hak dasar rakyat. Badan Gizi Nasional tidak boleh terus bersembunyi di balik retorika niat baik. Solusi konkret harus segera diambil.

Pertama, Badan Gizi Nasional wajib membangun sistem audit independen untuk mengawasi kualitas makanan sejak dari dapur penyedia hingga ke tangan anak-anak sekolah. 

Kedua, transparansi publik harus dibuka, agar rakyat tahu siapa penyedia makanan, standar nutrisinya, dan bagaimana rantai distribusinya diawasi. 

Ketiga, Badan Gizi Nasional harus berani memberikan sanksi keras kepada penyedia yang terbukti menyajikan makanan asal-asalan, karena setiap toleransi adalah izin diam-diam untuk meracuni generasi bangsa. 

Keempat, Badan Gizi Nasional harus menjalin sinergi dengan lembaga eksternal, sehingga pengawasan tidak hanya berhenti di aspek teknis, tetapi juga menyentuh akar maladministrasi birokrasi.

Konstitusi kita melalui Pasal 27 UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk hidup layak. Bahkan Undang-Undang Pangan dan Undang-Undang Perlindungan Anak mengikat negara agar hadir menjamin gizi rakyat. 

Tapi faktanya, program makanan bergizi gratis masih tersendat, bukan karena kurang niat, melainkan karena abainya pengawasan dan miskinnya empati pelaksana.

Sinergi Pengawasan MBG

Kegagalan pengawasan pangan bukan hanya soal kelalaian birokrasi, melainkan juga soal pengkhianatan terhadap mandat undang-undang. Ketika anak-anak keracunan, ketika standar gizi dilanggar, ketika distribusi tidak transparan, itu bukan sekadar masalah teknis. Itu adalah bentuk maladministrasi yang wajib diusut. 

Ombudsman tentu tidak boleh diam, karena diam sama saja membiarkan pelanggaran hak konstitusional rakyat atas pangan yang sehat. Oleh karenanya, sinergi pengawasan menjadi penting.

Pemerintah harus menjadi mata dan telinga. Sekolah sebagai titik distribusi wajib dilibatkan dalam mekanisme audit dan pelaporan mutu makanan secara cepat dan transparan. Keberadaan masyarakat dan media harus diberi ruang untuk ikut mengawasi. 

Badan Gizi Nasional wajib membuka kanal pengaduan publik yang bisa diakses orang tua murid atau warga, sehingga laporan keracunan atau temuan makanan tak layak tidak terkubur oleh birokrasi.

Ombudsman harus menjadi mitra strategis. Badan Gizi Nasional mengawasi aspek teknis gizi dan mutu makanan, sementara Ombudsman berwenang mengawasi aspek maladministrasi birokrasi. 

Jika kontrak penyedia dilakukan asal-asalan, distribusi tidak transparan, atau laporan keracunan ditutup-tutupi, maka Ombudsman harus masuk sebagai pengawas hukum dan moral.

Secara hukum, Ombudsman Republik Indonesia memiliki kewenangan luas: menerima laporan masyarakat, melakukan investigasi, memanggil pejabat publik, hingga mengeluarkan rekomendasi. 

Dalam konteks pengawasan Badan Gizi Nasional dan implementasi program makanan bergizi gratis, tampaknya Ombudsman menghadapi sejumlah tantangan serius. 

Pertama, budaya birokrasi yang tertutup. Kedua, resistensi politik. Karena program makanan bergizi gratis lahir dari janji Presiden, kritik terhadap implementasi sering dianggap serangan terhadap legitimasi politik. 

Dengan tantangan yang ada sebagai pengawas independen, diperlukan nyali dan dukungan publik maupun politik. Tanpa itu semua,  nampaknya Ombudsman akan sulit menembus tembok birokrasi dalam membongkar maladministrasi. Ia akan kerap dipandang melawan resistensi politik.

Program makanan bergizi gratis hanya akan dikenang dengan dua cara: sebagai warisan prestisius yang menyelamatkan generasi, atau sebagai ironi nasional yang meracuni anak bangsa. Pilihan itu ditentukan oleh keseriusan pengawasan. 

Negara yang kaya sumber daya alam akan tetap miskin peradaban jika anak-anaknya dipaksa menelan makanan asal-asalan atas nama program mulia. Warisan terbaik presiden bukanlah proyek bergizi di atas kertas, tetapi generasi sehat yang lahir dari pengawasan yang berani, tegas, dan berpihak pada rakyat. (*)

***

*) Oleh : Bellinda W. Dewanty, Asisten Muda Ombudsman Republik Indonesia.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.