https://jakarta.times.co.id/
Opini

Saat Gizi Anak Jadi Komoditas Politik

Senin, 29 September 2025 - 09:17
Saat Gizi Anak Jadi Komoditas Politik Aden Farih Ramdlani, Mahasiswa Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Ada pemandangan sederhana namun luhur yang menjadi denyut kehidupan bangsa: seorang ibu menyiapkan bekal makan siang untuk anaknya. Di dalam ompreng itu tersimpan doa, kasih sayang, dan jaminan gizi terbaik menurut versinya. Ia adalah perisai paling personal bagi masa depan seorang anak.

Negara mencoba menirukan ketulusan itu lewat Program Makanan Bergizi Gratis (MBG). Di atas kertas, program ini tampak mulia: memastikan tak ada anak Indonesia yang tumbuh dengan perut kosong dan gizi minim. Namun, apa yang semestinya menjadi perisai kini justru menjelma bumerang. Api harapan padam, berganti tragedi memilukan.

Laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyebut lebih dari 8.000 anak menjadi korban keracunan massal. Itu bukan angka statistik semata, melainkan tangis anak, kepanikan orang tua, dan ruang gawat darurat yang penuh sesak. Kepercayaan publik runtuh, tercerabut di balik panci-panci dapur umum yang tak terjamin mutunya.

Kita harus jujur: ini bukan sekadar kesalahan prosedural, melainkan kegagalan sistemik sejak dari perencanaan. Logika yang didahulukan adalah kecepatan dan pencitraan politik, sementara kualitas dan keamanan pangan dipinggirkan.

Data JPPI juga memperlihatkan betapa rapuh fondasi program ini: dari 8.583 dapur penyedia, hanya 34 yang bersertifikat higienis. Dana triliunan rupiah digelontorkan, tetapi syarat paling mendasar makanan yang aman bagi anak gagal dijamin.

Dapur umum berubah menjadi ladang risiko. Tanpa sertifikasi, tanpa pengawasan mutu, tanpa standar operasional ketat, setiap porsi makanan menjadi pertaruhan hidup. Inilah hasil dari kebijakan yang mengorbankan akal sehat demi kepentingan politik.

Politik Anggaran dan Moralitas yang Tergadai

Akar masalah ini menjalar ke ruang politik dan birokrasi. Badan Gizi Nasional (BGN), yang seharusnya mengawal program, justru ompong. Regulasi teknis yang jelas dan mengikat absen, digantikan imbauan tanpa daya paksa. Para vendor pun leluasa bermain. Teori Pilihan Publik relevan di sini: institusi negara sibuk melayani elite, bukan mandat publik.

Celakanya, disparitas anggaran kian menelanjangi praktik rente. Harga resmi Rp15.000 per porsi menyusut jadi Rp8.000–Rp10.000 di lapangan. Selisih Rp5.000–Rp7.000 bukan sekadar uang hilang, melainkan protein, vitamin, dan mineral yang dicuri dari anak-anak kita. Dengan target jutaan anak, kita berbicara potensi kerugian triliunan rupiah yang menguap di jalur distribusi keruh.

Lebih kejam lagi, beredar surat pernyataan di sekolah-sekolah yang melimpahkan tanggung jawab ke orang tua jika terjadi keracunan. Negara yang menciptakan risiko justru cuci tangan, membiarkan warga menanggung akibatnya. Ini bukan sekadar kelalaian, tapi pengkhianatan tanggung jawab moral.

Bandingkan dengan negara lain. Brasil membangun program makanan sekolah bertahun-tahun dengan fondasi hukum kokoh. Jepang bahkan menjadikannya bagian kurikulum karakter (Shokuiku). Bagi mereka, makanan sekolah bukan proyek logistik, melainkan investasi peradaban.

Kondisi ini tak bisa dibiarkan. Program MBG harus segera dimoratorium total. Hentikan bencana sebelum lebih banyak anak jadi korban. Evaluasi menyeluruh perlu dilakukan dengan melibatkan pakar independen dan masyarakat sipil.

Solusinya bukan meniadakan program, tetapi mereformasi secara fundamental. Urusan gizi anak harus kembali ke ranah komunitas, bukan industri proyek. Kantin sekolah bisa menjadi model terbaik: dikelola transparan, diawasi komite sekolah dan orang tua, diwajibkan menyerap 80% bahan baku segar dari petani lokal. Perda harus mengikat pelaksanaannya, melarang total produk ultra-proses, dan menjadikan sekolah sebagai episentrum gizi.

Kini pemerintah dihadapkan pada pilihan moral: melanjutkan program berbahaya ini demi citra politik, atau menempuh jalan yang benar dengan memastikan anak-anak kita mendapat makanan aman dan bergizi. Masa depan bangsa ditentukan oleh pilihan itu.

***

*) Oleh : Aden Farih Ramdlani, Mahasiswa Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.