TIMES JAKARTA, JAKARTA – Sudah tamat kuliah, tetapi tak kunjung mendapat pekerjaan. Fenomena ini bukan lagi cerita langka. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya peningkatan 0,60 persen poin pada tingkat pengangguran terbuka (TPT) dari lulusan pendidikan tinggi (D4, S1, S2, dan S3) pada Februari 2025 menjadi 6,23 persen.
Di sisi lain, TPT pada kelompok berpendidikan menengah ke bawah justru menurun. Tren ini mengundang pertanyaan: apakah pendidikan tinggi masih relevan jika penganggurannya justru meningkat?
Nilai Strategis Pendidikan
Mengutip Ki Hadjar Dewantara, “Pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup. Pendidikan itu sendiri adalah kehidupan.” Pendidikan bukan hanya soal gelar, tetapi soal kemampuan untuk memahami, memaknai, dan memberi kontribusi bagi kehidupan. Maka, mengenyam pendidikan setinggi-tingginya adalah jalan menuju kualitas hidup yang lebih baik.
Namun, tantangan besar masih kita hadapi. Pada 2024, rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia baru mencapai 9,22 tahun-setara lulusan SMP. Sementara harapan lama sekolah ditargetkan mencapai 13,21 tahun atau setara tahun pertama kuliah.
Ini menunjukkan bahwa penduduk Indonesia yang berhasil menempuh pendidikan tinggi masih tergolong sedikit. Maka, membuka akses ke perguruan tinggi tetap menjadi kebutuhan, bukan kemewahan.
Kenapa Sarjana Justru Menganggur?
Peningkatan TPT di kalangan lulusan pendidikan tinggi patut dicermati lebih dalam. TPT dihitung dari jumlah penganggur terhadap total angkatan kerja di tingkat pendidikan tertentu. Dengan kata lain, indikator ini tidak memasukkan mereka yang memilih tidak bekerja karena alasan lain, seperti menjadi ibu rumah tangga.
Ada beberapa alasan mengapa pengangguran di kalangan terdidik meningkat. Pertama, lulusan perguruan tinggi cenderung mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang dan ekspektasi mereka. Tak sedikit yang bersedia menunggu lebih lama demi memperoleh pekerjaan yang “layak”.
Hasil tracer study dari Kementerian Pendidikan menunjukkan bahwa mereka yang berpendidikan tinggi membutuhkan waktu lebih panjang untuk mendapat pekerjaan pertama dibanding lulusan pendidikan menengah.
Kedua, sebagian besar yaitu 80,98 persen sarjana bekerja dengan pekerjaan formal di tahun 2024, dengan jenis pekerjaan “kerah putih” yang memang terbatas jumlahnya–dari seluruh pekerjaan hanya berkontribusi sebesar 14,07 persen di tahun 2024.
Pada Februari 2025, mayoritas buruh atau karyawan dari lulusan perguruan tinggi mendapatkan upah sebesar 4,35 juta rupiah–relatif tinggi dibandingkan rata-rata upah nasional yaitu 3,09 juta rupiah. Namun, pasar kerja formal tidak tumbuh secepat peningkatan lulusan perguruan tinggi, menyebabkan ketimpangan antara pasokan dan permintaan tenaga kerja terdidik.
Ketiga, kondisi sosial ekonomi keluarga juga berperan. Data BPS menunjukkan bahwa 87,59 persen mahasiswa perguruan tinggi berasal dari rumah tangga dengan pengeluaran 40 persen teratas. Artinya, sebagian besar lulusan mampu menganggur karena ditopang kondisi ekonomi keluarga yang relatif stabil.
Awas, Atrofi Keterampilan
Meskipun bisa “menunggu” pekerjaan yang sesuai, lamanya waktu menganggur bukan tanpa risiko. Keterampilan yang diperoleh selama kuliah bisa menumpul, bahkan menghilang-fenomena yang dikenal sebagai skills atrophy.
Semakin lama seseorang tidak menggunakan ilmunya, semakin besar potensi kehilangan kompetensi. Ini tentu merugikan baik bagi individu maupun negara.
Fenomena ini menegaskan pentingnya strategi transisi dari dunia pendidikan ke dunia kerja. Perguruan tinggi perlu membekali mahasiswanya tidak hanya dengan ilmu, tetapi juga keterampilan yang dibutuhkan pasar dan kesiapan mental untuk menghadapi dunia kerja yang dinamis.
Di sisi lain, pemerintah perlu mendorong penciptaan lapangan kerja baru, terutama di sektor-sektor inovatif yang mampu menyerap tenaga kerja terdidik.
Saatnya Evaluasi
Pendidikan tinggi tidak boleh dipertanyakan relevansinya hanya karena data pengangguran meningkat. Namun, lonjakan sarjana menganggur adalah sinyal penting bahwa sistem pendidikan tinggi kita perlu dievaluasi.
Berdasarkan Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, rumpun keilmuan Pendidikan, Ekonomi dan Sosial merupakan peminat terbanyak. Untuk itu, Keselarasan antara kurikulum pendidikan tinggi dengan industri perlu dipersiapkan.
Pengembangan soft skills harus mendapat porsi agar lulusan sarjana dapat dengan mudah beradaptasi. Selain itu, program pemagangan, pengembangan wirausaha dan program lainnya dapat dikembangkan lebih masif agar mahasiswa mempunyai kesempatan untuk berjejaring dan mengenal dunia kerja sejak dini.
Usaha dan evaluasi tersebut bukan hanya soal efisiensi pendidikan, tetapi soal masa depan bangsa. Karena pendidikan tinggi, pada akhirnya, adalah salah satu investasi terbesar dalam peradaban. Kita hanya perlu memastikan bahwa investasi itu benar-benar memberikan hasil. (*)
***
*) Oleh : Weni Lidya Sukma, Analis Data di Badan Pusat Statistik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |