https://jakarta.times.co.id/
Opini

Membangun Pengelolaan Emosi Kolektif

Selasa, 02 September 2025 - 12:32
Membangun Pengelolaan Emosi Kolektif Dr. phil. Zarina Akbar, M.Psi., Psikolog., Fakultas Psikologi Universitas Negeri Jakarta.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Emosi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Tak hanya muncul dalam ranah pribadi, emosi juga hadir dalam ruang publik. Ketika masyarakat menghadapi peristiwa besar seperti bencana, pandemi, kemenangan olahraga, atau krisis politik, emosi individu dapat terhubung satu sama lainnya dan membentuk emosi kolektif. 

Emosi ini mampu menggerakkan massa, memengaruhi kebijakan, hingga menentukan ketahanan sebuah bangsa. Emosi kolektif ini memiliki 2 sisi yaitu dapat menjadi kekuatan positif yang mendorong solidaritas, atau berubah menjadi gelombang kepanikan dan konflik. Oleh karena itu, pengelolaan emosi kolektif ini menjadi hal yang sangat strategis dan utama. 

Dalam kajian ilmu psikologi, emosi kolektif diartikan sebagai pengalaman emosional yang dirasakan dan diekspresikan bersama-sama oleh sekelompok orang (Smith et al., 2007).

Hal ini terjadi melalui suatu proses mekanisme emotional contagion atau penularan emosi antar individu baik yang terjadi melalui interaksi langsung maupun melalui media digital. 

Contohnya adalah saat tim nasional Indonesia meraih kemenangan, kegembiraan meluas menjadi euforia bersama. Sebaliknya, saat terjadinya bencana, rasa takut dan panik menyebar dengan cepatnya. 

Studi yang dilakukan oleh Von Scheve dan Ismer (2013) menemukan bahwa emosi kolektif dapat memperkuat identitas sosial, namun juga bisa memecah belah jika diarahkan kepada arah yang negatif. 

Hal inilah mengapa diperlukan strategi untuk membentuk collective emotional regulation atau pengelolaan emosi kolektif menjadi sangat penting, agar energi sosial tidak berubah menjadi destruktif.

Strategi Membangun Pengelolaan Emosi Kolektif

Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam membangun pengelolaan emosi kolektif yang positif yaitu:

Pertama, Komunikasi Publik yang Transparan dan Empatik. Komunikasi publik menjadi langkah awal dalam mengelola emosi massa. Informasi yang tidak akurat atau terlambat hanya akan menambah kepanikan. 

Houston et al. (2015) menemukan bahwa komunikasi yang jujur, cepat, dan empatik mampu mengurangi kecemasan dan membangun kepercayaan. Ketika pemerintah dan tokoh masyarakat menyampaikan informasi dengan bahasa yang menenangkan dan menghargai perasaan publik dengan penuh empatik, kepanikan di masyarakat dapat diminimalkan.

Kedua, Pendidikan Sosial-Emosional Sejak Dini. Emosi kolektif terbentuk dari emosi individu. Oleh karena itu, pendidikan karakter dan keterampilan sosial-emosional menjadi sangat penting untuk diajarkan sejak dini dalam kehidupan seseorang. 

Studi yang dilakukan oleh Durlak et al. (2011) membuktikan bahwa social-emotional learning (SEL) dapat meningkatkan empati, kontrol diri, dan kemampuan menyelesaikan konflik. 

Komunitas juga dapat menjadi tempat belajar emosional melalui proses dialogis dengan warga, dan adanya forum musyawarah untuk mencapai mufakat.  Dengan belajar mengenai pendidikan sosial-emosional ini maka keterampilan mengelola emosi dapat tersebar secara merata di masyarakat.

Keempat, Kepemimpinan Berorientasi Keadilan Sosial. Pemimpin berperan besar dalam mengarahkan emosi kolektif. Pemimpin otoriter dapat memicu ketakutan massal, sedangkan pemimpin yang empatik mampu menyalurkan emosi ke arah solidaritas. Greenleaf (2002) dalam konsep servant leadership menekankan pentingnya pemimpin yang melayani. 

Tyler dan Blader (2003) menjelaskan bahwa kepemimpinan yang adil berorientasi keadilan sosial akan memperkuat kepercayaan masyarakat. Bila warga merasa diperlakukan secara setara, mereka akan lebih mudah menerima kebijakan dan mengelola emosinya secara sehat.

Keempat, Menghidupkan Nilai-Nilai Modal Sosial dan Budaya Lokal. Budaya seperti gotong royong, musyawarah, dan solidaritas adalah kekayaan yang efektif dalam mengelola emosi kolektif. 

Aldrich dan Meyer (2015) menunjukkan bahwa masyarakat dengan modal sosial tinggi lebih cepat pulih dari krisis karena adanya ikatan emosional dan saling percaya. 

Contoh penerapan melalui kerja bakti, dapur umum, atau aksi solidaritas digital selama krisis membuktikan bahwa nilai-nilai lokal mampu mengarahkan emosi kolektif ke arah tindakan nyata secara bersama-sama. 

Kelima, Literasi Digital dan Media yang Bertanggung Jawab. Di era digital, emosi kolektif mudah dipengaruhi oleh konten viral di media sosial. Hashtag, meme, dan narasi emosional dapat menyatukan, tetapi juga dapat berpotensi memecah belah. 

Penelitian dari Choi (2019) menekankan bahwa literasi digital adalah bagian penting dari ketahanan sosial. Masyarakat harus dilatih untuk membedakan mana informasi yang valid dan mana yang hoaks. 

Media massa juga memiliki tanggung jawab etis untuk menyampaikan berita dengan sudut pandang solusi, bukan hanya mengejar sensasi belaka. 

Emosi kolektif adalah kekuatan besar yang dapat merekatkan bangsa atau justru memecahnya. Tugas kita adalah mengelola emosi kolektif ini dengan strategi yang tepat komunikasi publik terbuka dan empatik, pendidikan sosial-emosional, kepemimpinan adil berorientasi keadilan soial, nilai modal sosial dan budaya lokal, serta literasi digital. 

Membangun pengelolaan emosi kolektif bukanlah tugas pihak tertentu saja, melainkan bagian dari tugas tanggung jawab bersama. Dengan pendekatan ini, emosi kolektif bukan lagi menjadi sumber konflik, melainkan dapat menjadi energi yang mendorong solidaritas, memperkuat ketahanan, dan menjaga harmoni sosial. 

Bangsa Indonesia tidak hanya kaya sumber dayanya, tetapi juga mampu menjaga keseimbangan emosional bersama di tengah badai krisis yang menghempas. Kita dapat melalui keadaan krisis ini secara bersama-sama dengan semangat persatuan kesatuan NKRI. 

Bangsa yang tangguh bukanlah bangsa yang tanpa krisis, melainkan bangsa yang mampu bangkit lebih kuat lagi dengan keadilan dan penuh solidaritas dan itulah Bangsa Indonesia tercinta. 

***

*) Oleh : Dr. phil. Zarina Akbar, M.Psi., Psikolog., Fakultas Psikologi Universitas Negeri Jakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.