TIMES JAKARTA, JAKARTA – Di era digital yang kian dominan, arus informasi melaju deras tanpa henti, membawa manfaat sekaligus bahaya. Di balik banjir data yang mencerahkan, terselip lumpur disinformasi, manipulasi visual seperti deepfakes, hingga konten berbahaya semacam perjudian ilegal dan eksploitasi seksual.
Indonesia, dalam beberapa bulan terakhir, mengambil langkah tegas: menuntut platform media sosial besar TikTok, Meta, YouTube, hingga X untuk bertindak proaktif menekan peredaran konten beracun ini, tanpa harus menunggu teguran resmi dari regulator.
Sanksi yang mengintai pun tak ringan: denda, penangguhan, hingga penghapusan dari daftar digital nasional (Reuters, Agustus 2025).
Langkah keras ini pada hakikatnya mencerminkan dua wajah demokrasi digital. Di satu sisi, negara wajib melindungi warganya dari hoaks dan propaganda yang dapat merusak tatanan sosial, bahkan mengancam stabilitas politik.
Studi global menunjukkan, kampanye disinformasi mampu mengganggu jalannya pemilu dan memperuncing polarisasi (United State Institut of Peace, 2024).
Laporan Oxford Internet Institute (2019) mencatat lebih dari 70% negara diantaranya 45 negara demokrasi pernah menghadapi operasi disinformasi berskala besar. Dalam lanskap seperti ini, Indonesia tentu tidak bisa berpangku tangan.
Namun di sisi lain, penindakan yang terlalu agresif menyimpan bahaya baru: apakah perlindungan dari disinformasi justru menjelma menjadi belenggu kebebasan berbicara? Di banyak negara, regulasi anti-hoaks telah disalahgunakan untuk membungkam kritik.
Freedom House (2023) menemukan, lebih dari 40 negara memanfaatkan aturan ini untuk menekan oposisi politik. Di titik inilah, keseimbangan antara perlindungan dan kebebasan menjadi taruhan yang genting.
Filsuf teknologi Karsten Weber dalam karyanya Das Recht auf Informationszugang (2005) memberi kerangka reflektif untuk memahami dilema ini. Ia menegaskan bahwa akses informasi adalah hak fundamental, setara dengan pendidikan atau kesehatan.
Weber memperkenalkan gagasan informationelle Grundversorgung jaminan bahwa setiap warga harus memiliki akses yang memadai terhadap informasi. Maka, upaya negara menindak disinformasi sesungguhnya bukan sekadar intervensi, melainkan wujud pemenuhan hak dasar rakyat agar nalar publik tidak diracuni.
Namun Weber juga mengingatkan prinsip Eingriffsfreiheit kebebasan dari intervensi. Negara boleh menindak kebohongan yang membahayakan, tetapi tidak boleh menjadikan dalih “menjaga kebenaran” sebagai senjata untuk mengendalikan wacana.
Begitu pula platform media sosial: moderasi konten harus dijalankan secara transparan agar tidak berubah menjadi sensor algoritmik yang bias. Jika tidak, ruang publik digital justru menyempit, dan demokrasi kehilangan napasnya.
Aspek lain yang tak kalah penting adalah Informationsgerechtigkeit keadilan dalam distribusi informasi. Kesenjangan digital di Indonesia masih lebar: BPS (2022) mencatat hanya 62% rumah tangga di pedesaan yang memiliki akses internet, berbanding 88% di perkotaan.
Jurang ini membuat kelompok rentan lebih mudah menjadi korban disinformasi. Karena itu, penindakan hukum saja tidak memadai. Literasi digital yang inklusif, kurikulum informasi di sekolah, serta investasi infrastruktur internet mutlak diperlukan untuk memastikan setiap warga memiliki daya tahan terhadap manipulasi.
Dalam kerangka lebih luas, Weber menekankan pentingnya pluralisme dan transparansi. Regulasi tidak boleh menjadi monopoli pemerintah ataupun korporasi teknologi. Masyarakat sipil, akademisi, dan komunitas pengguna perlu dilibatkan dalam merumuskan norma bersama.
Pertemuan antara pemerintah Indonesia dan para raksasa teknologi, jika diiringi prinsip keterbukaan, dapat menjadi momentum krusial untuk melahirkan tata kelola digital baru yang menegakkan tanggung jawab tanpa mengorbankan kebebasan.
Kita sampai pada pertanyaan yang paling mendasar: apakah kita ingin hidup dalam masyarakat yang bebas dari racun disinformasi tetapi terpenjara sensor, atau dalam masyarakat yang bebas berbicara namun tersesat dalam kebohongan?
Jalan yang adil dan berkeadaban hanya bisa ditemukan dengan keberanian menyeimbangkan kepentingan negara, tanggung jawab platform, dan partisipasi aktif masyarakat.
Jika berhasil, Indonesia bukan hanya melindungi ruang digitalnya, melainkan juga memberi teladan etika komunikasi global yang lebih adil, transparan, dan manusiawi.
***
*) Oleh : Dr. Polykarp Ulin Agan, Dosen Sekolah Tinggi Teologi KHKT (Kolner Hochschule fur Katholische Theologie), Keuskupan Agung Koln, Jerman.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |