https://jakarta.times.co.id/
Opini

Sarjana Nganggur

Jumat, 21 Maret 2025 - 19:29
Sarjana Nganggur Nurina P. Sari, Analis Media dan Penggerak Komunitas Sosial Keagamaan di Kota Depok

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Sebentar lagi lebaran. Adalah sebuah tradisi untuk menyambung silaturahmi dengan keluarga besar. Momentum istimewa bisa berubah menjadi menyebalkan, ketika lulusan sarjana yang lagi "nganggur" ditanya,"sudah kerja di mana sekarang?" Atau "Sarjana kok nganggur" dengan komentar yang bernada julid.

Memang, persaingan kerja yang paling intense dan kompetitif itu ada di kalangan fresh graduate. Dengan angkatan kerja yang terus bertambah, tetapi lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas. Kalaupun ada, tentu dengan syarat yang ketat. Hal ini diperparah dengan badai PHK akhir-akhir ini. 

Salah satu cuitan di laman media sosial X, menguraikan fenomena para lulusan sarjana yang sudah menganggur lama, atau sarjana yang terkena PHK, pada  akhirnya banyak yang banting setir menjadi Asisten Rumah Tangga (ART) di kawasan BSD. 

Bahkan lumrah kita temukan, lulusan sarjana yang beralih menjadi pengemudi ojek online, pekerja bangunan, bahkan petugas kebersihan untuk menyambung hidup.

Menyeruaknya fakta ini akhirnya membuka fakta yang lain. Para pemuda pemudi angkatan kerja banyak yang hijrah keluar negeri untuk mengadu nasib. Tidak selalu lulusan sarjana, bahkan banyak diantaranya lulusan SMA/SMK. 

Naiknya angka pengangguran, serta tidak relevannya antara pekerjaan dengan ilmu yang di dapat di perguruan tinggi, setidaknya terjadi karena beberapa faktor. 

Pertama, secara individu; lulusan sarjana negeri kita tidak dirancang untuk memiliki mental menghadapi dunia kerja. Mental berupa continuity, maintenance ability, hardship dan persistence masih menjadi PR kita bersama. Ini belum lagi ditambah dengan hard plus soft skills, etos kerja, grit (keberanian) dan perseverance(ketekunan).

Kedua, sistem pendidikan yang tidak visioner. Di dunia kerja praktis, memang butuh SDM yang punya keterampilan teknis. Tapi tak cukup sampai disitu, mental berani berkompetisi dan di sisi lain adaptif untuk berkolaborasi juga dibutuhkan. 

Hanya saja, cetakan pendidikan kita lebih fokus menghasilkan  tenaga terampil dalam urusan operasional. Tapi kurang dalam menghasilkan SDM yang mampu mengindentifikasi masalah, berpikir analitik, stratejik, dan solutif di berbagai bidang.

Dalam kacamata negara, jika visi negaranya besar, berambisi untuk menjadi negara adidaya yang mampu memainkan peranan global, tentu SDM yang visioner-lah yang dibutuhkan. Apalagi di era di mana dunia sedang di ambang masa krisis, tentu akan banyak yang bertumbangan.

Tapi juga ada banyak peluang baru yang bermunculan, Yang bisa bertahan tidak selalu yang kuat modalnya, tapi siapa yang mampu bergerak inovatif, kreatif, adaptif dan kolaboratif.

Ketiga, kebijakan negara. Angkatan kerja yang tidak terserap pasar kerja dan alhasil menjadi pengangguran jumlahnya 7,47 juta orang menurut data yang di rilis Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2024 yang lalu. Angka pengangguran mencapai 7,4 juta menjadi parameter yang menunjukkan kebijakan negeri ini makin kesini makin salah arah. 

Hal itu ditandai dengan banyaknya industri padat karya yang pada akhirnya gulung tikar. Hastag "kabur aja dulu" atau "Indonesia Gelap" makin menguatkan jika negeri kita menjadi neraka bagi rakyatnya sendiri, namun menjadi surga bagi para importir, oligarki, dan korporasi. 

Ekonomi global memang melambat akibat resesi. Bahkan IHSG di Indonesia sempat tumbang. Demikian memang tabiat ekonomi kapitalisme yang bertumpu pada pasar non-real sebagai sumber kekuatan ekonominya.

Tapi setidaknya, masih ada celah bagi kita untuk bertahan. Di momentum bulan Ramadan ini, prioritas utama bukan lagi memperkaya dan menyelamatkan diri sendiri. Tapi coba lihat kanan kiri, bantu hidupkan UMKM dengan berbelanja di sana, bantu perputaran ekonomi sekitar. 

Sedekah sosial bukan hanya bentuk bantuan instan. Tapi ada yang lebih efektif dari itu, yaitu menyediakan lapangan kerja. Meski tentu akan lebih massif jika dijalankan oleh negara.

***

*) Oleh : Nurina P. Sari, Analis Media dan Penggerak Komunitas Sosial Keagamaan di Kota Depok.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id


_____
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.