TIMES JAKARTA, JAKARTA – Pemerintah kembali membicarakan peningkatan peran koperasi untuk pembangunan nasional melalui kebijakan Koperasi Merah Putih (KMP). Salah satu aspek penting dalam rencana ini adalah pengalokasian 20 persen dari dana desa sebagai jaminan untuk pinjaman bank dalam jumlah besar hingga Rp400 triliun yang akan disalurkan kembali ke desa melalui koperasi sekunder.
Kebijakan ini memunculkan harapan sekaligus keraguan. Ia menjanjikan akses modal yang lebih luas bagi desa, namun di sisi lain dikhawatirkan menjadi beban keuangan yang tidak dapat dipertahankan.
Pertentangan yang muncul sebagian besar berfokus pada pertanyaan mendasar: apakah kebijakan ini akan memperkuat kemandirian desa atau malah menciptakan ketergantungan baru dalam bentuk utang jangka panjang?
Beberapa pihak berpendapat bahwa pendekatan ini memiliki banyak risiko terutama terkait manajemen dan kapasitas pelaksana di tingkat desa. Kekhawatiran ini tidak sepenuhnya tanpa dasar mengingat sejarah panjang koperasi di Indonesia yang kerap mengalami fluktuasi kualitas.
Namun, penting untuk dicatat bahwa risiko dalam kebijakan pembangunan bukanlah alasan untuk tidak bergerak. Setiap kebijakan yang berhubungan dengan transformasi struktural pasti memiliki risiko, dan tugas utama negara adalah menciptakan sistem mitigasi yang efektif, bukan menarik diri dari upaya inovatif.
Koperasi Merah Putih sebenarnya bertujuan untuk menyelesaikan dua masalah besar yang mengganggu pembangunan desa. Pertama, ketergantungan desa terhadap dana dari pusat.
Kedua, terbatasnya akses desa terhadap sumber pembiayaan yang produktif. Dalam rencana KMP, dana desa digunakan sebagai jaminan, bukan sebagai hibah atau biaya yang hilang.
Dana ini dikonsolidasikan melalui koperasi sekunder dan digunakan sebagai dasar untuk mendapatkan pembiayaan hingga empat kali lipat dari nilai jaminan. Dengan demikian, dana desa tidak dikurangi, melainkan dipindahkan agar dapat memberikan dampak ekonomi yang lebih signifikan.
Namun, seperti pengalaman dengan program sejenis di masa lalu termasuk Koperasi Unit Desa (KUD) pada masa Orde Baru serta program mitra binaan BUMN titik lemah justru terletak pada pelaksanaan di lapangan.
Banyak koperasi gagal bukan karena konsepnya salah, melainkan karena rendahnya kapasitas pengurus, kurangnya keterlibatan anggota, serta manajemen yang tidak transparan. Risiko yang sama mungkin terjadi pada KMP jika pendekatannya tetap bersifat top-down dan tidak akuntabel.
Pemerintah perlu membangun sistem pengawasan bertingkat yang melibatkan lembaga independen, akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta perwakilan desa. Penggunaan teknologi digital untuk pemantauan secara real-time juga sangat diperlukan agar aliran dana tidak hilang dalam birokrasi dan manipulasi laporan. Transparansi harus menjadi prinsip utama untuk menjaga kepercayaan publik.
Langkah lain yang juga penting adalah pendekatan bertahap. Tidak semua desa memiliki kesiapan yang sama dalam hal manajemen, kapasitas sumber daya manusia, dan kelembagaan koperasi.
Oleh karena itu, uji coba di desa-desa yang lebih siap harus dilakukan sebagai langkah awal sebelum dilakukan replikasi secara nasional. Model ini akan memberikan wawasan penting mengenai tantangan dan keberhasilan implementasi di lapangan.
Selain itu, pelatihan bagi pengurus koperasi dan perangkat desa menjadi kebutuhan yang mendesak. Kerja sama dengan universitas dan lembaga pelatihan teknis perlu diperluas, agar dana yang diperoleh dari skema pembiayaan ini benar-benar digunakan untuk aktivitas produktif bukan hanya untuk proyek-proyek yang cepat habis tetapi tidak menciptakan nilai jangka panjang.
Koperasi Merah Putih bukanlah jawaban tunggal untuk tantangan ekonomi di desa, tetapi dapat menjadi alat yang signifikan jika dilaksanakan dengan perhatian penuh dan prinsip tata kelola yang solid. Di balik kemungkinan keberhasilannya, ada risiko sistemik yang dapat muncul jika pengawasan lemah dan partisipasi masyarakat diabaikan.
Kita memiliki banyak contoh kegagalan di masa lalu. Namun, dari kegagalan tersebut, kita bisa mengambil pelajaran yang berharga. Pembangunan yang berlandaskan koperasi tidak hanya bergantung pada niat baik dan investasi besar, tetapi juga harus diterapkan dengan sistem yang menempatkan transparansi, akuntabilitas, dan perhatian pada kebutuhan nyata masyarakat desa sebagai prioritas.
Pemerintah seharusnya melihat kesempatan untuk menjadikan KMP sebagai warisan kebijakan yang memberikan dampak signifikan, selama program ini tidak diperlakukan sebagai proyek yang bersifat sementara, melainkan sebagai inisiatif yang berkelanjutan yang tumbuh dari masyarakat desa itu sendiri.
Masyarakat juga memiliki hak dan tanggung jawab untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan ini, sehingga koperasi dapat kembali menjadi inti dari ekonomi masyarakat, bukan hanya simbol atau alat politik sementara.
***
*) Oleh : Moch. Efril Kasiono, Pendamping Desa.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |