TIMES JAKARTA, JAKARTA – Raja Ampat. Nama itu membangkitkan citra surgawi: air laut sebening kristal yang memeluk terumbu karang warna-warni, ikan-ikan tropis berenang lincah di antara aneka koral, dan hutan hujan tropis yang lebat menyelimuti pulau-pulau karang yang eksotis.
Dijuluki sebagai jantung segitiga terumbu karang dunia, Raja Ampat menyimpan keanekaragaman hayati yang luar biasa, sebuah warisan alam yang tak ternilai bagi Indonesia dan dunia. Namun, surga ini kini berada di ujung tanduk, terancam oleh ancaman yang semakin nyata: pertambangan nikel.
Aroma laut dan hutan yang dulu menyegarkan kini tergantikan oleh bau tanah basah bercampur logam. Ketenangan pantai yang biasanya hanya dihiasi jejak penyu dan burung laut kini terusik oleh raungan mesin-mesin berat.
Suara riuh pertambangan telah mengalahkan nyanyian alam yang selama ini menjadi irama kehidupan masyarakat pesisir. Kerusakan lingkungan bukan hanya merusak ekosistem yang rapuh, tetapi juga melukai jiwa masyarakat adat yang telah bergenerasi menjaga keseimbangan alam Raja Ampat.
Bagaimana mereka menjelaskan kepada anak-anak mereka, yang terbiasa dengan laut jernih dan hutan lebat, bahwa kehidupan yang mereka kenal akan berubah selamanya? Bagaimana menjelaskan bahwa surga yang mereka warisi kini terancam oleh ulah manusia?
Pada 5 Juni 2025, sebuah secercah harapan muncul. Pemerintah Indonesia menghentikan sementara operasi pertambangan nikel PT Gag Nikel di Raja Ampat.
Keputusan ini, yang disambut dengan antusiasme oleh para aktivis lingkungan dan masyarakat lokal, merupakan respons terhadap protes panjang dan kekhawatiran yang terus meningkat.
Walaupun PT Gag Nikel mengklaim memiliki izin lengkap dan beroperasi di luar kawasan konservasi, ancaman terhadap keanekaragaman hayati Raja Ampat tetap nyata dan tak dapat diabaikan.
Terumbu karang yang menjadi rumah bagi ribuan spesies laut, hutan bakau yang melindungi pantai dari abrasi, dan hutan hujan yang menjadi habitat beragam satwa liar, semua terancam oleh debu dan limbah pertambangan.
Bayangkanlah seekor orang utan, yang telah menghabiskan hidupnya di atas pepohonan tinggi di hutan Raja Ampat, tiba-tiba kehilangan tempat berlindung karena habitatnya dihancurkan.
Ke mana ia akan pulang? Pertanyaan ini, sekilas sederhana, namun sarat makna. Ia menyentuh inti dari permasalahan lingkungan yang kita hadapi. Kehilangan habitat bukan hanya berarti kehilangan tempat tinggal, tetapi juga kehilangan identitas.
Kehilangan kesempatan untuk hidup dan berkembang biak, dan pada akhirnya, kehilangan kesempatan untuk melanjutkan siklus kehidupan yang telah berlangsung selama ribuan tahun.
Penghentian sementara operasi pertambangan bukanlah solusi akhir, tetapi merupakan langkah penting dalam perjuangan panjang untuk melindungi Raja Ampat.
Verifikasi lapangan yang independen dan transparan, yang melibatkan para ahli serta perwakilan masyarakat adat, merupakan langkah krusial untuk memastikan kepatuhan perusahaan terhadap regulasi lingkungan dan untuk menilai dampak sebenarnya dari aktivitas pertambangan.
Lebih jauh lagi, keputusan ini harus menjadi momentum untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pertambangan di Indonesia.
Kita harus berani mempertanyakan paradigma pembangunan ekonomi yang didorong oleh eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan konsekuensi lingkungan dan sosial yang tak tergantikan.
Raja Ampat bukanlah sekadar destinasi wisata; ia bukan hanya sumber daya alam yang menunggu untuk dieksploitasi. Ia adalah rumah bagi kehidupan, tempat bertemunya budaya dan alam yang telah terjalin selama berabad-abad.
Perjuangan untuk melindungi Raja Ampat adalah perjuangan untuk melindungi warisan dunia yang tak ternilai, bagi generasi sekarang dan generasi mendatang.
Jangan sampai, surga terakhir ini hilang ditelan oleh ambisi ekonomi yang buta. Jangan sampai, pertanyaan "ke mana orangutan akan pulang?" menjadi pertanyaan tanpa jawaban yang terus menghantui kita.
Harapan dan perjuangan untuk melindungi Raja Ampat harus terus berlanjut, dengan komitmen yang kuat dari seluruh pihak, untuk memastikan bahwa surga ini tetap lestari bagi kehidupan masa depan.
***
*) Oleh : Erna Wiyono, Jurnalis, Penulis, Pelukis, Creative Director Program, dan Indonesia Dancer.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |