TIMES JAKARTA, JAKARTA – Teori Pragmatisme yang dipelopori oleh filsuf Amerika John Dewey didasarkan pada perubahan, proses, relatifitas, dan rekonstruksi pengalaman. Pragmatisme Pendidikan dalam konsep ini memandang bahwa baik secara biologis maupun sosiologis manusia memiliki naluri untuk bertahan hidup dan untuk berkembang karena mengalami situasi-situasi problematik yang mengancam eksistensinya.
Manusia yang sukses adalah yang mampu memcahkan masalah dan menjadikan pengalaman dalam pemecahan masalahnya ini sebagai bekal menghadapi kemungkinan masalah di masa yang akan datang. (Jusuf Nikolas: 2018).
Dalam pragmatisme pendidikan, pembelajaran dilangsungkan dengan berpusat pada kebutuhan siswa, minat, dan bakat selama menempuh pendidikan. Hal ini tentu menjadi sangat penting, mengingat ketika mengeyam pendidikan, setiap siswa memiliki potensinya yang berbeda satu sama lain.
Melandasi sistem pendidikan dengan satu benang merah mekanisme demi menjaga keteraturan jalannya pendidikan memang sebuah kebutuhan, tapi kebutuhan atas pendalaman dan menumbuh kembangkan potensi, minat dan bakat siswa adalah cara jitu menjaga siswa kompetensi yang dimilikinya tetap kontekstual di masa yang akan datang.
TKA yang Berpusat Pada Siswa
Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai upaya mengukur capaian Pendidikan Indonesia oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), agaknya coba merekonstruksi model pendidikan yang demikian, dengan menghadirkan sifat pilihan yang bertolak belakang dengan penekanan ujian sebagai kewajiban yang selama ini hadir di tengah ekosistem pembelajaran.
TKA jauh lebih kepada upaya mengisi ruang reflektif bagi siswa atas pembelajaran yang telah ia ampu dan disesuaikan dengan kurikulum pendidikan yang berusaha berpihak pada siswa.
Hasil daripada TKA pun tidak menentukan seseorang siswa misalnya untuk dinyatakan layak 'lulus' atau tidak. Karena sifatnya yang partisipatif ini pula, apabila tidak mengikutsertakan diri pada TKA tentu bukan menjadi hal yang tak boleh dilakukan.
Penerapan kegiatan refleksi pada beberapa mata pelajaran dan pembelajaran membantu siswa dalam berusahan mendeskripsikan konsep, menghubungkan materi dengan kehidupan sehari-hari serta membantu siswa dalam melakukan analisa yang nantinya bakan bermanfaat dalam kehidupan. (Nikki Tri Sakung, dkk: 2024).
Meskipun demikian, dalam beberapa skema penggunaan hasilnya, nantinya TKA akan menjadi alat seleksi jalur prestasi bagi siswa yang hendak melanjutkan pendidikan pada tahap berikutnya. Artinya, meskipun TKA bukan kewajiban yang dibebankan pada siswa, hasilnya tetap akan bermanfaat dan dijamin keabsahannya. Tidak lantas malah menjadikannya semacam alat ukur tentatif belaka.
Sifat partisipatif TKA justru menyediakan ruang seluas luasnya bagi siswa yang memang sejak awal berorientasi pada keberlanjutan tingkat pendidikan yang hendak ia masuki lewat jalur prestasi seperti catatan nilai akademik ini. Kesukarelaan yang diambil untuk ikut serta dalam TKA tentu akan memompa semangat untuk belajar yang lebih giat lagi.
Bagi sekolah, mempersiapkan proses implementasi TKA tentu jauh lebih ringan, apalagi dengan ketidak wajiban yang melekat pada prosesnya ini. Karena kemungkinan hanya sebagian siswa yang akan mengikutinya, proses rekapitulasi yang nantinya dilakukan atas nilai sebagai catatan akademik membutuhkan energi yang tak sebanyak jika TKA diharuskan diikuti oleh semua siswa belajar.
Beban moral seperti semua siswa harus ikut ujian dan harus menghasilkan nilai yang rerata tinggi karena berpengaruh pada akreditasi sekolah kadangkala malah memunculkan potensi kecurangan seperti adanya otak-atik nilai. Sekali lagi kekhawatiran semacam ini bahkan dihilangkan dengan adanya Implementasi TKA sebagai terobosan evaluasi pembelajaran.
Menjadi Pribadi terus Progesif
Pragmatisme dalam pendidikan juga berorientasi pada hadirnya pengalaman yang relevan pada siswa, mampu memecahkan masalah dan terus bertumbuh kembang. Sebagai pilar kehidupan, pendidikan tentu diharapkan tidak hanya menjadi formalitas aktivitas belajar di kelas, namun mampu menjembatani siswa dalam memperbaiki kehidupannya dan lingkungan keluarga.
Artinya, pendidikan yang dilakukan haruslah memberikan pengalaman yang aktual dan tepat pada kebutuhan zaman yang juga kian kompleks, memperbarui gaya terselenggaranya pendidikan antara lain melakukan evaluasi pendidikan yang lebih komprehensif merupakan langkah besar yang bisa diambil.
Di tengah kebutuhan zaman kompleks tadi juga, pendidikan juga perlu menjadi arena yang terus menstimulasi siswa agar bisa menjadi pemecah masalah baik pribadi maupun kerja kolektif sebagai makhluk sosial.
Dengan stimulasi ini, ruang pembelajaran nantinya tidak hanya menjadi bukti bahwa belajar pernah siswa lakukan, tapi lebih juga kepada pembiasaan siswa agar mampu menyelesaikan setiap masalah dengan sistematika yang terarah.
Hal ini akan menciptakan siswa yang memiliki kesiapan dan kesiapan sikap dan mental dalam menerjang keras lalu lalang kehidupan nantinya, meskipun seringkali problematika yang dihadapi berbeda jauh secara konteks.
Jika kesiapan dan kesigapan dalam menghadapi masalah ini terus terasah, tumbuh kembang siswa sebagai insan cendekia sangat mungkin berjalan optimal. Selaras demikian, TKA juga memberikan kesempatan agar siswa terus menjadi progresif. Bagi siswa yang ikut serta dalam penilaian TKA, agar tujuan mendapatkan hasil akhirnya yang baik, maka memecahkan soal-soal adalah hal yang bisa dijadikan kebiasaan.
Selain itu, soal yang dihadapinya akan memperlihatkan seberapa dirinya seriusan menjalankan pembelajaran yang selama ini berlangsung. Dan bagi mereka yang tidak ikut serta TKA, mereka tentu mampu merefleksikan diri tentang sejauh mana kebutuhan hasil TKA dan kemampuannya dalam mengerjakan tes yang akan dijalani.
Bagi mereka yang tidak memiliki orientasi panjang pada pendidikan tinggi atau lebih berfokus pada kesempatan karir dalam dunia industri yang jamak. Keahlian apa yang mereka harus latih, dalami, dan terus menerus asah adalah hal yang perlu dimunculkan dalam benak secara mendalam.
TKA tidak hanya berperan pada upaya melihat capaian tapi juga menjadi konsep yang memantik responsivitas bagi siswa yang mungkin kurang akrab dengan persoalan nilai dan administratif. Tapi cenderung pada keahlian softskill, kompetisi vokasi, olahraga atau kegiatan lainnya yang cenderung mungkin bertumpu pada kinerja fisik yang optimal.
Karakter siswa yang secama ini barangkali secara akademik akan kalah diatas kertas, namun soal kreatifitas dan jiwa kewirausahaan jauh lebih unggul di atas rata-rata.
Semoga Upaya mewujudkan Pendidikan yang bermutu terus berlangsung dengan baik. Semoga segala daya upaya terus menjadi langkah yang diambil demi menunjang masa depan pendidikan Indonesia yang semakin maju.
***
*) Oleh : Muhamad Ikhwan A. A, Manajer Program Al Wasath Institute. Alumni Magister Ilmu Hukum Universitas Jayabaya.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |