TIMES JAKARTA, JAKARTA – Pada 11 Desember 2024, kabar mengejutkan datang dari Nusa Tenggara Barat. Yakni, Kepala Bidang (Kabid) SMK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) NTB Ahmad Muslim, ditetapkan sebagai tersangka korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) di Dinas Pendidikan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Dari tahun ke tahun, fenomena korupsi di sektor pendidikan begitu meresahkan, seperti tak ada hentinya; ibarat mati satu, tumbuh seribu. Mereka yang terlibat korupsi baru seperti tak pernah belajar dengan kasus-kasus sebelumnya, justru tak malu melakukan perbuatan culas itu.
Kasus korupsi dana pendidikan kembali mencuat. Tak tangung-tanggung, hampir sepekan terakhir media cetak maupun media online mengangkat berbagai ragam topik korupsi di lingkungan pendidikan.
Kali ini, Unit Tindak Pidana Korupsi (Tipidkor) Satreskrim Polresta Mataram melakukan OTT terhadap Kepala Bidang SMK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Barat Ahmad Muslim, beserta barang bukti berupa uang tunai Rp 50 juta yang diduga terlibat praktik korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) di Dikbud NTB.
Setidaknya, terdapat sejumlah oknum birokrat pendidikan dan juga melibatkan Kepala Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Provinsi NTB.
Kasus korupsi dana pendidikan bukan berita baru yang dibongkar Pihak Aparat kepolisian dalam beberapa tahun terakhir ini. Korupsi dana pendidikan ini diduga berkorelasi dengan praktika pilkada. Kasus korupsi dana pendidikan ini merupakan tamparan keras kepada para pemangku pendidikan.
Pendidikan pada hakikatnya berupaya mengalihkan generasi muda dari kondisi kegelapan menuju pencerahan, dari kebodohan dan kedunguan menuju pencerdasan dan literasi. Pendidikan pun sekaligus akan meningkatkan nurani dan akal sehat. Nilai-nilai pendidikan sejatinya akan melawan nilai-nilai koruptif. Namun, ironisnya, justru di bidang pendidikanlah praktika koruptif kerap terjadi.
ICW lebih jauh mengungkapkan hasil termuannya, bahwa dinas pendidikan, sekolah, universitas, pemkab/pemkot dan pemerintah provinsi menjadi lembaga yang rentan korupsi. Perhatikan hasil penelitian ICW menunjukkan semenjak tahun 2016 hingga September 2021 ada sekitar 240 kasus korupsi pendidikan terjadi di dinas pendidikan.
Objek korupsi pendidikan nyaris tak terbatas pada dana APBN dan APBD yang disalurkan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK), tetapi juga diduga menyangkut dana BOS yang seharusnya menjadi penopang operasional sekolah. Beginilah nasib anak bangsa kita yang haknya dirampas oleh para oknum di institusi pendidikan.
Separah inikah pengelolaan dana pendidikan di negeri ini? Apa yang dapat dilakukan oleh bangsa ini agar praktik korupsi di sekolah/kampus dapat dihilangkan? Itulah sekelumit pertanyaan yang harus dijawab.
Fenomena perilaku koruptif ini sungguh ironis dengan hakikat pendidikan itu sendiri. Sekolah/kampus yang sejatinya jadi garda terdepan dan motor penggerak dalam upaya pencegahan dan pemberantasan praktika koruptif justru terjebak oleh birokrasi pendidikan yang buruk.
Sekolah atau kampus seharusnya menjadi lokomotif perubahan perilaku generasi muda melalui pendidikan antikorupsi. Pendidikan antikorupsi di sekolah/kampus sebagai salah satu ruh dari pendidikan karekter yang dilakukan secara integratif dalam kurikulum. Pendidikan antikorupsi di sekolah bukan sebagai mata pelajaran tetapi sebagai ruh bagi seluruh mata pelajaran.
Namun, bagi perguruan tinggi, perlu dipertimbangkan secara mendalam oleh pemerintah agar pendidikan antikorupsi dijadikan salah satu mata kuliah dasar umum yang wajib diampu oleh seluruh mahasiswa. Fokus utama mata kuliah ini pada upaya pembelajaran moral knowing, moral feeling, dan moral action meminjam sitilah ahli pendidikan karakter Thomas Lickona.
Disamping itu, perlu penguatan melalui pembiasaan dan pembudayaan perilaku antikorupsi di sekolah dan kampus. Guru, dosen apalagi kepala sekolah dan rektor harus menjadi model bagi ketelandanan di lingkungan sekolah atau kampus. Keteladanan dan pengkondisian lingkungan ini penting dalam menguatkan karakter siswa atau mahasiswa.
Manajemen tata kelola sekolah/kampus harus transparan dan akuntabel. Perilaku para birokrat pendidikan itu harus menjadi teladan dengan perilaku dan kebijakannya yang pro public, berintegritas dan bermartabat.
Jangan seperti kata Doig dan Riley (1997) bahwa sebuah sumber kunci dari korupsi di banyak lembaga publik negara-negara berkembang bisa jadi karena suatu kepemimpinan politik yang tidak mendukung kepentingan publik atau buruknya moral hazard kepemimpinan politik.
Pandangan G. Shabbir Cheema, pejabat UNDP dan Jean Bonvin, pejabat OECD (1997), tentang korupsi bahwa korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan dan sering mengakibatkan pelanggaran HAM.
Bahkan meurut penulis korupsi bidang pendidikan ini adalah korupsi yang paling besar dosanya dibandingkan korupsi bidang lainnya. Moralitas korupsi pendidikan bertentangan dengan moralitas pembangunan dan hak anak memperoleh pendidikan yang dijamin oleh konstitusi.
Gerakan antikorupsi internasional bidang pendidikan menyimpulkan bahwa banyak negara berkembang memiliki pemimpin bagaikan predator yang merusak hak pendidikan para warganya.
Di Indonesia sendiri seakan kita sedang menyaksikan hal ini sebagai pertunjukan yang dilakonkan oleh para oknum pendidikan yang mengaku moralis. Praktika seperi ini harus segara dibasmikan di Republik ini.
Semoga kedepannya, kita memilih kepala dinas dari para guru atau para pendidik yang berprestasi dan berintegritas. Jangan sampai pemilihan kepala dinas didasarkan atas like and dislike kepala daerah, atau balas jasa karena yang bersangkutan pernah menjadi tim sukses bayangan ketika pilkada.
Sudah saatnya para kepala dinas dan kepala sekolah diisi oleh orang yang berwawasan luas, mengerti dunia pendidikan, dan memilliki integritas yang teruji agar kualitas.
***
*) Oleh : Arifudin, Pemerhati Pendidikan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |