https://jakarta.times.co.id/
Opini

Donatur Kampanye, Hantu Korupsi Kepala Daerah

Minggu, 23 Maret 2025 - 20:36
Donatur Kampanye, Hantu Korupsi Kepala Daerah Muhammad Aras Prabowo, Pengamat Ekonomi UNUSIA, Ketua Prodi Akuntansi UNUSIA, Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Korupsi di Indonesia bukan sekadar kejahatan administratif, melainkan penyakit sistemik yang merusak tatanan pemerintahan, memperlemah ekonomi, dan menggerus kepercayaan publik. Salah satu akar persoalan yang kerap luput dari perhatian adalah relasi transaksional antara calon kepala daerah dan donatur kampanye. 

Fenomena ini menjelma menjadi “hantu” yang terus menghantui para kepala daerah, bahkan setelah mereka duduk di kursi kekuasaan.

Pemilihan kepala daerah (pilkada) yang seharusnya menjadi ajang kompetisi gagasan, sering kali berubah menjadi kontestasi modal. Biaya politik yang tinggi memaksa calon kepala daerah mencari sumber pendanaan dalam jumlah besar. 

Di titik inilah, donatur kampanye masuk sebagai “penyelamat” sementara yang kelak menjelma menjadi “penagih utang politik.” Donasi yang diberikan bukan tanpa pamrih, melainkan investasi yang harus kembali dalam bentuk proyek, perizinan, atau kebijakan yang menguntungkan pihak tertentu.

Sayangnya, regulasi mengenai pendanaan kampanye masih lemah. Audit dana kampanye kerap hanya menjadi formalitas, tanpa menyentuh aspek krusial seperti penyamaran identitas donatur melalui pihak ketiga dan aliran dana gelap yang tak tercatat. Minimnya transparansi ini membuka ruang lebar bagi praktik korupsi sejak fase pencalonan. 

Kasus Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah, menjadi contoh konkret. Ia ditangkap KPK atas dugaan suap proyek infrastruktur dari pengusaha yang sebelumnya menjadi donatur kampanye dalam pilkada (suarasurabaya.net, 03 Maret 2021). 

Hubungan simbiosis ini menempatkan kepala daerah dalam posisi rentan: harus “membayar” kembali dukungan finansial dengan penyalahgunaan kekuasaan.

Pilkada serentak justru memperparah situasi. Persaingan semakin ketat dan biaya semakin tinggi, mendorong calon untuk mencari dukungan dana dalam skala besar. 

Dalam laporan ICW (2018) dan Hafiz (2021), beberapa kepala daerah terjerat korupsi karena tekanan pembiayaan politik, seperti Siti Mashita Suparno (Walikota Tegal 2013–2018), Sri Hartini (Bupati Klaten 2015–2020), dan Andriatma Dwi Putra (Walikota Kendari 2017–2022). Semua kasus ini menunjukkan pola yang sama: keterikatan terhadap donatur kampanye menjadi pintu masuk korupsi.

Ironisnya, KPK sebagai lembaga antikorupsi justru menghadapi krisis legitimasi. Independensinya dipertanyakan, terutama setelah proses pemilihan komisioner disinyalir sarat muatan politik. Ketika KPK melemah, maka sinyal bagi para koruptor adalah jelas: korupsi dapat dilakukan dengan risiko minimal.

Korupsi akibat pengaruh donatur kampanye bukan hanya persoalan hukum, melainkan ancaman terhadap demokrasi itu sendiri. Kepala daerah kehilangan independensi, masyarakat kehilangan kepercayaan, dan negara kehilangan arah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih.

Jika situasi ini terus dibiarkan, maka pilkada hanya akan melahirkan pemimpin yang tersandera utang politik, bukan pemimpin yang visioner dan berpihak pada rakyat.

Dibutuhkan reformasi menyeluruh dalam sistem pendanaan politik. Transparansi dan akuntabilitas harus ditegakkan secara ketat, dengan audit independen yang tidak bisa diintervensi. Kontribusi dana dari pihak swasta perlu dibatasi, dan peran masyarakat dalam mengawasi pemilu harus diperkuat.

Selain itu, KPK harus dikembalikan kepada khitah-nya sebagai lembaga independen tanpa intervensi politik. Pemilihan komisioner harus transparan dan bebas dari kepentingan partai. Hanya dengan upaya kolektif semacam ini, korupsi akibat “hantu” donatur kampanye bisa ditekan.

Korupsi bukan hanya pelanggaran hukum, tapi kegagalan moral. Jika kita ingin memutus mata rantai korupsi, maka sistem politik harus dibersihkan dari pengaruh modal. Pemimpin sejati adalah mereka yang tidak dibebani utang politik, melainkan berkomitmen penuh pada kepentingan rakyat.

***

*) Oleh : Muhammad Aras Prabowo, Pengamat Ekonomi UNUSIA, Ketua Prodi Akuntansi UNUSIA, Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.