TIMES JAKARTA, JAKARTA – Ada salah satu kebiasaan dalam cara beragama kita yaitu mencari penjelasan rasional dari ajaran agama. Mengapa Tuhan memerintahkan salat, melarang korupsi, menajiskan anjing, sampai mengharamkan daging babi dan sebagainya. Padahal, ajaran agama tidak selalu rasional.
Kepatuhan terhadap agama semestinya didasarkan atas keyakinan. Keyakinan itu sendiri seringkali melampaui akal, suprarasional. Demikian kata filosof dan teolog Soren Kierkegaard dalam Fear and Trembling (1843). Memaksakan penjelasan rasional di balik perintah Tuhan seringkali berakhir pada kebuntuan, bahkan inkonsistensi kata Marvin Harris (1974).
Sebetulnya boleh saja menelusuri hikmah dibalik perintah dan larangan Tuhan. Di dalam tradisi pemikiran Islam, seorang pemikir bernama Syekh Al-Jurjawi bahkan menulis kitab khusus berjudul hikmat al- tasyri' wa falsafatuha (hikmah legislasi ajaran agama dan falsafahnya). Di dalamnya berisi hikmah serta penjelasan filosofis mengapa ajaran tertentu ditetapkan.
Namun, muncul masalah saat rasionalisasi yang disusun bertabrakan dengan, misalnya, ilmu pengetahuan. Contoh soal larangan mengkonsumsi daging babi bagi Muslim dan Yahudi. Sejak lama, sebagian Yahudi memberikan alasan bahwa babi adalah hewan terkotor (dirtiest animal) yang jahat untuk tubuh. Alasan yang kurang lebih sama juga diketengahkan sebagian Muslim.
Namun, rasionalisasi ini memikili kerentanan sendiri. Jika alasannya kesehatan, daging sapi ternyata memiliki patogen yang tidak kalah jahat. Betapa banyak penyakit yang diakibatkan oleh konsumsi daging sapi. Faktanya, daging sapi halal dikonsumsi oleh Muslim dan Yahudi.
Harris dalam buku Cows, Pigs, Wars, and Witches: The Riddles of Culture (1974) menggambarkan bagaimana Moses Maimunides, rabbi Yahudi abad ke-12, memberikan rasionalisasi medis. Daging babi tidak boleh dikonsumsi karena berbahaya bagi tubuh. Namun, Harris menganggap alasan ini tidak konsisten dengan kenyataan bahwa penyakit berbahaya, brucellosis dan anthrax, justru ditransmisikan oleh kambing dan kuda.
Najis anjing juga sama. Sebagian Muslim masih sering menjelaskan, bahwa alasan najis anjing perlu disucikan dengan ekstra (dibasuh tujuh kali dan dicampur dengan tanah), karena mengandung banyak bakteri. Sayangnya, bukti saintifik menghadirkan fakta lain.
Johnston dalam penelitian berjudul An Unexpected Bacterial Flora in the Proximal Small Intestine of Normal Cats (1993) menemukan bahwa kucing ternyata memiliki kandungan bakteri lebih besar dari anjing. Toh, kucing ternyata tidak dianggap najis. Karena itulah, alasan yang digunakan untuk menjelaskan najisnya anjing kurang relevan serta bertabrakan dengan bukti sains.
Memaksakan ajaran agama agar masuk akal memang tidak selalu berhasil dan sebetulnya tidak diperlukan. Agama berada pada spektrum keyakinan dan pengalaman batin sebentuk ecstasy kata Emile Durkheim (2008). Sekali lagi, acapkali melampaui nalar (beyond the reason).
Memaksakan penjelasan rasional saat bertabrakan dengan bukti ilmiah hanya akan melemahkan agama itu sendiri. Meminjam istilah Al-Ghazali, tindakan demikian adalah kejahatan (jinayah). Al-Ghazali dalam karya berjudul al-munqid minadh dhalal (diterjemahkan dan disunting ke dalam bahasa Inggris oleh McCarthy tahun 2010 dengan judul Deliverance from Error) menyindir sebagian pembela Islam, yang menolak ilmu pengetahuan atas nama Islam. Mereka menolak ilmuwan dalam menjelaskan fenomena gerhana matahari karena dinilai menyimpang dari agama.
Konsekuensinya, kata Al-Ghazali, saat klaim mereka didengar oleh orang yang memiliki keyakinan penuh terhadap sains, maka yang dianggap bohong adalah agama karena menyimpang dari bukti sains. “…mereka semakin mencintai sains dan membenci Islam. Sunggah merupakan kejahatan besar orang yang menduga bahwa Islam bisa dibela dengan jalan mengingkari ilmu ini, padahal syariat tidak pernah membahasnya, baik dalam bentuk negasi atau afirmasi, pun ilmu ini tidak mengandung kontradiksi dengan persoalan keagamaan" (Al-Ghazali, Al-Munqid, hal 140).
Pada akhirnya, beragama tanpa perlu kepo menunggu justifikasi rasional, lebih mencerminkan ketulusan mematuhi Tuhan. Tuhan saja menciptakan manusia tulus, meskipun mengetahui kelak banyak dari mereka yang akan mengingkari-Nya. Di sini, manusia memiliki alasan lebih kuat untuk tulus menyembah Tuhan. (*)
* Oleh Dodik Harnadi, Pegiat Studi Sosial Keagamaan
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : - |
Editor | : Hainorrahman |