https://jakarta.times.co.id/
Opini

Ketimpangan Anggaran dan Luka Keadilan Pendidikan

Kamis, 21 Agustus 2025 - 11:34
Ketimpangan Anggaran dan Luka Keadilan Pendidikan Ahmad Chuvav Ibriy, Pengasuh Ponpes Al-Amin Mojowuku dan Pemerhati Ekonomi Sosial Islam.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Konstitusi kita dengan tegas menetapkan kewajiban negara mengalokasikan 20 persen APBN untuk pendidikan. Pasal 31 UUD 1945 tidak hanya meletakkan pendidikan sebagai hak warga negara, tetapi juga sebagai tanggung jawab kolektif pemerintah. 

Namun, setelah lebih dari dua dekade reformasi, janji konstitusi itu masih jauh dari kenyataan. Anggaran pendidikan memang besar secara nominal, tetapi distribusi dan penggunaannya justru menimbulkan tanda tanya besar.

Salah satu potret yang mencolok adalah porsi dana pendidikan yang lebih banyak terserap untuk sekolah kedinasan dan berbagai fasilitas birokrasi, sementara sekolah-sekolah dasar, menengah, hingga perguruan tinggi umum masih kesulitan. Bahkan, guru honorer pilar utama pendidikan rakyat masih hidup dalam kesenjangan yang memilukan.

Video yang Membuka Luka

Belakangan, publik tersentak oleh video yang viral di media sosial. Dalam video itu tergambar kontras mencolok: “1 hari gaji DPR sama dengan 11 bulan gaji guru honorer.” Anggota DPR bisa membawa pulang lebih dari Rp100 juta per bulan atau setara Rp3 juta per hari.

Sementara guru honorer kategori R4 hanya digaji Rp30 ribu per jam. Jika mengajar 18 jam sebulan, pendapatan mereka hanya sekitar Rp540 ribu per bulan, bahkan lebih kecil dari upah minimum.

Potongan lain yang menyayat hati adalah kesaksian seorang guru honorer yang menangis di ruang sidang DPR. Ia sudah mengabdi bertahun-tahun, tetapi masih diberi honor setara pekerja serabutan. Saat jeritan itu terdengar, publik bertanya: apakah ini wajah asli keadilan sosial kita?

Anggaran Pendidikan yang Timpang

Menurut data Kementerian Keuangan, dari total alokasi pendidikan yang lebih dari Rp. 600 triliun, sebagian besar dialokasikan untuk gaji pegawai, tunjangan, dan pembiayaan sekolah kedinasan. Sementara sekolah negeri di pelosok, madrasah swasta, dan ribuan guru honorer harus berbagi sisa kue yang tidak seberapa.

Padahal, konstitusi menegaskan bahwa 20 persen anggaran itu adalah untuk rakyat, bukan hanya untuk memperbesar fasilitas birokrasi. Dalam praktiknya, wajah ketidakadilan ini makin kentara: sekolah kedinasan yang jumlah mahasiswanya tidak seberapa bisa mendapat sokongan ratusan miliar, sedangkan ribuan sekolah swasta yang menampung jutaan anak bangsa justru hanya menerima dana bantuan operasional yang minim dan sering terlambat cair.

Pejuang yang Terpinggirkan

Guru honorer adalah kelompok yang paling merasakan ketidakadilan anggaran ini. Mereka tidak hanya mengajar, tetapi juga membentuk karakter, mendidik akhlak, dan membangun masa depan bangsa. Namun, pengabdian itu sering dibalas dengan honor setara uang transport anggota DPR.

Ironinya, ketika negara masih sibuk memperdebatkan kenaikan tunjangan pejabat, guru honorer justru menjerit karena gajinya tidak cukup untuk membayar kebutuhan pokok. Padahal, tanpa guru, tidak ada pejabat, tidak ada DPR, tidak ada birokrat yang bisa duduk di kursi kekuasaan hari ini.

Namun, ketidakadilan anggaran pendidikan tidak hanya menimpa guru honorer di sekolah formal. Para kiai, ulama, dan ustadz pesantren yang hampir setiap hari mendidik santri tanpa kenal waktu justru nyaris tidak tersentuh perhatian negara. 

Mereka berjuang membangun akhlak, ilmu, dan karakter bangsa dari akar rumput, tetapi hidupnya bergantung pada keikhlasan santri dan masyarakat. Tidak ada standar gaji, tidak ada jaminan kesehatan, bahkan sekadar penghargaan dari negara pun sering absen. 

Bandingkan dengan pejabat negara yang digaji puluhan hingga ratusan juta rupiah per bulan, lengkap dengan tunjangan dan fasilitas. Kontras ini menegaskan bahwa wajah keadilan pendidikan kita masih pincang: yang membentuk moral bangsa justru terabaikan, sementara birokrasi dan elit politik terus dimanjakan.

Ketika Politik Mengalahkan Moral

Ketimpangan ini bukan hanya masalah teknis anggaran, tetapi juga cerminan krisis moral politik. Para legislator sering berbicara lantang soal kesejahteraan rakyat, tetapi enggan menurunkan sebagian fasilitasnya untuk memperbaiki nasib guru honorer. 

Narasi “3 juta sehari” bagi DPR versus “540 ribu sebulan” bagi guru honorer adalah simbol betapa jauhnya para pemegang kebijakan dari denyut nadi rakyat kecil.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, pendidikan Indonesia akan tumbuh pincang. Anak-anak di pelosok akan terus belajar di ruang kelas yang bocor, guru honorer akan tetap miskin, sementara elit politik sibuk memperdebatkan tunjangan dan fasilitas pribadi.

Menata Ulang Prioritas

Apa yang seharusnya dilakukan? Pertama, reformasi distribusi anggaran pendidikan harus segera dijalankan. Alokasi 20 persen APBN seharusnya diprioritaskan untuk kebutuhan langsung peserta didik dan kesejahteraan guru, bukan tersedot ke birokrasi dan sekolah kedinasan yang elitis.

Kedua, status guru honorer harus dipertegas. Pemerintah perlu memastikan ada mekanisme yang adil untuk pengangkatan, penggajian, dan perlindungan hak-hak mereka. Tidak boleh lagi ada guru yang mengajar puluhan anak tetapi pulang dengan gaji di bawah Rp1 juta.

Ketiga, DPR harus memberi teladan. Jika benar mereka menyandang gelar sebagai wakil rakyat, maka moralitas kebangsaan menuntut mereka untuk rela memangkas fasilitasnya dan mengalihkan sebagian untuk perbaikan pendidikan.

Pendidikan adalah investasi masa depan bangsa. Namun, selama pengelolaan anggaran masih timpang, selama guru honorer masih menangis karena gaji yang tak layak, selama DPR masih menikmati gaji fantastis di tengah jeritan rakyat, maka wajah keadilan sosial kita akan terus tercoreng.

Kini saatnya kita menagih janji konstitusi. Dana pendidikan yang besar harus benar-benar kembali pada tujuan mulianya: mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan itu hanya bisa terwujud jika guru sebagai ujung tombak pendidikan diberi penghargaan yang selayaknya.

Kita tidak bisa lagi menutup mata. Jeritan guru honorer adalah jeritan keadilan yang ditunda. Dan bangsa yang terus menunda keadilan, sejatinya sedang menunda masa depan generasinya sendiri.

***

*) Oleh : Ahmad Chuvav Ibriy, Pengasuh Ponpes Al-Amin Mojowuku dan Pemerhati Ekonomi Sosial Islam.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.