TIMES JAKARTA, JAKARTA – Setiap tanggal 17 Juni, dunia memperingati Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia. Peringatan ini bukan sekadar seremoni, tetapi momentum penting untuk menyadarkan bahwa krisis lahan dan air merupakan ancaman nyata bagi ketahanan pangan global, termasuk di Indonesia.
Saat ini, luas lahan kritis di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 14 juta hektar akibat degradasi tanah yang menurunkan kapasitas produksi pertanian.
Kondisi ini ditandai dengan tanah yang mengering, kehilangan unsur hara, dan berkurangnya daya serap air. Ketika musim kemarau berlangsung panjang, daerah-daerah yang terdegradasi ini semakin rentan terhadap kekeringan yang ekstrem dan berkelanjutan.
Dampaknya telah dirasakan secara langsung, banyak lahan sawah tidak lagi mampu berproduksi optimal, produktivitas padi merosot, dan pasokan air menjadi semakin terbatas sehingga hasil panen terancam. Fakta yang mengkhawatirkan adalah bahwa setiap hari sekitar 165–220 hektar lahan sawah hilang atau beralih fungsi.
Dalam lima tahun terakhir saja, penyusutan luas sawah telah mencapai puluhan ribu hektar, terutama di provinsi dengan basis pertanian utama seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat. Jika tren ini terus berlanjut tanpa intervensi nyata, maka krisis lahan akan menjadi batu sandungan besar dalam mewujudkan kedaulatan pangan nasional.
Ancaman Degradasi Lahan dan Perubahan Iklim
Dampak dari degradasi lahan sangat serius dan langsung terasa pada produktivitas pertanian. Berkurangnya area sawah dan menurunnya kesuburan tanah menyebabkan hasil panen merosot tajam. Produktivitas gabah di lahan optimal semestinya bisa mencapai lebih dari 9 ton per hektar, namun kenyataannya rata-rata petani hanya memperoleh sekitar 5,3 ton per hektar.
Perbedaan mencolok ini mencerminkan potensi besar yang terbuang akibat kondisi lahan yang tidak mendukung. Ketika tanah menua dan kehilangan daya dukungnya, bahkan varietas unggul padi pun tidak mampu memberikan hasil maksimal.
Kesadaran akan krusialnya peran tanah dan air kini mulai tercermin dalam kebijakan nasional. Presiden telah menandatangani Peraturan Presiden No. 192 Tahun 2024 yang menegaskan kembali bahwa lahan dan irigasi adalah tulang punggung swasembada pangan.
Ancaman kekeringan semakin genting akibat perubahan iklim global. Fenomena El Niño diperkirakan akan kembali terulang, membawa suhu tinggi dan kekeringan panjang di berbagai wilayah nusantara. Kita masih mengingat dampak El Niño tahun 2015 yang menyebabkan ratusan ribu hektar lahan pertanian kering kerontang.
Kini, Badan Meteorologi memperingatkan risiko gagal panen massal, terutama di lahan-lahan tadah hujan yang bergantung penuh pada curah hujan musiman. Jika tidak diantisipasi, El Niño berpotensi memicu krisis pangan skala luas. Kajian UGM pun menegaskan bahwa efek El Niño terhadap ketahanan pangan semakin nyata dan mengkhawatirkan.
Untuk menjawab tantangan ini, Indonesia perlu melakukan perubahan paradigma dalam mengelola pertanian. Selama ini, pendekatan pembangunan pertanian masih banyak yang bersifat eksploitatif.
Kini saatnya beralih pada pendekatan regeneratif, yaitu sistem pertanian yang membangun kembali kesuburan tanah dan menjaga keseimbangan ekologis secara berkelanjutan.
Pertanian regeneratif tidak hanya berfokus pada hasil, tetapi juga pada kesehatan tanah, kelestarian air, dan keanekaragaman hayati. Praktik seperti menambah bahan organik, mengurangi pengolahan tanah yang merusak struktur alami, serta memanfaatkan teknologi konservasi air dapat mengubah lahan rusak menjadi produktif kembali.
Pendekatan ini memungkinkan peningkatan hasil secara alami dan berkelanjutan, tanpa harus terus-menerus merusak sumber daya alam. Dalam konteks perubahan iklim yang semakin ekstrem, strategi regeneratif bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan masa depan pertanian Indonesia.
Strategi Pertanian Regeneratif
Beberapa strategi pertanian regeneratif terbukti efektif dalam memperbaiki kualitas tanah dan menjaga kelestarian lingkungan. Praktik seperti agroforestri, penanaman pohon dalam pola tumpangsari dengan tanaman pangan, menunjukkan manfaat ganda, menjaga kelembapan tanah, meningkatkan cadangan karbon, memperkaya unsur hara, dan memulihkan biodiversitas.
Misalnya, agroforestri pada perkebunan karet terbukti memperbaiki struktur tanah dan memperlambat erosi. Pola ini juga mempercepat pemulihan lahan kritis dan hutan rusak, karena mampu membangun kembali lapisan tanah yang subur.
Selain itu, teknik seperti terasering di lereng, penanaman tanaman penutup tanah (cover crop), serta penggunaan pupuk organik, merupakan langkah konkret yang dapat memperbaiki kesuburan lahan tanpa merusak ekosistem.
Bila diterapkan secara masif, praktik-praktik ini berpotensi mengubah lahan-lahan marginal menjadi kawasan pertanian produktif.
Untuk mendukung keberhasilan strategi regeneratif, lima langkah konkret harus segera dijalankan secara terpadu: Pertama, perbaikan kesehatan tanah melalui peningkatan bahan organik, inokulasi mikroba, dan pengurangan penggunaan bahan kimia sintetis.
Kedua, konservasi air dengan membangun sumur resapan, penampungan air hujan, dan sistem irigasi efisien.
Ketiga, rehabilitasi lahan kritis melalui reboisasi, intensifikasi silvikultur, dan partisipasi publik, seperti gerakan tanam pohon dan penyediaan kebun bibit rakyat.
Keempat, perlindungan terhadap lahan sawah melalui penerapan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) agar konversi lahan dapat dikendalikan secara ketat.
Kelima, edukasi publik, termasuk generasi muda dan konsumen, agar lebih memahami pentingnya praktik pertanian berkelanjutan. Survei menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat masih awam tentang pertanian regeneratif, padahal ia menyimpan potensi besar untuk masa depan ketahanan pangan.
Regenerasi berarti memulihkan lahan, bukan menggantinya. Ia menegaskan bahwa keberlanjutan harus menjadi inti dari setiap kebijakan pertanian, meningkatkan produktivitas, memperkuat cadangan air, dan melindungi keanekaragaman hayati secara simultan.
Untuk itu, kolaborasi lintas sektor sangat diperlukan. Pemerintah pusat telah menunjukkan komitmen dengan menerbitkan Perpres No. 192/2024 dan Instruksi Presiden untuk menyinkronkan pembangunan irigasi lintas lembaga.
Kini, giliran semua pemangku kepentingan, dari pemerintah daerah, akademisi, pelaku usaha, hingga masyarakat, untuk ikut ambil bagian. Dunia usaha, misalnya, bisa turut mendukung lewat skema CSR hijau, seperti alokasi 10% dana CSR untuk rehabilitasi lahan dan pembangunan kebun bibit.
Sementara itu, sektor pendidikan dan penelitian dapat mendorong inovasi, dari pengembangan varietas tahan kekeringan hingga teknologi presisi pertanian yang hemat air. Sinergi semacam inilah yang mampu menjawab tantangan besar sekaligus memastikan hasil konkret di lapangan.
Sejatinya, peringatan Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia bukan sekadar simbolis, melainkan panggilan aksi. Kita diingatkan bahwa eksploitasi tak terkendali terhadap alam tidak lagi bisa dilanjutkan.
Sudah saatnya mengganti paradigma lama yang eksploitatif dengan paradigma regeneratif, di mana alam diperlakukan sebagai mitra, bukan sekadar objek eksploitasi. Setiap langkah kecil seperti menanam pohon, membangun sumur resapan, atau menerapkan pupuk organik adalah kontribusi nyata bagi keberlanjutan.
Ketahanan pangan Indonesia tidak hanya ditentukan oleh luas lahan, tetapi oleh kualitas tanah dan air yang kita jaga hari ini. Dengan semangat gotong royong, ilmu pengetahuan, dan kebijakan yang berpihak pada masa depan, kita bisa menjadikan regenerasi sebagai fondasi pertanian yang tangguh dan berkelanjutan.
***
*) Oleh : Kuntoro Boga Andri, Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kementerian Pertanian.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |