TIMES JAKARTA, JAKARTA – 'Saham Tergoreng' sedang marak. PT. Bursa Efek Indonesia (BEI) kemungkinan juga sadar, bahwa maraknya saham tergoreng itu adalah efek samping dari ‘obat’ yang diberikan untuk menyembuhkan herding behaviour. Nah, sekarang apa yang dilakukan oleh BEI?
Pada suatu hari, saya melihat sesuatu yang aneh: Saham Berkapitalisasi Terbesar di Bursa Efek Indonesia, IHSG bergerak lompat-lompat. Setiap 1 jam, IHSG melompat naik atau turun. Dengan selisih yang lumayan besar. Aneh ini, IHSG kok geraknya lompat-lompat.
Kalau IHSG bergerak lompat-lompat, mestinya ada saham big caps yang juga geraknya lompat-lompat. Ternyata benar. Pada hari itu, ternyata BREN, yang merupakan saham dengan market cap terbesar pada IHSG, sedang menjalani hukuman dengan perdagangan hanya melalui full call auction (FCA) dari Bursa Efek Indonesia.
Full Call Auction, Apakah itu?
Full call auction adalah salah satu cara perdagangan baru yang diterapkan oleh BEI. Dalam FCA ini, setiap pelaku pasar yang ingin melakukan transaksi, memasukkan order ke server BEI. Server BEI ini suatu perdagangan yang dilakukan setiap 1 jam sekali.
Proses perdagangannya sebenarnya mirip dengan apa yang dilakukan pada Pre-Opening atau Pre-closing Market, tapi hanya dilakukan pada saham-saham yang ada pada Papan Pemantauan Khusus, dan dilakukan 1 jam sekali.
Menurut Gemini (AI yang dimiliki Google), BEI memiliki beberapa kriteria yang menjadi dasar bagi suatu saham untuk dimasukkan ke dalam Papan Pemantauan Khusus. Berikut ini adalah kriteria-kriterianya.
Pertama, Kriteria Saham Masuk Papan Pemantauan Khusus.
Kedua, Harga Rata-Rata Saham Rendah: Harga rata-rata saham selama 3 bulan terakhir di Pasar Reguler dan/atau Pasar Reguler Periodic Call Auction kurang dari Rp51.
Ketiga, Likuiditas Rendah: Rata-rata nilai transaksi harian kurang dari Rp5.000.000 dan volume kurang dari 10.000 lembar saham selama 3 bulan terakhir.
Keempat, Tidak Ada Kegiatan Operasional: Perusahaan tidak memiliki kegiatan operasional dalam jangka waktu tertentu.
Kelima, Opini Disclaimer: Laporan keuangan auditan terakhir mendapatkan opini tidak menyatakan pendapat (disclaimer).
Keenam, Belum Menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS): Perusahaan belum menyelenggarakan RUPS dalam jangka waktu tertentu.
Ketujuh, Suspensi Terlalu Lama: Saham mengalami suspensi perdagangan oleh BEI dalam jangka waktu tertentu.
Kedelapan, Perusahaan Dalam Proses Pailit: Perusahaan berada dalam proses pailit atau likuidasi.
Kesembilan, Ekuitas Negatif: Perusahaan memiliki ekuitas negatif.
Kesepuluh, Jumlah Saham Free Float Kurang dari Ketentuan: Jumlah saham free float perusahaan kurang dari ketentuan yang berlaku.
Kondisi lain yang ditetapkan oleh Bursa setelah memperoleh persetujuan atau perintah Otoritas Jasa Keuangan.
Jadi, jelas saja harga saham BREN kemudian melompat-lompat.
Perdagangan hanya berlangsung 1 jam sekali dengan selisih harga yang sangat besar. Itu yang kemudian membuat IHSG juga melompat-lompat.
BREN: Saham Tergoreng
BREN selaku emiten, tentu saja tidak akan mengakui bahwa mereka Menggoreng harga saham BREN. Prajogo Pangestu selaku pemegang saham terbesar dari BREN, tentu saja juga tidak akan mengakui bahwa dia menggoreng saham BREN.
Meski menggoreng saham adalah perilaku yang tidak ada dalam peraturan perdagangan di Bursa Efek Indonesia, tapi tetap saja: mengaku sebagai penggoreng saham, jelas tidak ada yang mau.
Ketika saham BREN mulai di-suspend pada tanggal 23 Mei 2024, harga saham BREN berada pada level Rp11.250. Pada level harga tersebut, BREN memiliki kapitalisasi pasar sebesar sekitar Rp1.500 triliun. Pada saat yang bersamaan, saham BBCA memiliki market kapitalisasi sekitar Rp1.160 triliun.
Jadi, BREN yang di awal April masih berada di sekitar level 5.000-an, harga sahamnya sudah tergoreng lebih dari 100 persen dalam waktu kurang dari 2 bulan, dan menjadi saham big caps terbesar di Bursa Efek Indonesia, dengan kapitalisasi pasar yang lebih tinggi sekitar 30 persen dari saham BBCA.
Pertama, Saham yang pada tahun 2023 hanya tercatat memiliki EPS sebesar USD0,00082 atau setara dengan Rp12,6 (USDIDR akhir tahun 2023 sekitar 15.400).
Kedua, Dalam 2 bulan tergoreng dari level 5.000an menjadi Rp11.250 dalam kurang dari 2 bulan.
Ketiga, Tergoreng hingga level 11.250 atau setara dengan PER 892,6 kali.
Keempat, Menjadi saham dengan market cap no.1 di Indonesia yakni Rp1.500 triliun.
Kelima, Market cap Rp1.500 triliun ini, berarti market cap dari BREN hampir 30% lebih besar daripada BBCA.
Kenaikan tajam dari saham BREN ini, memang menjadi alasan mengapa BEI pada awalnya melakukan suspensi pada saham BREN.
Nah, ketika BREN kemudian pascasuspen masuk sebagai saham dalam Papan Pemantauan Khusus dan kemudian diperdagangkan secara Full Call Auction. BEI sebenarnya juga menanggung malu juga. Gimana tidak malu:
Pertama, Indonesia itu adalah negara G-20. Ekonomi kita itu no17 di dunia. Kita itu raksasa ekonomi dunia.
Kedua, Bursa Efek Indonesia itu bukan bursa kaleng-kaleng karena termasuk 30 besar Bursa Efek di dunia jika dilihat dari market kapitalisasi.
Akan tetapi, langkah dari BEI tersebut, sebenarnya menunjukkan bahwa perang terhadap saham tergoreng, sebenarnya memasuki babak baru. BEI yang mungkin juga sadar bahwa kebijakannya selama ini, terutama setelah melakukan penutupan kode broker, lebih menguntungkan bagi para investor (baca: penggoreng saham), rupanya sudah mulai mengalihkan keberpihakannya kepada investor (baca: rakyat Indonesia) yang merupakan pemilik sebenarnya dari Republik ini.
Beberapa alasan yang sepertinya mendukung kebijakan BEI tersebut adalah:
Sejak awal tahun 2020, Presiden Jokowi sudah berkali-kali meminta untuk memberantas praktik goreng menggoreng saham. Permintaan ini terus diulang hingga tahun awal tahun 2023.
Pada tahun 2023, mulai berlaku UU P2SK. Di dalam UU P2SK fokus dari OJK dan BEI adalah melindungi konsumen. Ini adalah sebuah perubahan yang besar.
Karena sebelumnya, dalam UUPM tahun 1995, tugas dari OJK dan BEI adalah melindugi investor (baca: Benny Tjokro itu investor juga toh? Benny Tjokro tidak dihukum dengan UUPM toh?).
BEI sudah bergeser dari melindungi investor (sesuai amanat UU PM), menjadi melindungi konsumen (sesuai amanat UU P2SK).
Hari-hari ini, kalau anda lihat, BEI sebenarnya sedang mengibarkan bendera perang melawan saham-saham yang tergoreng. Saya tidak tahu anda melihatnya bagaimana, tapi saya melihatnya seperti itu. Gagah berani Bo. Gile, ini bisnis senilai Rp1.500 trilun. Gajah sebesar Rp1.500 triliun dilawan.
Tidak hanya terhadap BREN sebenarnya, ada nama-nama besar seperti Keluarga Megawati (saham RATU dan RAJA), atau Hashim Djoyojadikusumo (WIFI), adalah beberapa pihak yang pada hari-hari ini sedang bermasalah dengan peraturan perdagangan dari Bursa Efek Indonesia.
Kalau ternyata kemudian BEI kalah, yah, berarti lebih siap mereka. Karyawan BEI kan tetap saja orang-orang kecil, dengan gaji yang. Bandingkan dengan nama-nama besar seperti Prajogo Pangestu, Keluarga Megawati, atau Hashim Djojohadikusumo, karyawan BEI itu jelas tidak ada apa-apanya.
Tapi setidaknya, mereka sudah berjuang menuju perdagangan yang lebih adil. Perdagangan saham yang lebih melindungi konsumen Bursa Efek Indonesia, yaitu seluruh rakyat Indonesia.
***
*) Oleh : Satrio Utomo, Komunitas Trader Saham Rencana Trading.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |