https://jakarta.times.co.id/
Opini

Ilusi Implementasi Anggaran Pendidikan

Senin, 15 September 2025 - 17:51
Ilusi Implementasi Anggaran Pendidikan Rifqi Fadhillah, Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Sebuah janji konstitusi telah tertera jelas dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: negara wajib mengalokasikan minimal 20% dari APBN untuk pendidikan. Namun, lebih dari dua dekade setelah undang-undang ini diundangkan, realitanya justru memperlihatkan sebuah ironi yang dalam. 

Alokasi anggaran pendidikan yang seharusnya menjadi solusi bagi berbagai masalah struktural dalam sektor pendidikan, justru dikelola dengan cara yang tidak transparan dan tidak tepat sasaran. 

Bahkan, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 86/PMK.02/2009, anggaran pendidikan dapat digunakan oleh berbagai kementerian dengan dalih fungsi pendidikan, sehingga mengaburkan makna dan tujuan utama dari alokasi ini.

Aturan dalam PMK No. 86/2009 menjadi pintu masuk bagi berbagai kementerian dan lembaga untuk menggunakan anggaran pendidikan untuk kegiatan yang tidak langsung berkaitan dengan sektor pendidikan. 

Misalnya, pada APBN 2025, anggaran pendidikan mencapai Rp724,3 triliun, angka yang terlihat fantastis dan memenuhi amanat 20% APBN. Namun, realitanya, hanya Rp91,4 triliun yang dialokasikan untuk pendidikan formal yang menaungi 62,07 juta siswa, sementara Rp104,5 triliun justru dialirkan ke pendidikan kedinasan yang hanya melayani 13.000 siswa.

Artinya, setiap siswa pendidikan kedinasan mendapat anggaran rata-rata Rp8,04 miliar per tahun, sedangkan siswa pendidikan formal hanya mendapat Rp1,47 juta per tahun. Ini adalah bentuk ketidakadilan fiskal yang nyata.

PMK No. 86/2009 tentang Alokasi Anggaran Belanja Fungsi Pendidikan pada implementasinya dapat menjadi pintu masuk penyimpangan. Aturan ini memungkinkan kementerian dan lembaga negara lain menggunakan anggaran pendidikan untuk kegiatan yang diklaim "berfungsi pendidikan", termasuk pendidikan kedinasan. 

Akibatnya, anggaran yang seharusnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan formal justru mengalir ke program yang tidak langsung berkaitan dengan perbaikan mutu pendidikan. Padahal, UU Sisdiknas mengamanatkan bahwa anggaran pendidikan harus digunakan untuk menunjang tujuan pendidikan nasional, seperti pemerataan akses, peningkatan kualitas guru, dan perbaikan infrastruktur.

Masalah Infrastruktur dan Kesenjangan Pendidikan

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia hanya 9,22 tahun, setara dengan kelas 9 SMP. Bahkan, di Papua Pegunungan, angka ini hanya 5,1 tahun, yang artinya tidak sampai lulus SD. 

Kondisi ini diperparah dengan infrastruktur pendidikan yang sangat memprihatinkan. Banyak sekolah di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang kekurangan ruang kelas, perpustakaan, dan fasilitas dasar lainnya. Bahkan, listrik dan internet masih menjadi barang mewah di banyak daerah.

Anggaran pendidikan yang seharusnya diprioritaskan untuk membenahi infrastruktur ini justru terkikis oleh program-program lain yang tidak urgent. Pada tahun 2025, anggaran DAK fisik untuk pendidikan dipangkas drastis dari Rp 15,3 triliun menjadi hanya Rp 2,2 triliun. 

Penurunan ini jelas berdampak pada kemampuan pemerintah untuk membangun dan merevitalisasi sekolah-sekolah yang rusak, terutama di daerah 3T.

Kesejahteraan Guru dan Kualitas Pengajaran

Masalah lain yang tidak kalah pelik adalah kesejahteraan guru. Meski anggaran pendidikan secara nominal meningkat, nasib guru honorer dan tenaga pendidik tidak kunjung membaik. Bahkan, dalam RAPBN 2025, alokasi untuk Tunjangan Profesi Guru (TPG) non-PNS justru dikurangi dari 577.700 guru menjadi 477.700 guru. 

Di daerah seperti Papua, tingkat ketidakhadiran guru mencapai 37-43% karena rendahnya kesejahteraan dan fasilitas yang tidak memadai . Hal ini jelas mengganggu proses belajar-mengajar dan memperlebar kesenjangan kualitas pendidikan antara kota dan desa.

Kurikulum pendidikan nasional juga belum sepenuhnya mampu menjawab kebutuhan lokal dan tantangan global. Di Papua, misalnya, kurikulum nasional tidak diimplementasikan dengan baik karena keterbatasan sumber daya manusia dan infrastruktur. 

Program seperti Sekolah Rakyat yang digagas Kementerian Sosial juga menuai kritik karena dinilai gegabah dan tidak melalui kajian mendalam. Program ini justru berpotensi menciptakan segregasi sosial dengan memisahkan anak-anak dari keluarga miskin ke dalam asrama tanpa menjamin kualitas pendidikan yang setara.

Pemerintah harus mengkaji ulang dan mempertegas PMK No. 86/2009 yang menjadi celah peluang penyimpangan anggaran pendidikan. Anggaran pendidikan harus difokuskan pada program-program yang langsung menyentuh masalah mendasar, seperti:

Pertama, Pembenahan infrastruktur pendidikan di daerah 3T. Kedua, Peningkatan kesejahteraan guru dan tenaga pendidik. Ketiga, Pengembangan kurikulum yang adaptif dan relevan dengan kebutuhan lokal.

Selain itu, pemerintah perlu memastikan bahwa anggaran pendidikan tidak digunakan untuk program-program di luar pendidikan, seperti MBG, yang seharusnya menjadi tanggung jawab kementerian lain.

Anggaran pendidikan 20% APBN bukan sekadar tentang memenuhi amanat konstitusi, tetapi tentang memastikan bahwa setiap anak Indonesia mendapat pendidikan yang berkualitas dan merata. 

Tanpa transparansi dan fokus yang tepat, anggaran sebesar apa pun akan sia-sia. Sudah waktunya pemerintah menghentikan ilusi dan mulai bekerja dengan cara yang benar-benar memajukan pendidikan Indonesia.

***

*) Oleh : Rifqi Fadhillah, Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.