TIMES JAKARTA, JAKARTA – Tanggal 1 Juni tidak pernah sekadar seremoni. Ia adalah hari lahir ideologi paling penting bangsa ini: Pancasila. Sebuah dasar negara yang menjamin keadilan sosial, kemanusiaan, dan persatuan-termasuk bagi mereka yang selama ini terpinggirkan di desa-desa pelosok, khususnya perempuan.
Di sinilah pentingnya kita membicarakan Raden Mas 2045, program akselerasi desa berkemajuan yang diluncurkan oleh Kementerian Desa bersama Ustadz Adi Hidayat (UAH).
Namun pertanyaannya: apakah visi “desa maju” dalam Raden Mas juga mencakup pembebasan perempuan dari ketimpangan struktural yang selama ini mengakar?
Program Raden Mas 2045 berambisi membangun desa sebagai pilar utama menuju Indonesia Emas, sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar, menyatakan bahwa "pembangunan desa tidak boleh lepas dari nilai kemanusiaan dan keadilan sosial yang menjadi landasan Pancasila."
Jika kita mencermati Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama poin ke-5 tentang kesetaraan gender, maka pembangunan tidak bisa semata diukur dari infrastruktur atau pertumbuhan ekonomi.
Harus dilihat pula dari seberapa jauh perempuan desa mendapatkan akses setara dalam pendidikan, kesehatan, kepemimpinan, dan perlindungan dari kekerasan.
Sayangnya, berbagai studi menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam Musyawarah Desa masih minim. Banyak perempuan di desa belum terwakili secara layak dalam struktur kelembagaan lokal.
Kerja-kerja domestik perempuan belum diakui sebagai bagian dari sistem pembangunan. Bahkan dalam alokasi dana desa, program berbasis kebutuhan perempuan dan anak masih sering dianggap sebagai beban tambahan, bukan prioritas.
Di sinilah Raden Mas perlu berbenah. Jika benar ingin menjadi wajah baru desa Indonesia, maka gender mainstreaming tidak boleh hanya menjadi pelengkap administrasi. Pelatihan aparatur desa yang menjadi bagian dari program ini harus mencakup kesadaran gender.
Dana desa harus dialokasikan untuk rumah aman, pelatihan ekonomi perempuan, dan layanan kesehatan reproduksi. Sebab keadilan sosial tidak tumbuh dari beton, melainkan dari relasi kuasa yang dirombak.
Momentum Hari Lahir Pancasila ini penting sebagai pengingat: bahwa keadilan sosial adalah hak setiap warga negara, termasuk perempuan desa. Bahwa sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab-hanya hidup bila perempuan terbebas dari kekerasan, kemiskinan, dan subordinasi. Dan bahwa Indonesia Emas tidak akan tiba jika setengah populasi bangsa ini dibiarkan tertinggal di kampung-kampung.
Saya ingin menggarisbawahi pernyataan Ustadz Adi Hidayat saat peluncuran program Raden Mas: “Desa adalah titik tumpu masa depan. Jika ingin Indonesia Emas, maka emas itu harus disemai dari desa.”
Maka mari kita pastikan emas itu bukan hanya untuk laki-laki. Perempuan desa juga harus turut menjadi penentu arah bangsa-bukan hanya penerima manfaat. (*)
***
*) Oleh : Raden Siska Marini, Aktivis Pengarustamaan Gender dan Pembangunan Pedesaan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |