TIMES JAKARTA, JAKARTA – Keilmuan yang mengemuka di kalangan kaum modernis membuat anak-anak muda NU di sebagian wilayah merasa diasingkan oleh keadaan. Gema ilmu itu tak mereka dapatkan saat menimba pengalaman di pondok pesantren yang biasa berdialektika dengan kultur keagamaan tradisional pesantren.
Tidaklah buruk, namun realita sosial menempatkan mereka pada keadaan diskriminatif secara keilmuan modern.
Bagi mayoritas santri, pengetahuan Barat adalah pengetahuan sekunder bahkan tersier yang tak harus dipahami konkret. Mereka biasa menyatu dengan buku-buku Islam klasik yang ditawarkan oleh pemuka agama pada umumnya. Tulisan arab, kertas berwarna kuning, juga tanpa diakritik.
Sementara mereka mungkin tidak memahami narasi teori sosial yang berkembang di masyarakat modern. Bahkan mungkin saja kawan-kawan tidak disuguhkan tentang teologi pembebasan yang digagas intelektual muslim kenamaan Asghar Ali Engineer, juga Abdullah Ahmed An-Naim yang dikenal karena konstitusionalisme dalam negara Islam dan sederet nama lain yang mengusung pembaharuan.
Nama beken yang menjadi rujukan dan biasa dikenal di kalangan pesantren tradisional meliputi Burhanuddin al Zarnuji pengarang Kitab Ta'lim-al Mutaallim, Ibnu Qasim al Ghazi dengan karyanya Fathul Warib, dan Ibnu Ajjurum dengan Jurumiyahnya.
Juga seabrek nama tenar yang menghiasi rak buku para santri. Mungkin sedikit teolog Islam, Algazel yang disepelekan lantaran anggapan kontroversialnya dalam dunia filsafat bagi tokoh muslim lain.
Secara genetik, para santri tradisional ini merupakan anak-anak desa yang bertumbuh di dunia pesantren. Hanya mengenyam pendidikan tradisional dan bisa dikata tak layak untuk naik kelas secara keilmuan modern. Satu-satunya cara mereka berkecimpung bersama intelektual modernis adalah dengan memasuki dunia kampus.
Tentu bukan perkara mudah. Penerapan kebiasaan tak sepenuhnya serupa dengan pesantren. Di kampus, mereka dihadapkan dengan wajah-wajah garang kalangan intelektual modernis yang sedang giat-giatnya mempelajari Islam dan relevansinya terhadap perkembangan era.
Dibayangkan saja berapa level lagi mereka dapat menyamai dan mengadu gagasan tentang isme-isme dan kata-kata ilmiah yang tabu untuk kalangan pesantren tradisional. Tak mudah, namun setidaknya mereka dibekali gramatikal bahasa dan logika di pesantren.
Tak sedikit juga akan ada anggapan miring secara konotatif terhadap pemuda NU. Secara analisis wacana mereka akan menyadari bahwa semua intelektual muda NU itu usang dan terbelakang. Bilapun ada yg cerdas, itu kejutan.
Padahal, jika diteliti secara mendalam, intelektual muda NU itu cerdas dengan diskursus ilmu yang berbeda. Mereka hanya butuh penyesuaian jika dibenturkan dengan hal baru.
Sementara itu, desakan modernitas menempatkan mereka pada keniscayaan untuk mendapat rekognisi sebagai intelektual yang ‘setara’ dengan kalangan modernis, mereka mau tidak mau harus masuk di fase baru juga berbeda.
Mereka dituntut mampu menyerap semua narasi pemikiran Barat kontemporer semacam dekonstruksi ala Jacques Derrida, arkeologi pengetahuan Michel Foucault, kritik gagasan ala Mazhab Frankfurt.
Itu tabu untuk dunia pesantren klasik dan tidak bersanad. Jika pun dipaksa, mereka hanya akan bersanad pada K.H Abdurrahman Wahid dengan gagasan Islam emansipatorisnya.
Menjembatani Jurang Keilmuan
Ketika para santri memasuki dunia kampus, mereka membawa suplai keilmuan yang unik. Pada mulanya mungkin merasa tercecer dengan istilah-istilah seperti dekonstruksi, arkeologi pengetahuan, atau Mazhab Frankfurt.
Namun, justru itu potensinya. Inferioritas tak lagi dibutuhkan. Mereka bisa menggunakan fondasi keilmuan pesantren untuk berdialektika dengan pemikiran modern.
Gramatikal bahasa bisa diaplikasikan untuk mendekonstruksi narasi, logika Mantiq bisa dipakai untuk menganalisis kritik sosial, dan etika sanad bisa menjadi filter untuk membedakan antara gagasan yang solid dan yang sekadar tren sesaat.
Peran Gus Dur menjadi sangat penting. Gagasan Islam Emansipatorisnya bukan sekadar pembaharuan, melainkan jembatan yang menghubungkan tradisi Islam klasik dengan tuntutan keadilan sosial dan kemanusiaan modern.
Maka, ketika mereka akhirnya mampu menguasai narasi modern, mereka tidak hanya menjadi peniru atau pengikut, tapi juga memiliki potensi besar untuk menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas.
Mereka bisa membaca dekonstruksi Derrida tidak sebagai ancaman, melainkan sebagai alat untuk menafsirkan kembali teks-teks Islam klasik dengan cara yang lebih segar dan relevan.
Mereka dapat menggunakan kritik gagasan Mazhab Frankfurt untuk mengkritisi dogma-dogma yang sudah tidak relevan tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip Islam yang fundamental. (*)
***
*) Oleh : Fikri Mahbub, Pemerhati Sosial Politik dan Kebudayaan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |