TIMES JAKARTA, JAKARTA – Di tengah hiruk-pikuk perkembangan pendidikan di Indonesia, satu isu yang terus mengemuka adalah kesejahteraan dosen. Belakangan ini, tuntutan untuk pembayaran Tunjangan Kinerja (Tukin) dosen yang telah diutang oleh pemerintah selama 10 tahun menjadi sorotan utama. Belum lagi pernyataan blunder dari menteri dan pejabat di bawahnya semakin memperburuk keadaan. Bahkan saat ini tengah digodok aksi mogok nasional seluruh Dosen ASN.
Terlihat jelas bahwa pemerintah mampu dengan cepat menaikkan penghasilan ASN di sektor-sektor tertentu. Namun, bagi dosen - yang seharusnya menjadi pilar pendidikan tinggi dan pembentuk sumber daya manusia (SDM) unggul - segalanya tampak berbeda.
Padahal, dosen ASN tidak meminta kenaikan gaji sama sekali, tetapi sekedar menuntut hak atas tunjangan kinerja yang telah terabaikan dan dikemplang oleh pemerintah selama 10 tahun. Sangat sederhana, tapi dibikin rumit oleh pemerintah mulai era Jokowi hingga Prabowo. Mulai era Mohammad Nuh, Mohammad Nasir, Nadiem Makarim, hingga Satryo Soemantri Brodjonegoro. Orang-orang hebat ini melempem jika bicara tunjangan kinerja dosen ASN.
Bicara konteks dunia pendidikan, gaji dosen di Indonesia jelas jauh dari kata memadai. Sebuah laporan menyebutkan bahwa gaji bersih dosen di Indonesia hanya berkisar antara 4 hingga 5 juta rupiah. Bahkan masih ada yang hanya ratusan ribu per bulan.
Jauh lebih rendah dibandingkan dengan gaji yang diterima oleh dosen di negara lain. Di Timor Leste, gaji dosen bisa mencapai sekitar 850 dolar AS per bulan, setara dengan 13 juta rupiah, lengkap dengan berbagai fasilitas tambahan yang menunjukkan apresiasi kepada dosen. Tak perlu dituliskan gaji dosen di Malaysia, Singapura, dan negara ASEAN lainnya. Tampak akan sama faktanya.
Perbandingan ini sangat mencolok dan menimbulkan pertanyaan yang mendalam: Di mana letak penghargaan kita terhadap kaum intelektual di tanah air?
Mengapa dosen masih berjuang untuk mendapatkan hak yang seharusnya mereka terima? Kesejahteraan dosen bukanlah sekadar masalah individu, ini adalah tentang investasi strategis untuk pembangunan bangsa, terutama saat Indonesia memiliki visi besar, Indonesia Emas 2045.
Salah satu alasan yang sering disampaikan pemerintah mengapa perbaikan kesejahteraan dosen berjalan lambat adalah keterbatasan anggaran. Pemerintah sering kali mengklaim bahwa anggaran APBN harus diprioritaskan untuk sektor-sektor lain seperti infrastruktur.
Perbaikan kesejahteraan dosen seharusnya dipandang sebagai investasi, bukan sekadar pengeluaran anggaran. Negara-negara seperti Finlandia dan Korea Selatan telah berhasil meningkatkan kualitas pendidikan tinggi dengan memastikan kesejahteraan tenaga pendidik.
Dukungan semacam ini tidak hanya akan menarik generasi muda untuk bergabung menjadi dosen, tetapi juga akan meningkatkan produktivitas, inovasi penelitian, dan reputasi pendidikan tinggi nasional kita.
Sebagai solusi nyata bagi situasi yang ada, pemerintah dapat melakukan beberapa langkah strategis. Pertama, peningkatan anggaran untuk pendidikan tinggi adalah langkah yang wajib dilakukan. Perbaikan signifikan terhadap gaji dan pembayaran hak tunjangan kinerja dosen ASN yang sudah tertunda selama 10 tahun sudah tidak bisa ditawar lagi.
Kemudian, reformasi tunjangan kinerja yang berbasis pencapaian nyata - seperti hasil penelitian, kontribusi pengajaran, dan pengabdian masyarakat - harus segera dijalankan.
Selain itu, pemberian insentif non-material, seperti beasiswa lanjutan, pelatihan internasional, dan penghargaan akademik, juga perlu diterapkan. Kerja sama yang lebih luas dengan sektor swasta untuk mendanai penelitian dan pengembangan juga menjadi penting. Selama ini, banyak kolaborasi dengan sektor swasta dilakukan secara mandiri oleh perguruan tinggi, tanpa dukungan signifikan dari pemerintah.
Pada akhirnya, perbaikan kesejahteraan dosen adalah kebutuhan mendesak yang berdampak langsung pada pembangunan SDM nasional. Jika dosen ASN tidak mendapatkan hak-hak yang layak melalui pelunasan tunjangan kinerja yang diabaikan selama 10 tahun, mereka mau tidak mau dan bisa saja mencari penghasilan tambahan yang pastinya akan memengaruhi kualitas tridharma - pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat - yang mereka laksanakan.
Jika ini yang terjadi, maka pemerintahlah yang akan merugi karena SDM unggul tidak akan tercipta, dan cita-cita Indonesia Emas 2045 akan tetap menjadi mimpi semu.
Menteri Keuangan harusnya melihat utang negara kepada dosen ASN ini dengan cara pandang yang sangat sederhana. Anggaplah para dosen ASN telah berinvestasi melalui Obligasi Republik Indonesia (ORI) atau Sukuk Ritel sejak tahun 2014, dan kini waktunya jatuh tempo. Dosen selaku investor hanya ingin dikembalikan pokoknya saja, tanpa bunga, kupon, bagi hasil, apapun istilahnya. Sesederhana itu. Anggaran dari mana? Bukankah itu tugas menteri keuangan dan presiden untuk memikirkannya. (*)
* Oleh: Adiguna Sasama Wahyu Utama, sekretaris ADAKSI (Asosiasi Dosen ASN Kemendikti Saintek Seluruh Indonesia) Jawa Timur
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : xxx |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |