https://jakarta.times.co.id/
Opini

Mahasiswa Masuk Desa

Minggu, 14 September 2025 - 12:55
Mahasiswa Masuk Desa Dr. Hadis Turmudi, M.H., Dosen Pengajar di STMIK AMIKOM Surakarta dan Penulis Buku Tentang Masalah Pedesaan.

TIMES JAKARTA, SURAKARTA – Setiap tahun, ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia menjalankan program Kuliah Kerja Nyata (KKN), hal tersebut merupakan implementasi salah satu bentuk pengabdian kepada masyarakat. 

Mereka masuk desa yang terletak di pesisir, pinggiran serta pedalaman tidak hanya secara fisik, tetapi juga membawa serta semangat akademik, inovasi, dan harapan baru. Namun, yang perlu dipertanyakan apakah kehadiran mahasiswa di desa hanya menjadi seremonial rutin atau benar-benar berdampak jangka panjang?

Sampai dengan Desember 2024, tercatat di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) jumlah mahasiswa mencapai 9.967.487 orang yang tersebar di  4.416 Perguruan Tinggi Indonesia. Jumlah tersebut tidaklah sedikit dan memiliki potensi yang luar bias ajika mampu dimaksimalkan. 

Bagi desa di Nusantara, mahasiswa memiliki arti penting selain karena secara akademik mereka kompeten dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, mahasiswa juga menjadi agen perubahan yang mampu menjadi lentera bagi warga desa. 

Fenomena “mahasiswa masuk desa” sejatinya lebih dari sekadar program akademik semata namun momentum pertemuan dua dunia dunia akademik yang sarat teori dan teknologi, dengan dunia masyarakat yang kaya praktik, nilai lokal, dan kearifan tradisional. 

Sayangnya, sering kali momentum ini berjalan sepihak. Mahasiswa datang, melakukan program yang sudah mereka siapkan dari kampus, lalu pergi meninggalkan kesan singkat tanpa kelanjutan. Dampak mereka seakan hilang seiring kepergian dan program yang ada.

Langkah progresif Kemendiktisaintek saat ini dengan program “Kampus Berdampak” nya patut mendapat apresiasi tersendiri. Melalui program tersebut  diharapkan peran perguruan tinggi semakin kuat sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan solusi bagi permasalahan di daerah. Hal tersebut bertujuan akhir menjadikan pendidikan tinggi sebagai agen perubahan sosial dan ekonomi, solusi permasalahan nasional, dan pusat pertumbuhan ekonomi daerah.

Sudah saatnya mahasiswa, dosen pembimbing, dan institusi perguruan tinggi secara serius menjadikan kegiatan masuk desa sebagai bagian dari transformasi sosial. Desa bukan hanya objek penelitian dan pengabdian saja, tetapi harus ditempatkan sebagai mitra dalam berbagai kegiatan yang ada. Desa bukan tempat untuk diuji, tetapi merupakan ruang untuk kolaborasi dan sinergi.

Mahasiswa memiliki potensi luar biasa dalam menyumbangkan ide dan solusi. Teknologi sederhana seperti biopori, pupuk organik, sistem irigasi hemat air, hingga digitalisasi UMKM desa bisa menjadi titik masuk dalam berbagai kegiatan. Namun keberhasilan implementasinya harus disesuaikan dengan kebutuhan warga setempat dan keberlanjutan pasca keberadaan mahasiswa di desa.

Di sisi lain, desa-desa di Indonesia juga tidak bisa terus-menerus menunggu “orang kota” datang membawa perubahan. Mahasiswa bisa menjadi pemantik pembangunan desa, tetapi api perubahan harus dijaga oleh warga desa sendiri. 

Dengan kata lain maju tidaknya desa tergantung dari SDM lokal desa sendiri, oleh karena itu pendekatan partisipatif sangat penting dijalankan. Mahasiswa harus banyak mendengar daripada banyak bicara, lebih banyak berguru daripada menggurui. 

Pemerintah dan kampus juga perlu mengevaluasi kembali indikator keberhasilan program pengabdian. Bukan semata laporan tertulis atau jumlah foto kegiatan yang ada, melainkan perubahan riil di desa meski sekecil apapun. 

Bahkan, bila satu UMKM desa naik kelas karena digitalisasi, atau satu kelompok tani mulai mengadopsi pertanian berkelanjutan, itu sudah cukup berarti daripada banyak kegiatan tanpa hasil nyata. 

Optimalisasi dan Langkah

Program “mahasiswa masuk desa” dapat menjadi fondasi pembangunan desa berbasis ilmu dan teknologi. Selain itu peningkatan SDM lokal desa juga menjadi dampak ketika mahasiswa masuk desa dengan tersebarnya Iptek dari intelektual muda tersebut. 

Jika semua dikelola dengan baik dan benar bisa menjadi inkubator terhadap solusi lokal desa. Mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu yang ada bisa berkolaborasi secara multidisipliner untuk menciptakan perubahan nyata.

Guna mampu memaksimalkan mahasiswa masuk kampus perlu sebuah langkah strategis, hal tersebut dapat dilakukan melalui diantaranya: Pertama pendekatan berbasis kebutuhan lokal (need based approach) yang dilakukan dengan pemetaan masalah dan potensi desa secara partisipatif bersama warga.

Ini bisa dilakukan melalui survei, wawancara dengan tokoh masyarakat, FGD (focus group discussion), atau pendekatan partisipatif lainnya.

Kedua, kolaborasi dengan pemerintah desa dan komunitas lokal setempat dimana mahasiswa sebaiknya tidak bekerja sendiri, tapi bermitra aktif dengan perangkat desa, kader PKK, karang taruna, kelompok tani, dan UMKM lokal. Hal ini bertujuan guna mendapat dukungan sosial dan memperbesar peluang keberlanjutan program setelah berakhirnya program.

Ketiga, orientasi pada dampak nyata dengan mendorong mahasiswa untuk fokus pada proyek kecil tapi konkret, bukan program besar yang terlalu luas. Dapat dijalankan dengan mengintegrasikan multidisiplin ilmu serta pemanfaatan teknologi yang berkembang termasuk digital dengan membuat komunikasi jarak jauh untuk mempermudah komunikasi seperti grup WA, modul kegiatan dan sebagainya.

Kempat, adanya pendampingan dosen yang aktif dan terlibat. Dosen pembimbing lapangan (DPL) jangan hanya hadir untuk menilai, tapi juga memberi arah, memfasilitasi komunikasi dengan pihak desa, serta membantu refleksi program. Hal ini berguna memastikan program yang berjalan dengan kaidah akademik serta pengalaman mahasiswa dalam implementasi iptek di desa.

Dan yang terakhir menjaga keberlanjutan kegiatan mahasiswa, dapat dilakukan dengan peran aktif dari kampus guna memberi fasilitas seperti dilakukannya MoU (Kerjasama) dengan desa dalam berbagai kegiatan kedepannya seperti magang, riset, pendampingan berbagai kegitan kampus dan sebagainya. 

Kerjasama diperlukan dengan tujuan tetap terjaganya kemitraan yang ada dan telah berjalan. Oleh karenanya sangat disayangkan jika mahasiswa masuk desa tidak dilanjutkan dengan adanya kerjasama antara kampus dengan desa.

Yang kita butuhkan bukan hanya mahasiswa yang datang dan pergi dari desa, melainkan jejak-jejak yang tertinggal di daerah pedesaan. Jejak yang membekas di masyarakat, dan jejak yang mengubah cara mahasiswa memandang bangsanya. 

Karena sejatinya, ketika mahasiswa masuk desa, bukan hanya desa yang belajar. Mahasiswa pun seharusnya pulang dengan pemahaman baru tentang keanekaragaman desa di Indonesia yang sesungguhnya.

***

*) Oleh : Dr. Hadis Turmudi, M.H., Dosen Pengajar di STMIK AMIKOM Surakarta dan Penulis Buku Tentang Masalah Pedesaan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.