TIMES JAKARTA, JAKARTA – Dunia perdagangan terus bertransformasi. Pada masa lalu, perdagangan adalah murni tentang pertukaran barang yang melintasi perbatasan dan instrumen perlindungan melalui tarif.
Kemudian ada pengakuan yang lebih besar terhadap perdagangan jasa, yang sekarang melebihi pangsa barang. Namun, baru-baru ini, arus barang dan jasa kembali dikalahkan oleh arus data.
Menurut Data Analytics News 2024, produksi data global mencapai 147 Zettabit, dan diperkirakan akan meningkat lebih dari 150 persen pada tahun 2025, menjadi 181 Zettabit. Disebutkan, sekitar 70 persen dari semua data (Big Data) dihasilkan oleh pengguna internet. Lebih dari 97 persen bisnis telah berinvestasi dalam Big Data.
Firtune Business Insight mengungkapkan pasar Big Data telah mencapai angka 348,21 dolar AS pada tahun 2024 dan diproyeksikan bertumbuh sekitar 13 persen per tahun sehingga mencapai 924,39 miliar dolar pada tahun 2032. Namun, pertumbuhan jumlah data secara mencengangkan itu diwarnai oleh kekuatiran yang makin besar akan aksi peretasan data oleh oknum yang tak bertanggung jawab.
Pada tahun 2024, National Public Data yang berbasis di AS menyebutkan pelanggaran tersebut diduga mengekspos dan perdagangan data pribadi hingga 2,9 miliar akun, yang memengaruhi 170 juta individu di Inggris, AS, dan Kanada. Di Indonesia, tren data yang diperjualbelikan lebih nyata terjadi di pasar gelap (deep web) karena aksi peretasan.
Data yang diperjualbelikan sangat signifikan dan berbagai jenis data, termasuk data pribadi, data keuangan, dan data registrasi. Contoh, pada Mei 2020 lalu, riset siber mengungkapkan 91 juta data pengguna Tokopedia diperjualbelikan di deep web dengan harga Rp 74 juta.
Lima bulan berikutnya, Oktober 2020, terjadi peretasan dan perdagangan atas 1,1 juta data pengguna RedMart. Lazada mengonfimasi bahwa 1,1 juta akun yang berisi berbagai informasi pribadi seperti alamat surat, kata sandi yang telah terenkripsi, dan sebagian nomor kartu kredit telah diretas.
Kemudian, pada 31 Agustus 2022, melalui Breached Forums, peretas Bjoeka mengeklaim memiliki file terkompres sebesar 18 GB yang memuat data kartu SIM Breached Forums.
Bjorka mengeklaim memiliki file terkompres sebesar 18 GB, yang berisi 1,3 miliar data kartu SIM dari pelanggan Indonesia, meliputi data nomor telepon, nomor KTP (NIK), informasi operator seluler, serta tanggal registrasi nomor telepon.
Data tersebut kemudian dijual seharga 50 ribu dolar AS (Rp 735 juta) dengan metode pembayaran meggunakan mata uang kripto Bitcoin atau Ehereum.
Mengapa Data Menjadi Komoditas?
Ada beberapa alasan mengapa belakangan ini data menjadi komoditas perdagangan yang menggiurkan.
Pertama, karena pasokannya yang melimpah. Sebagaimana telah disebutkan di atas, kini volume data sangat besar. Setiap hari dihasilkan sekitar, 0,50 Zetabit atau sekitar 500 juta Tbps. Hal ini membuatnya mudah tersedia dan berpotensi dapat dipertukarkan, seperti komoditas lainnya.
Kedua, data memiliki nilai yang dapat dipasarkan. Artinya data dapat dibeli dan dijual. Perusahaan membutuhkan data untuk memahami pelanggan, meningkatkan layanan dan memperbesar pendapatan.
Ketiga, merupakan alat yang strategis. Ini karena analisis data memberikan wawasan tentang perilaku pelanggan, tren pasar, dan efisiensi operasional, yang memungkinkan perusahaan untuk membuat keputusan berdasarkan data.
Keempat, data mampu mentransformasi informasi. Meskipun tidak secara langsung mendatangkan pendapatan dan profit, data dapat diubah atau diproses menjadi informasi atau pun pengetahuan berharga yang memberi manfaat besar bagi bisnis.
Pentingnya Data di Perdagangan
Pada umumnya dunia bisnis memerlukan berbagai macam data agar dapat berfungsi secara efektif, termasuk data karyawan, data pemasok bahan baku data kontraktor dan distributor, data pelanggan, data keuangan, data pasar, dan data yang terkait dengan proses internal, seperti penjualan dan pemasaran.
Perusahaan membutuhkan dan menggunakan data karyawan untuk mencocokkan keterampilan dalam organisasi dan mengerahkan tenaga kerja. Apabila memiliki dan menganalisis big data terkait konsumen/pelanggan misalnya perusahaan dapat menyesuaikan produk dan layanan dengan lebih baik sehingga menjadi lebih kompetitif dan mampu meningkatkan pengalaman dan mengunci loyalitas mereka.
Bagi perusahaan multinasional, termasuk perusahaan manufaktur, yang beroperasi di berbagai yurisdiksi, data diperlukan untuk mengelola rantai pasokan mereka secara efisien.
Dalam pemasaran dan penjualan, data sangat penting untuk memahami preferensi dan kebutuhan pelanggan yang, pada gilirannya, memberikan umpan balik ke dalam produksi dan pengembangan produk baru.
Bahkan pasca penjualan, data digunakan untuk wawasan guna menghasilkan produk baru atau peningkatan produk, penelitian, serta untuk perbaikan dan pemeliharaan peralatan mereka. Data bergerak ke segala arah di seluruh dunia dan hampir setiap saat.
Peluang dan Tantangan
Saat ini transformasi digital ekonomi dan perdagangan global telah membawa peluang dan tantangan baru. Komoditisasi data mendorong inovasi, sehingga menghasilkan produk, layanan, dan model bisnis baru, termasuk yang berskala UMKM.
Perdagangan data memungkinkan pelaku bisnis mengakses dan memanfaatkan data secara efisien sehingga menghasilkan analisis data dan pengambilan keputusan yang lebih cepat dan akurat.
Perusahaan bisnis yang memanfaatkan data secara efektif dapat memperoleh keuntungan signifikan atas pesaing, sehingga memungkinkan mereka untuk lebih memahami pelanggan dan pasar mereka.
Namun, komoditisasi data berpotensi menimbulkan masalah etis, terutama berkaitan dengan privasi, keamanan data, dan potensi penyalahgunaan.
Komoditisasi data menantang negara-negara untuk menyediakan hukum kontrak, dan hukum yang mengatur perlindungan data, yang awalnya merupakan aspek hak cipta dan hak milik data. Juga hukum yang menjamin perlindungan privasi dan keamanan data aksi para peretas.
Perang Dagang Trum Tidak Mencakup Data
Saat perang dagang yang dicanangkan Trump pada 2 April lalu memang menimbulkan kerepotan secara global, tak terkecuali di pihak Indonesia.
Pada sisi lain, pemerintahan AS mengklaim mendapat manfaat dari kebijakan tarif Trump. Pada Jumat, 25 April, kurang dari sebelum ‘perang dagang’ diumumkan, Departemen Perdagangan AS merilis data bahwa AS telah menghasilkan 285 juta dolar AS dalam bentuk bea cukai dan pajak cukai tertentu untuk hari itu. Pendapatan harian tersebut naik dari 128 juta dolar AS yang diperoleh pada tanggal 17 Januari, hari terakhir pemerintahan mantan Presiden Joe Biden.
Bahkan, selama bulan April, Departemen Keuangan AS merilis laporan bahwa AS telah meraup lebih dari 16,1 miliar dolar AS, dari penerapan tarif impor resprokal.
Meski telah mengenakan "tarif impor resprokal’ untuk beragam komoditas dengan hampir semua mitra dagang di seluruh dunia, Trump ternyata tidak menjadikan "data digital" sebagai komoditas yang dikenakan tarif selama perang dagang.
Ini karena Trump memang memfokuskan tarif pada barang fisik seperti baja, aluminium, panel surya, mesin cuci, dan produk manufaktur lainnya.
Lagi pula, secara umum, tujuan utama pengenaan tarif impor resiprokal adalah untuk mengatasi ketidakseimbangan perdagangan yang dirasakan, menegosiasikan perjanjian perdagangan yang lebih menguntungkan, dan melindungi industri dalam negeri atau membangkitkan kembali manufaktur di AS.
Implikasinya pada Ekonomi Digital Dunia
Meskipun tidak (belum) secara langsung menjadi komoditas yang dikenakan tarif resiprokal, komodisasi data memiliki implikasi nyata bagi ekonnomi digital dunia.
Gloria Pasadill, dalam Working Papernya bertajuk ‘Next generation non-tariff measures: Emerging data policies and barriers to digital trade’ (ArtNer, 2020) menyatakan, “aktivitas ekonomi dan bisnis belakangan ini telah didominasli aliran data.
Komoditisasi aliran data telah melampaui aliran barang dan jasa, dan kontribusinya terhadap ekonomi dunia diproyeksikan mencapai 11 triliun dolar AS pada tahun 2025 ini.”
Oleh karena itu, Pasadill mendesak setiap negara dan kawasan ekonomi di dunia untuk terus mengatasi kesenjangan pembangunan infrastruktur digital dan segera membenahi regulasi terkait data.
Menurut buku putin yang dirilis Internasional Telecommunications Union (ITU) pada Januari 2025, dunia, terutama negara-negara berkembang membutuhkan sedikitnya 1,6 triliun dola AS untuk mendanai proyek pembangunan infrastruktur digital.
Sementara itu, dalam hal regulasi, sudah sejak tahun 2010 lalu, negara-negara di kawasan Asia Pasifik, telah mengesahkan atau sedang memperbaiki teks undang-undang untuk menghasilkan perlindungan data secara komprehensif, terutama hak individu atas data pribadi.
Terkait transfer data lintas batas pada umumnya negara-negara Asia-Pasifik menetapkan ketentuan yang bervasiasi. Malaysia misalnya mengajukan syarat bahwa transfer data diperlukan untuk pelaksanaan kontrak antara para pihak.
Namun beberapa negara ASEAN lainnya memberlakukan pembatasan transfer lintas batas untuk data yang "material, strategis" (Thailand) atau "data rahasia negara" (Vietnam) atau "data strategis" (Indonesia).
Di Tiongkok, Undang-Undang Keamanan Siber yang mulai berlaku pada bulan Juni 2017 memuat pembatasan signifikan terhadap arus data lintas batas, beserta regulasi teknologi (yang mewajibkan sertifikasi lokal atau tinjauan keamanan nasional) yang menurut para pelaku bisnis dapat mengecualikan produk asing.
Sementara itu, melalui Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR) Uni-Eropa juga telah memberikan penekanan khusus pada hak individu atas data pribadi. Namun Uni-Eropa tidak secara tegas melarang aliran data lintas batas dan biaya kepatuhan yang dapat menjadi penghalang bagi banyak bisnis berskala kecil.
Tantangan lain dari ekonomi dan perdagangan digital saat ini meliputi meningkatnya jumlah kebijakan perpajakan digital, fragmentasi teknologi karena perbedaan standar, pemblokiran geografis, penyaringan data, dan banyak hal lain lagi.
Sebelumnya, banyak negara di dunia tidak mengenakan pajak atas layanan data yang disediakan secara daring di negara tempat layanan tersebut dikonsumsi, tetapi mengenakan pajak di negara tempat penyedia layanan tersebut berdiri.
Ketika konsumsi layanan data daring asing kian meningkat, banyak negara mulai berubah pikiran dan mulai mengadopsi ‘pajak digital’ untuk konsumen asing.
Harapan bagi Indonesia
Bagi Indonesia, kebijakan tarif Trump berpotensi menghambat percepatan pembangunan infrastruktur dan transformasi ekonomi digital. Sebab dengan jumlah pengguna internet 220 juta atau 80 persen penduduk, menurut Digital Agency Jakarta.
Indonesia sangat bergantung pada jaringan konektivitas dan berkualitas. Oleh karena itu, dalam konteks ‘perang dagang’ ini, Indonesia diharapkan dapat bernegoisiasi dengan Gedung Putih supaya dapat tetap meningkatkan impor perangkat teknologi digital dari AS.
Selebihnya Indonesia pun diharapkan bisa melokalisasi produksi teknologi digital yang utama, mendiversifikasi mitra teknologi global, melanjutkan proyek pembangunan infrastruktur 5G dan satelit, mendorong pertumbuhan startup dan R&D teknologi nasional, dan memperkuat regulasi inklusif dan adaptif terhadap perkembangan digital.
Melalui langkah strategis tersebut kiranya aktivitas eknomi, khususnya ekonomi digital Indonesia terus menguat hingga bisa mencapai nilai pasar sebagaimana diprediksi, 100 miliar dolar AS pada tahun 2025 ini. (*)
***
*) Oleh : Mubasyier Fatah, Bendahara Umum Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU) dan Pelaku Industri Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |