TIMES JAKARTA, JAKARTA – Kita hidup di tengah sebuah realitas yang tak terhindarkan: satu demi satu, kabar duka dan kesulitan datang menyapa. Baik itu kepedihan saudara sebangsa di berbagai wilayah akibat bencana alam, beban berat yang terasa di pundak karena gejolak ekonomi, maupun hiruk pikuk politik yang menciptakan ketidakpastian.
Semua ini tidak hanya menguji ketangguhan fisik, tetapi yang terpenting, menguji ketahanan psikologis kolektif kita. Secara mental, kita dihadapkan pada beban emosional yang datang bertubi-tubi yang jika tidak dikelola, dapat berujung pada kelelahan berkepanjangan atau bahkan kepasrahan.
Ketika musibah terjadi, dorongan pertama kita adalah Empati Afektifperasaan sakit yang sama yang memicu kita untuk segera berdonasi atau beraksi. Dorongan ini murni, sebuah modal sosial yang luar biasa. Akan tetapi, seiring waktu, kita sering melihat bahwa tindakan kebaikan terkadang diselimuti motif pribadi, yang dalam psikologi disebut self-serving; tindakan yang lebih bertujuan untuk mendapatkan validasi sosial, pujian, atau citra yang baik.
Respons self-serving ini, meskipun menghasilkan bantuan, menunjukkan bahwa fokusnya adalah pada diri pemberi, bukan pada penderitaan yang berkelanjutan. Ini adalah bentuk compassion yang belum matang.
Maka, untuk membangun masyarakat yang tidak mudah roboh dan lelah, kita memerlukan evolusi dalam cara kita merespons: kita harus bergerak menuju Empati Cerdas (Wise Compassion). Konsep ini adalah jembatan antara hati dan nalar.
Empati Cerdas mengajarkan bahwa dorongan tulus (Afektif) harus dipandu oleh kemampuan analisis dan perencanaan (Kognitif). Di sinilah isu kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi relevan.
Ketika nalar kritis kita terasah baiksebuah fondasi yang dibangun sejak dini melalui gizi yang memadai dan pendidikan yang meratakita tidak akan mudah panik, tetapi mampu memahami kompleksitas masalah. Kita mampu membedakan isu megathrust dari hoaks, dan gejolak harga dari sekadar kepanikan pasar.
Kenyataannya, kemampuan nalar ini sering terhambat ketika penghayatan nilai-nilai esensial hanya digunakan sebagai alat untuk memuaskan fungsi ego, seperti mencari pengakuan sosial atau legitimasi diri. Ketika penghayatan itu hanya berfokus pada penampilan luar, ia berisiko mengikis makna kemanusiaan universal.
Inilah mengapa penting bagi kita untuk mendalami nilai-nilai batin yang mendorong kesamaan fundamental, yang membuat nalar kita berfungsi penuh untuk kepentingan bersama, bukan hanya untuk membenarkan tindakan diri sendiri. Kemampuan berpikir ini adalah perisai mental yang mencegah kita jatuh ke dalam jebakan 'pasrah' atau mudah terprovokasi secara emosional.
Empati Cerdas adalah seruan untuk berbuat kebaikan yang berkelanjutan, terencana, dan tepat sasaran. Ini berarti, jika kita adalah donatur, kita memastikan bantuan kita efisien. Jika kita adalah relawan, kita mengutamakan kebutuhan korban, bukan kebutuhan untuk berfoto. Belajar menyeimbangkan hati dan nalar adalah kuncinya.
Lebih jauh lagi, investasi pada perbaikan gizi dan pendidikan diibaratkan membangun 'infrastruktur mental' yang paling mendasar bagi sebuah bangsa. Infrastruktur mental yang kuat akan menghasilkan warga negara yang tangguh secara emosional dan cerdas dalam mengambil keputusan.
Di tengah badai apa pun, membangun ketahanan psikologis kolektif adalah proyek jangka panjang: menyeimbangkan hati yang hangat dengan nalar yang dingin, sehingga kita dapat membantu orang lain tanpa kelelahan, dan pada saat yang sama, menguatkan diri kita sendiri.
***
*) Oleh : Fx. Wahyu Widiantoro, Staf Pengajar Psikologi UP45.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |