https://jakarta.times.co.id/
Opini

Demokrasi Hijau bukan Sebatas Mimpi

Senin, 17 November 2025 - 21:34
Demokrasi Hijau bukan Sebatas Mimpi Boy Anugerah, S.I.P., M.Si., M.P.P., Tenaga Ahli di DPR RI, Alumnus Magister Kebijakan Publik SGPP Indonesia dan Direktur Eksekutif Baturaja Project.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Frasa demokrasi hijau (green democracy) bergema lantang dalam Konferensi Perubahan Iklim ke-30 di Belem, Brazil. Adalah delegasi Indonesia yang menyampaikan gagasan tersebut di hadapan para peserta konferensi. 

Dalam paparannya dijelaskan bahwa Indonesia telah menempuh langkah konkret sebagai bentuk kontribusi dalam memerangi dampak perubahan iklim melalui penyusunan kebijakan hijau yang termanifestasi dalam berbagai bentuk regulasi, mulai dari undang-undang, hingga peraturan presiden. 

Indonesia saat ini bahkan sedang menyusun legislasi yang diproyeksikan kontributif tehadap lingkungan seperti RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan, RUU Pengelolaan Perubahan Iklim, serta revisi UU Migas dan UU Ketenagalistrikan agar kompatibel dengan spirit aksi iklim global.

Indonesia memiliki modal politik, ekonomi, dan sosial yang mumpuni apabila hendak berikhtiar melalui jalur demokrasi hijau dalam mewujudkan dekarbonisasi global dan mengeliminasi dampak perubahan iklim lainnya. Indonesia memiliki hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Kongo. 

Sebarannya yang merata di seluruh wilayah Nusantara mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua berkontribusi besar sebagai paru-paru dunia dalam menghasilkan oksigen dan karbondioksida. Hutan hujan tropis Indonesia juga memainkan peranan besar sebagai penjaga keanekaragaman hayati, pengatur siklus air, serta menjaga stabilitas iklim nasional, bahkan global.

Indonesia juga memiliki keunggulan komparatif karena atribut nasional sebagai pemilik hutan mangrove terbesar di dunia. Hutan bakau Indonesia membentang di sepanjang garis pantainya dan tersebar merata di seluruh kepulauan. 

Total luas hutan bakau Indonesia mencapai 3,36 juta hektar dan berkontribusi penting dalam melindungi pesisir, menyerap karbon, serta menjadi habitat hidup bagi ribuan flora dan fauna. Dengan dua keunggulan sedemikian, sudah seharusnya Indonesia menjadi pemain global yang paling kontributif dalam memerangi dampak perubahan iklim global.

Namun demikian, dalam praksis empiriknya, apa yang dimiliki oleh Indonesia tersebut belum cukup kontributif dalam mendukung aksi-aksi global. Penyebabnya adalah aktualisasi demokrasi di Indonesia sendiri yang belum mampu mengonversi keunggulan-keunggulan tersebut sebagai langkah kontributif. 

Demokrasi yang di dalamnya mengandung aspirasi masyarakat, formulasi kebijakan, penghargaan terhadap hak asasi manusia, serta penegakan hukum masih belum korelatif dan sinergis dengan pemanfaatan kedua keunggulan tersebut bagi penanganan dampak perubahan iklim. 

Dalam konteks lingkungan hidup, demokrasi yang berlangsung adalah demokrasi tanpa demos, demokrasi yang masih meminggirkan suara-suara pro-lingkungan dan ekosentrisme.

Indikator-indikatornya jelas. Alih-alih bermanfaat, hutan Indonesia justru memproduksi karbon dan menyumbang emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar. Penyebabnya adalah kebakaran hutan yang terjadi melalui aktivitas ilegal.

Jamaknya, pembakaran hutan secara ilegal di Indonesia dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar untuk membuka lahan pertanian. Celakanya, aktivitas ini belum diatasi melalui penegakan hukum secara optimal. Hukum masih tebang pilih, tumpul kepada para pemodal besar. Setali tiga uang, kondisi serupa juga dihadapi oleh hutan bakau Indonesia. 

Hutan mangrove Indonesia mengalami kerusakan yang parah yang disebabkan oleh alih fungsi lahan, penebangan liar untuk kebutuhan kayu bakar dan konstruksi, pencemaran limbah industri dan rumah tangga, serta kurangnya kesadaran masyarakat pesisir akan pentingnya ekosistem hidup.

Dengan wajah pengelolaan lingkungan hidup sedemikian, agak sulit jika Indonesia mengajukan skema demokrasi hijau sebagai solusi nasional bagi global. Demokrasi yang sehat membutuhkan kecakapan pemerintah dalam menangkap aspirasi masyarakat, terutama masyarakat adat, bukan aspirasi pebisnis dan kaum pemilik modal. 

Demokrasi yang bersih menghadirkan penghargaan terhadap hak asasi manusia yang terdampak secara langsung oleh pengrusakan alam. Demokrasi yang tidak sakit akan melakukan penegakan hukum tanpa pandang bulu terhadap siapa saja yang mencederai lingkungan hidup. 

Demokrasi yang sejati akan senantiasa berupaya menyeimbangkan kepentingan manusia dengan pemeliharaan alam semesta, demokrasi yang bersifat positive-sum game, bukan zero-sum game dengan masyarakat dan alam sebagai korban.

Frasa demokrasi hijau boleh saja terdengar lantang dan nyaring di panggung COP-30 Brazil, mengundang decak kagum dan tempik sorak dari komunitas dunia. Tapi realisasi konkret adalah hal yang pertama dan utama untuk ditunggu. Jangan sampai hanya sebatas mimpi. 

***

*) Oleh : Boy Anugerah, S.I.P., M.Si., M.P.P., Tenaga Ahli di DPR RI, Alumnus Magister Kebijakan Publik SGPP Indonesia dan Direktur Eksekutif Baturaja Project.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.