TIMES JAKARTA, JAKARTA – Industri kakao dan cokelat Indonesia memiliki akar sejarah panjang sejak era kolonial, dimulai dari kedatangan tanaman kakao oleh bangsa Spanyol ke Minahasa, Sulawesi Utara, pada tahun 1560.
Meski awalnya hanya dibudidayakan secara terbatas, perhatian serius terhadap pengembangan kakao baru muncul pada masa Hindia Belanda sekitar tahun 1880, ketika pemerintah kolonial mencari alternatif komoditas setelah kopi dan teh terserang hama.
Belanda pun mendirikan sejumlah perkebunan kakao, yang pada 1938 tercatat berjumlah 29 unit. Setelah Indonesia merdeka, seluruh perkebunan tersebut dinasionalisasi dan menandai babak baru dalam perjalanan kakao sebagai komoditas nasional.
Pasca-kolonial, budidaya kakao sempat mengalami masa suram akibat serangan hama, terutama di Jawa. Namun, sejak 1980-an, terjadi ledakan produksi kakao berkat inisiatif petani rakyat, khususnya di Sulawesi.
Perkebunan rakyat berkembang pesat dari Maluku hingga Sulawesi, mendorong kenaikan produksi nasional rata-rata 26% per tahun antara 1980 hingga 1994.
Perluasan lahan yang signifikan menjadikan Indonesia sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana pada awal 1990-an. Fenomena ini menjadi bukti potensi besar petani kecil ketika mendapat dukungan dari kondisi iklim dan harga pasar yang menguntungkan.
Memasuki era 2000-an, kejayaan kakao Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2010 dengan produksi sekitar 844 ribu ton. Komoditas ini menjadi andalan ekspor dan sumber penghidupan jutaan petani.
Namun, sejak saat itu, mulai terlihat tanda-tanda penurunan produksi seiring menyusutnya luas areal tanam dan munculnya berbagai tantangan budidaya.
Potret Produksi dan Ekspor
Saat ini, meski posisinya menurun dibanding masa kejayaan beberapa dekade lalu, Indonesia masih tercatat sebagai salah satu produsen kakao terbesar di dunia.
Produksi nasional pada 2021 mencapai sekitar 728 ribu ton dan turun menjadi 667,3 ribu ton pada 2022, jauh di bawah puncak 844 ribu ton pada 2010. Kontribusi Indonesia terhadap produksi global kini hanya sekitar 3–4%, dan posisinya melorot ke peringkat ke-6 atau ke-7 dunia.
Dalam perdagangan internasional, kakao masih memainkan peran penting sebagai komoditas ekspor. Pada 2022, Indonesia mengekspor hampir 386 ribu ton biji kakao senilai USD 1,26 miliar (sekitar Rp. 20 triliun), terdiri dari biji fermentasi dan produk setengah jadi.
Namun, ironisnya Indonesia juga mengimpor sekitar 133 ribu ton kakao senilai USD 340 juta (sekitar Rp. 5,6 triliun) pada 2021 untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan dalam negeri.
Impor ini menunjukkan adanya kesenjangan antara produksi domestik dan standar industri, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas, mencerminkan tantangan serius dalam penguatan rantai pasok kakao nasional.
Meski produksi biji kakao menurun, sektor hilirisasi justru menunjukkan perkembangan menggembirakan. Sejak kebijakan bea keluar biji kakao diterapkan pada 2014, industri pengolahan dalam negeri tumbuh signifikan.
Indonesia kini menjadi eksportir produk kakao olahan terbesar ketiga dunia setelah Belanda dan Pantai Gading, dengan pangsa pasar global 9,17% dan volume ekspor mencapai 327 ribu ton pada 2022.
Kapasitas industri mencapai 739 ribu ton per tahun, didukung oleh investasi dari 11 produsen besar. Lebih dari satu juta petani masih menggantungkan hidup pada kakao, terutama di Sulawesi yang menyumbang lebih dari 60% produksi nasional.
Peran Pemerintah dan Riset Pertanian
Menurunnya produksi kakao nasional mendorong pemerintah untuk bertindak melalui berbagai program strategis. Salah satu langkah penting adalah peluncuran Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas Kakao) pada 2009.
Dengan alokasi anggaran sekitar Rp3 triliun, program ini fokus pada intensifikasi, rehabilitasi, dan peremajaan kebun kakao rakyat. Dukungan diberikan dalam bentuk bibit unggul, pupuk, serta pendampingan teknis.
Dalam bidang riset, Balitbangtan Kementan yang sekarang menjadi BRMP, telah merilis sejumlah klon kakao unggul untuk meningkatkan produktivitas dan ketahanan tanaman kakao. Salah satu klon terbaru adalah BL 50, hasil seleksi partisipatif petani di Sumatera Barat, yang dilepas pada tahun 2017. Klon ini dikenal memiliki kualitas premium dan telah didiseminasikan di berbagai daerah.
Pada tahun 2024, melalui Balai Perakitan dan Pengujian Tanaman Industri dan Penyegar (BRMP TRI) ditetapkan standar mutu biji dan benih kakao melalui SNI 9272:2024, menjamin kualitas dari hulu. Semua upaya ini bertujuan agar kakao Indonesia tetap kompetitif di pasar global, baik dari sisi produktivitas maupun mutu biji.
Selain pembenahan di sisi hulu, inovasi teknik budidaya dan pascapanen juga digenjot. Teknik sambung pucuk dimanfaatkan untuk meremajakan tanaman tua secara efisien, dan pendekatan pengendalian hama terpadu mulai diadopsi secara luas.
Di sisi pascapanen, fermentasi kakao menjadi fokus karena sangat memengaruhi harga dan mutu biji. Inovasi fermentasi berbasis starter mikroba dan kontrol suhu/pH yang dikembangkan lembaga riset memungkinkan peningkatan mutu secara konsisten dalam waktu lebih singkat, memberi harapan bagi peningkatan pendapatan petani melalui kualitas yang lebih baik.
Tantangan lain datang dari hama dan penyakit seperti penggerek buah kakao (PBK), jamur VSD, serta busuk buah hitam (Black Pod) yang terus menyerang kebun-kebun di berbagai daerah. Serangan ini menyebabkan penurunan hasil dan kualitas biji, yang pada gilirannya berdampak pada harga jual.
Selain itu, mayoritas kakao dijual dalam kondisi non-fermentasi, yang membuatnya kurang bersaing di pasar global karena rendahnya cita rasa dan kualitas.
Fluktuasi harga kakao di pasar global membuat pendapatan petani tidak menentu, sementara biaya produksi terus naik. Banyak petani akhirnya mengurangi pemakaian pupuk dan pestisida, yang berdampak langsung pada hasil panen.
Di sisi lain, sektor kakao juga menghadapi krisis regenerasi petani. Tanpa kaderisasi dan ketertarikan dari anak muda, sektor ini terancam kekurangan tenaga kerja dan stagnasi inovasi dalam jangka panjang.
Hilirisasi, Cokelat Lokal, dan Specialty
Industri kakao nasional tengah menghadapi tantangan berat meskipun mendapat dukungan kebijakan dan riset. Produktivitas merosot akibat banyaknya tanaman tua dan menyusutnya lahan.
Rata-rata kebun kakao yang ditanam sejak 1990-an kini tak lagi produktif, hanya menghasilkan di bawah 500 kg/ha. Kondisi ini diperparah oleh perawatan yang minim serta ketidakpastian harga, membuat banyak petani meninggalkan kakao dan beralih ke tanaman lain seperti jagung atau sawit.
Upaya pembenahan harus dilakukan secara terpadu, dimulai dari peremajaan tanaman dan pendampingan petani berbasis riset. Kolaborasi antara pemerintah, peneliti, swasta, dan komunitas petani sangat penting untuk memastikan pengetahuan dan teknologi tepat guna tersampaikan hingga ke akar rumput.
Inisiatif seperti cocoa youth camp, investasi swasta dalam riset, serta kemitraan dengan perusahaan cokelat internasional dalam sertifikasi dan peningkatan mutu menjadi contoh kolaborasi efektif.
Di sisi lain, penguatan hilirisasi dan promosi produk cokelat lokal juga harus digalakkan agar nilai tambah tidak lagi dinikmati hanya oleh negara pengimpor.
***
*) Oleh : Kuntoro Boga Andri, Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kementerian Pertanian.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |