TIMES JAKARTA, JAKARTA – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf, menegaskan pentingnya aktualisasi konsensus kebangsaan agar sesuai dengan tantangan zaman. Hal itu ia sampaikan dalam Diskusi Rutin Forum Kramat, yang digelar bersama Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Jacky Manuputty, di lobby kantor PBNU, Jakarta, Jumat (13/6/2025).
Dalam diskusi yang berlangsung hangat dan penuh keakraban itu, Gus Yahya mengungkapkan bahwa konsensus awal kebangsaan seperti Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945, yang telah menjadi fondasi negara, kini perlu dijabarkan lebih lanjut secara operasional agar mampu menjawab dinamika dan kompleksitas kehidupan berbangsa saat ini.
“Pendeta Jacky Manuputty membisikkan kepada saya bahwa konsensus kebangsaan yang awal mula itu adalah PBNU: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945, gitu,” ujar Gus Yahya yang langsung disambut tepuk tangan peserta diskusi.
Menurutnya, UUD 1945 masih menyimpan banyak ruang kosong dalam penjabaran nilai-nilai praktisnya. Ia mencontohkan, dalam pasal-pasal yang mengatur kebebasan berserikat dan berpendapat, masih belum jelas nilai dasar apa yang menjadi rujukan dalam pembentukan undang-undang turunannya.
“Kita punya UU ITE, UU perizinan ini dan itu. Tapi rujukan nilainya apa? Belum ada kesepakatan tentang itu,” tegasnya.
Hal yang sama juga terjadi dalam konteks kebebasan beragama dan pendirian rumah ibadah, di mana hukum formal belum mampu menjembatani perbedaan dan menghindari konflik di lapangan.
“Ini soal bagaimana kita menjembatani atau mengelola perbedaan-perbedaan itu,” katanya.
Lebih jauh, Gus Yahya menyoroti aspek ekonomi nasional sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945. Menurutnya, meski dikatakan bahwa ekonomi disusun atas asas kekeluargaan dan negara menguasai cabang produksi penting, namun belum ada kerangka jelas tentang implementasinya di era modern.
"Mi instan itu menurut saya sudah menguasai hajat hidup orang banyak. Tapi ini seperti apa perlakuannya? Atau produk digital yang kita pakai sehari-hari, belum terjabarkan secara tegas dalam kerangka konstitusi," ungkapnya.
Untuk itu, Gus Yahya mengajak seluruh elemen bangsa merumuskan koridor-koridor baru yang berangkat dari konsensus lama namun diperbarui sesuai konteks masa kini. Termasuk juga, menurutnya, adalah pentingnya konsensus etik nasional yang menjawab persoalan-persoalan sosial dan publik.
“Karena aturan hukum saja sering disiasati tergantung kepentingan pelaku. Maka tidak cukup hanya hukum, kita butuh etika bersama,” katanya.
Sementara itu, Pendeta Jacky Manuputty dari PGI menyampaikan keprihatinannya terhadap memudarnya tradisi rukun dan guyub dalam kehidupan berbangsa akibat polarisasi. Ia mengingatkan kembali suasana terbuka dalam penyusunan risalah BPUPKI sebagai contoh bagaimana konsensus bisa dicapai di tengah perbedaan.
“Banyak hal yang harus diangkat kembali dalam suasana guyub agar bisa dijadikan konsensus bersama,” ucapnya.
Pendeta Jacky juga mengingatkan bahwa krisis hari ini tidak lagi tunggal, melainkan kompleks dan saling berkaitan, dari sosial, ekonomi, hingga lingkungan dan teknologi.
“Karena itu, saya sangat sepakat dengan Gus Yahya, kita butuh konsensus yang lebih hidup,” tandasnya.
Diskusi Forum Kramat kali ini menjadi penanda bahwa ruang dialog lintas iman dan pemikiran masih menjadi fondasi penting dalam menjaga keutuhan bangsa. Kedua tokoh nasional itu sepakat bahwa konsensus bukan sekadar dokumen sejarah, tetapi harus terus diperbarui agar tetap menjadi panduan hidup bersama.(*)
Pewarta | : Ahmad Nuril Fahmi |
Editor | : Imadudin Muhammad |